Realisasi Niat dalam Perbuatan

Drs. Jamhuri, MA*

Ulama memberi makna  niat dengan qasd (maksud atau keinginan), mereka juga bersepakat mengatakan bahwa niat adalah perbuatan hati yang tidak ada hubungannya dengan lidah (lisan). Ketika seseorang hendak melaksanakan suatu perbuatan, maka keinginan untuk melakukan perbuatan tersebutlah yang dikatakan dengan niat.

Seseorang yang bermaksud melakukan perbuatan belajar, pada saat ia ingin melakukan aktivitas tersebut maka berarti ia telah berniat. Seseorang yang mau berangkat ke kantor, ke kebun, ke pasar atau ke tempat lain sebenarnya ia telah berniat.

Namun sebagian kita meragukan hal tersebut, lalu memunculkan pertanyaan. Apa yang membedakan antara niat dengan cita-cita ? Secara sederhana dapat disebutkan bahwa kalau ia niat, perbuatannya segera dilakukan, sedangkan cita-cita dalam melakukan perbuatan memerlukan waktu yang lama. Seperti ketika kita berniat untuk belajar maka kita langsung melakukan perbuatan tersebut, sedangkan cita-cita walaupun kita telah membuat schedule  kegiatan dan dengan harapan aktivitas itu kita lakukan tepat waktu dan pasti, tetapi masih ada tenggang waktu dan dalam kekosongan waktu tersebut kita masih bisa melakukan perbuatan lain.

Terkadang diskusi tentang jaraknya waktu antara niat dengan perbuatan menjadi pembahasan yang panjang, sebagian mengatakan apabila seseorang hendak melaksanakan shalat, ia cukup berniat sejak dari rumah dengan tidak perlu mengulanginya ketika akan atau sedang melakukan shalat. Sebagian lagi mengatakan diperlukan pengulangan, karena jarak rumah dengan tempat shalat memerlukan waktu dan dalam perjalanan antara rumah dengan tempat shalat tersebut masih boleh melakukan perbuatan lain. Seperti seseorang yang pergi shalat, diperjalanan berjumpa dengan orang lain, ia menegur atau berbicara, boleh jadi juga dalam perjalanannya  ia melihat suatu kejadian yang mengganggu konsentrasinya untuk shalat. Sehingga kebanyakan orang meyakini niat itu harus dilakukan ketika akan atau sedang melakukan perbuatan.

Pemilihan melakukan niat ketika hendak atau sedang melakukan perbuatan, juga memerlukan perhatikan dan pemahaman dalam memilihnya. Kebanyakan kita memilih berniat ketika sedang melakukan perbuatan atau menjadikan niat tersebut sebagai bagian dari perbuatan tersebut, membaca niat beriringan dengan takbiratul ihram dalam shalat, berniat ketika membasuh muka dalam berwuduk, melaksanakan niat ketika usai makan sahur dalam bulan puasa. Pelaksanaan seperti ini diberi nama dengan niat sebagai rukun.

Ada juga diantara kita yang membaca niat pada waktu sebelum melakukan perbuatan, seperti mengucapkan niat shalat sebelum takbiratul ihram, atau juga berniat wudhuk ketika membasuh telapak tangan. Pelaksanaan seperti ini berbeda penamaannya dengan yang di atas yaitu menyebutnya dengan posisi niat sebagai syarat.

Sering juga terdengar di telinga, orang yang shalat di sebelah kanan atau kiri kita membaca niat sebelum takburatul ihram “ushalli fardha subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati adaan ma’muman/imaman lillahi ta’ala” atau juga berniat untuk shalat lima waktu dan shalat sunat lainnya. Mereka mengulang lagi niat seperti ini sambil membaca takbiratul ihram, bentuk seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku yang ditulis oleh ulama (menjadikan niat sebagai syarat sekaligus sebagai rukun). Hal ini dilakukan oleh sebagian orang karena ketidak tahuannya atau karena kebiasan yang diperoleh dari pelajaran yang salah.

Untuk mereka yang memilih berniat pada waktu sebelum melakukan takbiratul ihram, masih juga memerlukan bacaan yang mendalam. Karena bagaimana bila niat yang tempatnya di dalam hati (perbuatan hati), disebutka secara lisan (dilafazhkan), sebagian dari ulama mengatakan tidak boleh dengan sebab perbuatan tersebut urusan hati, dan kalau diucapkan secara lisan berarti bukan lagi urusan hati menjadi perbuatan lisan.

Namun ada juga yang berpendapat, kendati niat terletak dalam hati, akan menjadi lebih baik bila diungkapkan dengan lidah (lisan) sehingga banyak sekali kita melihat/mendengar orang berniat dengan mengeraskan suara (dapat didengar tidak hanya oleh ia sendiri tapi juga orang lain). Sehingga ada sebuah ungkapan yang sering saya ucapkan kepada para mahasiswa “niat adalah perbuatan hati, karena niat  perbuatan hati maka tidak ada yang tahu, kecuali (yang berniat dan Allah) atau (diberi tahu). Karenanya isi hati lebih baik diberi tahu, karena kalau tidak akan makan hati”.

Ungkapan ini dipergunakan untuk memudahkan pemahaman dan mengingat pendapat yang berpegang pada keutamaan mengucapkan niat secara lisan.

Satu kelompok lagi memahami, karena niat adalah maksud atau keinginan dan tempatnya ada dalam hati, maka niat itu tidak memerlukan kepada ungkapan baik secara lisan atau betikan di hati, tetapi seseorang yang melakukan perbuatan, maka perbuatan yang ia lakukan itu, itulah bukti dari niatnya. Seperti orang yang melakukan shalat empat rakaat pada waktu zuhur, shalat tiga rakaat pada waktu maghrib, dua rakaat di waktu subuh. Semua orang tahu dan yakin pasti ia sedang melaksanakan shalat zuhur, maghrib atau shalat subuh. Karenanya tidak perlu membaca niat.

Lebih lanjut dari pamahaman yang terakhir ini, seseorang perlu berniat pada saat melakukan shalat jama’ (membawa zuhur ke ashar, maghrib ke isya atau sebaliknya) dan juga diperlukan niat pada saat seorang melakukan shalat qashar. Karena kedua bentuk perbuatan ini tidak lazhim (rukhshah).

Demikian tulisan ini disampaikan guna menambah wawasan keilmuan dan  meningkatkan pemahaman beribadah.



*Mantan Ketua Jurusan Perbadingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.