Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
20 Kali shalat kami lalui dalam perjalanan, ketika bersafari ramadhan ke Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Berangkat dari Banda Aceh setelah shalat subuh pada hari selasa (09/08), shalat zhuhur telah sampai di kota Takengon, saya bersama seorang teman melaksanakan shalat zhuhur dengan cara qashar (seharusnya empat raka’at kami jadikan dua) dan sekalian jama’ (mengumpulkan dua shalat –maghrib ke Isya atau Isya ke maghrib dan zhuhur ke ashar atau ashar ke zhuhur– pada satu waktu). Sedang satu orang lagi dari teman kami melaksanakan dengan jumlah rakaat yang tetap dengan jumlah yang biasa dan waktu juga sebagaimana biasanya.
Selama dalam perjalanan kami selalu melakukan shalat seperti itu, dua orang diantara kami selalu menjama’ dan mengqashar shalat, seorang lagi tidak menjama’ dan mengqasharnya. Kami yang dua orang beralasan bahwa ada keizinan dari Allah untuk melaksanakan shalat dengan jama’ dan qashar ketika dalam perjalanan, dalilnya adalah :
“Apabila kamu dalam perjalanan, maka tidak berdosa atas kamu mengqashar shalat” (An-Nisa’ : 101)
Itulah alasan yang digunakan oleh sebagian kami, kami berkeyakinan bahwa keizinan yang ada dalam ayat tersebut sebagai fasilitas yang disediakan oleh Allah dan tidak salah sekiranya fasilitas itu dimanfaatkan. Tapi salah seorang kawan kami beralasan, perjalanan yang kami lalui sangatlah mudah dan tidak ada kendala yang dihadapi, mobil kami tidak pernah rusah, sampai di tujuan sesuai target, mobilnya cukup nyaman karena tahunnya juga belum terlalu tua (kijang kapsul 2001). Maka ketika kami mengajak untuk melaksanakan shalat jama’ atau qashar beliau selalui menjawab tidak ada lagi fasilitas musafir pada saat ini.
Kendati dalam perjalanan ini kami selalu menggunakan fasilitas jama’ dan/atau qashar yang dalam istilah lain disebut dengan tukhshah (kemudahan), namun kami tetap melaksanakan shalat subuh dengan jumlah rakaat dan waktu yang tetap sebagaimana adanya, karena untuk shalat subuh ini tidak ada yang namanya jama’ dan qashar tersebut. Hal itu juga kami laksanakan untuk rakaat dan waktu shalat Isya ketika kami berjamaah dengan penduduk masyarakat Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.
Ada hal yang menarik untuk diketahui oleh semua orang dalam hubungannya antara shalat dengan waktu shalat dan waktu melakukan perjalanan. Waktu perjalanan di surat tugas tertulis sejak tanggal 09/08 sampai dengan 14/08 untuk melakukan safari untuk tiga Kabupaten, tapi kami telah selesai dengan melakukan kegiatan pada tanggal 13/08. Kalaulah ada orang yang bertanya kepada saya, apakah saya masih melakukan tugas di luar daerah (perjalanan) pada tanggal 14/08 ? saya akan jawab tidak, karena pada tanggal itu saya telah kembali ke rumah di Banda Aceh. Tapi kebanyakan orang mengatakan bahwa ia tidak melakukan perjalanan lagi pada tanggal 14/08 tapi mereka tidak masuk kantor, dengan alasan masih dinas berdasarkan surat.
Pemahaman perjalanan dinas ini juga sebenarnya ada hubungannya dengan boleh tidaknya jama’ dan/atau qashar shalat, tetapi dalam hal ini saya lebih condong memahami tidak ada lagi yang namanya rukhshah, yaitu kebolehan menjama’ atau mengqashar shalat.
Shalat yang kita lakukan tidak selama waktu yang disediakan, shalat Isya waktunya sejak selesai shalat Maghrib sampai menjelang shalat subuh, sungguh waktu yang lama Karena masing-masing kita hanya memerlukan waktu paling lama 10 (sepuluh) menit untuk shalat, sama juga untuk shalat lima waktu yang lain. Kami pulang ke Banda Aceh, berangkat setelah shalat subuh sambil mengejar terbukanya jalan di Cot Panglima Kabupaten Bereuen dan kami sampai ke Banda Aceh jam 2 (dua) siang.
Waktu shalat zhuhur sesampai di Banda Aceh masih ada, tapi karena sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang saya tidak langsung shalat, tapi merebahkan diri ketempat tidur, dan tertidur lelap. Saya bangun ketika waktu shalat ashar tiba, shalat zhuhur dengan jama’ dan qashar kendati sudah sampai ketempat asal, karena rasa yakin, percaya dan mengetahui bahwa pada saat masuknya waktu zhuhur ketika itulah masuknya wajib, kendati masih dalam perjalanan. Untuk itu saya punya hak untuk menggunakan fasilitas jama’ qashar.
Pelaksanaan shalat dengan qashar dan jama’ setelah sampai kerumah sebagaimana saya lakukan adalah menurut pendapat Mazhab Syafi’i. Namun ada juga orang yang melakukan shalat zhuhur dalam kasus yang saya alami dengan tidak menggunakan fasilitas jama’ dan qashar, karena beliau beralasan waktu mereka sampai kerumah kembali masih ada waktu zhuhur pada jam 2 (dua). Di samping juga mereka beralasan bahwa suatu shalat dalam hubungannya dengan waktu, maka wajibnya jatuh pada akhir waktu. Pendapat seperti ini menganut pendapat Mazhab Hanafi.
Untuk memudahankan pemahaman terhadap hubungan shalat dengan waktu tersebut, saya membuat satu contoh yang keluar dari keadaan musafir ini. Contoh tersebut adalah : Jika seorang wanita pada awal waktu shalat masih dalam keadaan suci (tidak berhalangan untuk shalat), ia belum melasanakan shalat di dipertengahan atau akhir waktu ia berhalangan (datang bulan), maka menurut pendapat pertama ia telah meninggalkan shalat satu waktu karena ketika waktu shalat datang ia tidak melaksanakn shalat. Sedang menurut pendapat kedua orang tersebut belum meninggalkan shalat karena ia masih berniat meleksanakan shalat dalam waktu tersebut, namun karena ada halangan tang tidak membolehkan shalat, maka ia dianggap belum meninggalkan shalat.