Oleh Marah Halim*
Bicara politik adalah bicara kekuasaan. Kekuasaan sekecil apapun membutuhkan politik untuk mendapatkannya. Konon untuk memperebutkan posisi Geucik saja, seorang balon harus mengerahkan massa dan jasa untuk langkahnya menuju kursi geucik. Apatah lagi memperebutkan kursi bupati/wabup atau menjadi anggota dewan terhormat, politik mutlak diperlukan.
Naluri berkuasa sememangnya adalah adalah fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena manusia adalah khalifah; representasi Tuhan di muka bumi. Tapi untuk berkuasa dengan baik dan dikenang sepanjang masa, hanya sedikit orang yang bisa melakukannya.
Ketika seseorang telah berhasil berkuasa, barangkali hanya ada dua kemungkinan yang terjadi; menjadi pemimpin yang baik atau menjadi pemimpin yang buruk. Atau mungkin juga ada yang memadukan antara keduanya, menjadi pemimpin yang baik dan buruk sekaligus, ini juga bukan sesuatu yang mustahil.
Seiring dengan perjalanan sejarah, sifat keberkuasaan-pun semakin berubah. Ratusan atau ribuan tahun yang lalu manusia berkuasa dengan mengandalkan kekuatan fisik, tapi sekarang manusia berkuasa dengan kemampuan intelektualnya.
Sejarah takkan lupa dengan kekuasaan Alexander yang agung atau Iskandar Zulkarnain, maharaja Macedonia yang kekuasaannya meliputi timur dan barat hingga al-Qur’an mengabadikan namanya. Alexander adalah figur yang tak mudah lupa diri dan lupa daratan, meski kekuasaannya luas, dia tetap mengakui bahwa semua itu adalah nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.
Nama-nama besar penguasa selalu mewarnai perjalanan sejarah, tak terkecuali di zaman modern. Figur-figur seperti Hitler, Napoleon Bonaparte, Bennito Mussolini dan lain-lain adalah profil penguasa yang tidak bercermin kepada Alexander yang rendah hati, akhirnya kekuasaan mereka kecil, sebatas negaranya saja, dan itupun dipertahankannya setengah mati. Yang lebih celaka, namanya senantiasa akan menjadi kutukan generasi sepanjang masa karena kebrutalan yang mereka lakukan. Dan mereka bukanlah “khalifah Tuhan ” yang baik.
Beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, mantan menteri perekonomian, Rizal Ramli berbicara tentang karakteristik pemimpin dan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi oleh seorang pemimpin. Salah satu yang paling penting menurut beliau adalah kematangan pengalaman. Matang pengalaman artinya telah malang melintang di dunia perpolitikan, telah merasakan pahit getirnya berjuang menegakkan kebenaran. Istilah lain adalah peminpin yang muncul dari bawah (bottom-up) bukan dari atas (top-down). Figur kontemporer yang ideal menurut beliau adalah Kim Dae Jung, mantan presiden Korea Selatan.
Kim Dae Jung adalah profil yang layak diteladani. Sebagai politisi tulen, tokoh ini telah malang melintang dan merasakan betul getirnya perjuangan. Berbagai ujian politik sampai percobaan pembunuhan telah sempat dia rasakan ketika Kore Selatan berada di bawah penguasa militer, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo. Dia tampil menjadi presiden di usia 70 tahun lebih; setelah iklim demokrasi di Korsel kembali menggeliat, dan dia tampil menjadi pemimpin setelah betul-betul matang, matang pengalaman, matang usia dan tentu saja matang pemikiran.
Bukti kematangan Kim secara emosional adalah ketika dia sama sekali tidak menaruh dendam kepada Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo yang pernah mencoba ”menyekolahkannya”. Alih-alih balas dendam malah dia memberikan pengampunan (amnesti) kepada kedua mantan presiden itu yang terbukti terlibat kasus korupsi kelas kakap. Bagi saya Kim Dae Jung telah meniru akhlak Nabi kita, Muhammad tatkala membuka kota Mekkah. Abu Sofyan yang berkali-kali melakukan konspirasi membunuh Nabi malah dia angkat derajatnya.
Bukti kematangan administrasinya meski tampil di usia beranjak senja dan kondisi fisik yang melemah adalah ketika Kim Dae Jung sanggup mengantar perekonomian Korsel setara dengan negara maju Asia lain seperti Jepang dan Cina. Indonesia kini dibanjiri oleh produk-produk high class dari Korsel seperti mobil, ponsel, notebook, alat-alat elektronik seperti AC, mesin cuci, VCD, dan sebagainya.
Orang yang sudah matang tidak lagi memikirkan diri dan keluarganya. Pemimpin yang matang adalah yang tidak lagi memikirkan harta, penampilan, sanak keluarga; yang dia pentingkan hanya pengabdiannya. Jika masih ada naluri ketika nanti berkuasa akan menunpuk harta, hanya membahagiakan sanak keluarga mumpung kekuasaan masih di tangan, bukanlah pemimpin yang matang.
Siapa kiranya di antara berbelas pasangan calon bupati/wabup di Gayo yang telah sampai pada tahap kematangan berpolitik ini? Yang bisa merangkul kawan maupun lawan untuk merapat menyatukan shaf untuk membangun Gayo? Penulis pribadi merindukan figur yang memiliki kematangan ini. Matang dalam wawasan, emosi, dan karya. Bukan ketika terpilih baru hendak belajar tata administrasi pemerintahan, jika ini yang terjadi malapetaka-lah Gayo-ku sayang.
*Pengkaji Tata Negara dan Tata Pemerintahan, tinggal di Banda Aceh.