Jakarta | Lintas Gayo – Orang hutan di Serawak dilindungi, sementara di Indonesia kurang. “Kita miris membaca berita di Kompas. Sebab, satu satu orang utan di Indonesia akhirnya mati akibat terbakar. Namun, ada yang menginspirasi saya pagi ini. Bagaimana hubungan dan pengaruh perubahan alam terhadap bahasa yang kita pakai. Apa lebih ke cara kita berbahasa?” Lebih jelasnya, kita akan menghubungi Mas Yusradi, kata Ratih Atmodjo, Penyiar RRI Pro I kanal Inspirasi Pagi di Jakarta, Senin (3/9/2012).
Saat dihubungi dan disiarkan secara langsung, penulis buku Ekolinguistik, Yusradi Usman al-Gayoni menjelaskan bahwa perubahan alam (lingkungan) sangat berpengauh terhadap cara orang berbahasa. Pengaruh itu juga ada pada tuturan lingkungan (environmental discourse). Perubahan lingkungan tadi sangat mempengaruhi kehidupan orang hutan.
“Karena hutan tempat hidup mereka makin kurang, sehingga mereka ke pemukian warga. Jadi, hidup mereka kian terancam. Saat ini, kita masih mengenal orang hutan. Tapi, nanti belum tentu. Otomatis, istilah dan wacana (discourse) terkait orang hutan pun akan hilang. Belum lagi, kedudukan dan fungsi “kebaikan” mereka bagi kehidupan kita,” katanya.
“Di tempat saya, di Takengon, ada kearifan masyarakat Gayo dalam bersawah yang dikenal dengan Lues Belang (untuk mengistirahatkan dan memulihkan lahan). Tapi, karena terus “dipaksankan” untuk ditanami dan menghasilkan, sehingga tanahnya kurang subur. Belum lagi, pengaruh pupuk dan pestisida. Akhirnya, ketidakseimbangan pun terjadi,” sebutnya.
Sebetulnya, katanya menerangkan, adanya fenomena perubahan cuaca ekstrim semakin menggambarkan keterancaman manusia dan makhluk di bumi. Karenanya, perlu partisifasi berbagai keilmuan dan berbagai pihak dalam menyelamatkan lingkungan. Termasuk, kajian Ekolinguistik (kajian ekologi dan linguistik—ekologi bahasa).
“Di sini, media massa juga ikut beperan. Dalam bencana alam yang terjadi, misalnya, seringkali media hanya memberitakan saat dan paskakejadian. Namun, kurang saat prabencana. Kalau dari awal media ikut memberitakan prabencana, termasuk mengenalkan kearifan ekologi yang imiliki berbagai suku di Indonesia, pasti korbannya bisa ditekan. Apalagi, suku kita banyak di Indonesia. Kemungkinan, masing-masing punya kearifan ekologi. Luar biasa, kan?” sebutnya
Saat ditanya motivasinya mendalami kajian dan menulis buku Ekolinguistik, Yusradi menyebutkan bahwa di tengah keterbatasannya, ia ingin berbagi dan berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan. Khususnya, melalui kajian ini. “Apalagi, pengkaji dan literatur tentang Ekolinguistik masih sangat terbatas. Di Indonesia, ini buku Ekolinguistik pertama,” sebutnya (*)