Catatan; Aman Zaiza
MALAM itu, aku tak mendengar simponi daun dengan alunan angin yang kerab menemani bergadang setiap malam. Bergadang sambil bercanda dengan puluhan bahkan ratusan manusia yang sedang memanjakan diri dengan statusnya di dunia maya.
Memang sejak anak muda asal negeri Paman Sam ini mengenalkan permaianan baru, di dunia maya, dunia ini serasa kecil. Anak muda itu bernama Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa drop out dari Universitas Harvard.
Mainan yang diberi nama Facebook ini telah banyak membuka mata dan wawasan masyarakat dunia tentang apa saja, mulai dari hal sepele percintaan hingga percaturan politik dunia dibahas di jejaring sosial ini. Lelaki cerdas itu telah banyak mengenali ku dengan saudara-saudara yang sebelumnya tak tahu apa kabarnyadan dimana keberadaanya.
Terima kasih Zuckerberg, Happy B’Day Facebook (4 Februari 2004 – 4 Februari 2012). Jika facebook itu manusia, usia delapan tahun, itu masih usia yang terlalu mentah. Di Indonesia, delapan tahun itu masih kelas dua Sekolah Dasar (SD). Kata orang masih ingusan, tapi di usia belia itu facebook (FB), telah mampu memberi makna hidup bagi manusia berusia senja sekalipun.
Kembali ke cerita awal. Di tengah malam yang sepi itu, tiba-tiba dihalaman FB ku, masuk pesan chatting dari seorang gadis. Jujur, aku tak kenal dia secara dekat, walaupun pernah ketemu sekali sambil menikmati kopi dan suguhan mie rebus di depan stadion Harapan Bangsa Lhong Raya Banda Aceh. Kamipun tak sempat ngobrol, karena dia datang dengan sekawanan anak muda kreatif, berbakat dan penuh telen dari kampong halamanku Takengon.
Maaf…saya tak bisa sebut siapa namanya, karena ini komitmen kami. Sebab komitmen itu harus bisa dijaga dan dipatuhi, meski hal sepale sekalipun. Tapi dari foto profilnya gadis periang itu berperawakan mungil dibalut jilbab menutup untaian rambutnya, sambil menenteng ransel dipunggungnya berdiri dipinggi sebuah kolam.
Kalimat pembuka dari percakapan kami malam itu, menyangkut susahnya mood baginya untuk memulai sebuah tulisan. Meskipun terkadang puluhan bahkan ratusan ide selalu bermain dalam benaknya. Hanya saja tak mampu tertulis, dalam rangkaian kata-kata menjadi kalimat yang terjalin dalam paragraf ke paragraf lainnya lagi.
“Biasakan membuat catatan-catatan kecil, baik di notes, handphone, terhadap segala sesuatu yang kita rasa menarik, nantinya kepingan catatan tadi disatukan dalam tulisan dengan merangainya seperti apa yang kita lihat dan rasakan,” membalas chatting menanggapi keluhan gadis penggemar kopi tersebut.
Satu yang perlu di ingat, jangan berpikir tulisan itu bagus atau tidak, sebab bagus tidaknya tulisan kita orang yang menilai. Jangan kita paksakan, kita yang harus menilainya tulisan tersebut, sebab jika ini terjadi, kita akan kecewa berat dan bisa mematahkan semangat untuk menulis lagi saat orang lain mengkritisinya apalagi sampai mencemoohkan tulisan kita itu.
Untuk tulisan ringan tapi bermakna, saya minta dia membaca tulisan Win Wan Nur (WWN) di Lintas Gayo, yang berjudul “4 Jam Bersama Serinen Gayo Kalul, Asal Pulo Tige”. Ditulisan tersebut WWN hanya ingin mengatakan yang intinya ada orang Gayo di Pulo Tige, Kabupaten Aceh Tamiang.
Selebihnya, apa yang ditulis WWN hanyalah bumbu penyedap untuk memaksakan orang lain membaca tulisan itu hingga tuntas. Apa yang disampaikan WWN itu hanya pengalaman pribadi tapi mengandung makna di dalamnya. Ini kelebihan seorang penulis yang sering mengasah ketajaman tulisannya.
Sungguh, betapa indahnya dan mengasikan menulis itu. Bahkan seseorang yang menamai dirinya “rumahkayu” pada kompasiana menuliskan “Seks itu, Sama dengan Menulis”. Satu penggal tulisannya begini: “…. Seks bisa bikin rileks dan nyaman. Seks juga bisa bikin ketagihan. Sekali melakukan, kita ingin melakukan lagi dan lagi. Begitu juga dengan menulis. Menulis, atau ngeblog itu sangat menyenangkan. Juga bisa bikin ketagihan….”
Pada paragraf ke tujuh dituliskan: “….Untuk mendapatkan hasil terbaik, seks perlu banyak latihan dan memerlukan ketrampilan tertentu. Begitu juga dengan menulis ya? Semakin sering menulis kita akan semakin bagus? Semakin trampil maka tulisan kita akan semakin bagus?”
Dua paragraf kutipan terakhir, hanya sebagi ilustrasi. Jangan jadi patokan untuk menulis. Sebab saya yakin tidak semua orang setuju dengan pendapat dari pemilik nama “Rumahkayu” tersebut. Intinya, menulislah untuk menghiasi dunia ini.
Pada gadis mungil yang lagi merintis jalan dalam mengores catatan menjadi cerita, teruslah menulis, awali tulisan mu tentang yang ringan-ringan saja, jangan paksa dirimu menulis sesuatu yang dirimupun tak sanggup memikirkannya, hingga akhirnya buntu merangkai kata.
Menulislah, laksana aliran air di sungai Pesangan, yang membawa kesejuk, tempat anak-anak melepas penat setelah pulang sekolah. Menulislah, segampang dirimu menulis status di facebook, tentang apa saya yang terpikir dan tentang apa saja yang kau lihat.***
*penulis, juru warta di media