Joni MN, A.Rima*
Adat berasal dari kata āAdahā (bahasa Arab) ā dengan pengertian melakukan berbagai kebiasaan[1]. Jadi, menurut penulis, adanya adat pada masyarakat, dikarenakan manusia hidup berkelompok ā kelompok pada suatu tempat dan pada saat menjalani proses kehidupan manusia berinteraksi dengan Alam dan sesama manusia itu sendiri, kemudian mereka mengadakan suatu kesepakatan untuk menentukan peraturan ā peraturan guna disepakati dan dijadikan pedoman di dalam berinteraksi, hal ini berproses melalui kesepahaman bersama untuk mencapai kesepakatan, pada saat menjalankan kesepahaman guna mengatasi segala kepentingan mereka dan kemudian akan menjadi Adat yang dipandang bahkan diikuti aturannya yang menjadi aturan dalam kehidupan bagi manusia itu sendiri, tentunya peraturan-peraturan tersebut semuanya dalam kontek positive, bernilai, bernorma, dan bermoral.
Pada peningkatan mutu pendidikan untuk menuju kepada pembentukan norma dan moral pendidikan perlu adanya penerapan kembali karakteristik dari peserta didik, guna mencapai goal dari pendidikan tersebut dan cita-cita bangsa yang bertujuan membentuk manusia yang berahklak mulia dan berbudi luhur yang dapat dicapai dengan salah satunya lewat penerapan budaya. seperti yang dinyatakan oleh Plato bahwa;
ālebih mengagungkan Jiwa menurut cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa di antaranya gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca Indera.ā[2]
Dari pernyataan Plato dapat dipahami bahwa pembentukan manusia yang bernorma, bermoral dan sebagainya hanya dapat di capai apabila culture awareness dan culture contents di-implementasikan, sehingga budaya dapat terexpresi dan diexpresikan oleh: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Dari kontek ini, menimbang dan mengingat bahwa Budaya Gayo dan Adat ā Istiadat Gayo merupakan salah satu instrument yang bernilai abstrak yang sangat sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan para pendahulu kita tentang pendidikan, bahkan nilai ā nilai pendidikan itu sendiri, pada dasarnya sudah ada pada system Budaya Gayo, hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk merekomondasikan kepada pembuat kebijakan pendidikan khususnya Dataran Tinggi Gayo untuk dapat mengaplikasikan-nya pada sekolah-sekolah atau membuat mata pelajaran yang memiliki kearifan local atau mulok yang lebih terarah dan memiliki rancangan pembelajaran yang lebih matang.
Hak otonomi yang telah tercantum dalam UUD Pendidikan Nasional pada tahun 2003, nomor 20 dan pada tahun selanjutnya menegaskan tentang pengembangan otoritas sekolah dan atau para pembuat kebijakan pendidikan di Kabupaten /Kota dalam membuat mutu dan norma/ nilai pendidikan, hal ini membuat kami para pelaku dan pemerhati pendidikan di Aceh Tengah khususnya di Dataran Tinggi tanoh Gayo untuk memilih Adat Istiadat dan Budaya Gayo sebagai pengisi muatan Lokal, alasannya, karena didalam adat dan istiadat juga budaya Gayo terdapat Nilai-Nilai Pendidikan yang dapat membentuk norma-norma para peserta didik, seperti yang terdapat pada Pembahasan āAsaliyah Edet Si Opatā atau āAsal Adat yang Empat ā yang menerangkan bahwa adat ini menjadi induk dari adat istiadat dan Budaya Gayo itu sendiri, di dalam induk adat ini menjelaskan bahwa adat urang Gayo (Masyarakat Gayo) harus berinduk kepada:
Edettulah; adat yang yang dipegang selalu diusahakan tidak untuk bertentangan dengan ajaran Agama Islam, yang menjelaskan tentang aturan dan norma pergaulan, berbusana, berhadapan dengan orang tua, berbicara, berjalan, menerima tamu, cara menghadapi tengku/Guru, dll.
Edetmuhakamah; adat ini adalah adat musyawarah dalam masyarakat dan di lingkungan Sekolah baik formil maupun Non atau In Formal. Di dalam adat ini menegaskan bahwa di antara anggota masyarakat dan para pendidik juga peserta didik supaya memiliki sikap bertanggung jawab dan tidak saling mengadu domba antara sesama mereka.
Edet Mutmainah; adat ini menjelaskan atau menegaskan bahwa, solidaritas, kemanusiaan, dll sangat perlu dalam kehidupan ini guna untuk menjalani hidup, dan sangat dianjurkan untuk dapat menyukuri nikmat juga tahu bersyukur.
Resam Edet; adat ini menegaskan tentang norma-norma bergaul dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sering teraplikasi pada saat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengikuti norma-norma yang ada.
Red cord dalam permasalahan ini menurut penulis, di dalam dunia pendidikan amat dan sangat perlu teraplikasi tentang hal ā hal yang tersebut di atas, karena, Hakikat pendidikan sebenarnya adalah; Hakikat pengetahuan menurut pragmatisme terus berkembang. Pengetahuan bersifat hipotetis dan relatif yang kebenarannya tergantung pada kegunaannya dalam kehidupan dan praktek. Dan hakikat dari pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Be a man tobe a man), untuk mencapai tujuan dan hakikat tersebut maka sumber pendukungnya adalahĀ Pengetahuan yang diperoleh dari ranah pendidikan yang merupakan suatu instrumen untuk bertindak sedangkan dalam membahas hakikat nilai pragmatisme menyatakan bahwa tidak ada nilai yang berlaku secara universal atau absolute, sesuai dengan pernyataan John Dewey dan Williams James āEtika tidak diturunkan dari hukum tertinggi yang bersumber dari zat supernatural. Standar tingkah laku perseorangan dan social ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Etika pragmatism memiliki karakteristik: empiris, relatif, partikular (khusus), dan ada dalam prosesā[3]. Jelas bahwa tujuan dari pendidikan tidak didapatkan secara gamblang, namun hal tersebut diperoleh melalui proses dari pendidikan untuk mendapatkan perobahan.
Pemberlakuan Budaya Gayo sebagai Muatan Lokal akan membawa implikasi bagi sekolah dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yaitu pada sejumlah mata pelajaran, dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk masing-masing pelajaran. Sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan kurikuler dan harus diajarkan di kelas tidak mempunyai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya. Hal ini memberikan peluang kepada Satuan Pendidikan untuk menyusun dan mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik (hak Otonomi) yang diberikan pemerintah kepada masing-masing daerah, guna pengembangan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Walaupun untuk penerapan dan pengembangan mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah pekerjaan yang mudah, oleh karena itu perlu adanya dipersiapkan berbagai hal untuk dapat mengembangkan Mata Pelajaran tersebut, dan guidence ā nya sebenarnya sudah di arahkan oleh Prof.Dr. Arianto tentang Mendat pengetahuan dan mandat pengembangan Mulok[4].Ā pada saat Seminar Nasional Bualan Maret setahun lalu.
Bahan Bacaan:
- Ā§ Luis Breger, From Instinct to Identity the development of Personality, Prentice ā Hall, Inc., Engkwood Cliff, New Jersey. 1973.p. 2-3.
- Ā§ Meriel Downey and A.V. Kelly, Theory and Practice of Education ā an Introduction (Second Edition), Harper and Row lL.td.28 Tavistock Street ā London WC2E 7 PN.1979.
- Ā§ Lafayette, R.. The cultural revolution in foreign languages: A guide for building the modern curriculum. Lincolnwood, IL: National Textbook Company. La Forge, P. G. 1983. Counseling and Culture in Second Language Acquisition. Oxford: Pergamon Press. 1975.
- Ā§ Lado, R.. How to compare two cultures. In Valdes, J. M. (ed.). Culture Bound: Bridging the Cultural Gap in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. 1986.
- Ā§ Killick, D. & Poveda, J. 1997. Perceptions of Cross-Cultural Capability: is EFL Another Language? Proceedings of the conference at Leeds Metropolitan University, 15-16 December 1997.
Ā ——–
Ā Keindahan Yang Sejati Bukan Terdapat Pada Ke-Indahan Kulit Anda, Namun Keindahan Sejati Terdapat Pada Apa Yang Ada di Dalam Diri Anda Dan Hati Anda
(JONI MN-2008)
[1] AR.Hakim Aman Pinan, āHakikat Nilai-Nilai Budaya Gayoā , CV.Rina Utama, Banda Aceh: 198.p.15-16. Banda Aceh.
[2] Prof,Dr.H. Jalaluddin, Drs. Abdullah Idi, M.Ed., Filsafat Pendidikan, Manusia dan Filsafat Pendidikan. Gaya Media Pratama Jakarta, 2002: 50
[3] ———-Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini, DepartemenĀ Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007
[4] Prof.Dr. Ismail Ariyanto, disamapaikan pada saat acara Seminar Nasional dan Workshop, Studium General. Maret 2010, disampaikan pada saat seminar Nasional yang di adakan didalam mengkiritisi pendidikan di Aceh Tengah.
*Pemerhati Pendidikan tinggal di Takengon Aceh Tengah