Eee…..eee gure e……
Anut-anuten ku waeh bengi, ari totor Bale
Ku totor Saril, waeh tenang muliku-liku
Kadang-kadang sire muniri awe-awe angak,
Mata e kucak lagu gule ili,
Eee….eee gure e…..
Tingkah ni ketibung ni nge lagu repa’i
(Ketibung, Ceh Muhammad Lakiki)
Itulah sepenggal lirik lagu didong yang diciptakan (alm) Ceh Muhammad Lakiki, mantan ceh tue klub Didong Lakiki yang kesohor dari Kampung Kute Lintang Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.
Bait lagu tersebut dinyanyikan oleh Rahmatsyah (68) bersama rekannya Nurdin M Berani aman Jurai (65), sambil menikmati secangkir kopi racikan Barista Win Ruhdi Bathin di kantin Batas Kota saat santai bersama Lintas Gayo, Selasa (06/09) setelah melakukan uji lokasi “Beketibung” di tepian Weh Pesangan lapangan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Kampung Hakim Bale Bujang Kecamatan Lut Tawar.
Saat diwawancarai, keduanya baru saja diminta panitia acara Inilah Gayo-2 untuk melakukan Ketibung untuk memastikan pengaturan sound system pendukung suara Ketibung yang akan dimainkan dihadapan pengunjung acara tersebut, Minggu (11/9/2011).
Kedua pria yang sudah bercucu belasan orang ini adalah teman sepermainan semasa kecil, bahkan hingga keduanya diusia senja masih terlihat kompak yang kerap terlihat bersama-sama dikampung tempat mereka tinggal di Kayu Kul Pegasing.
Beketibung gembira sambil menangkap ikan di kawasan Jurusen hingga Lukup Badak Weh Pesangan kerap mereka lakukan, demikian kesaksian sejumlah warga seputar kawasan tersebut.
Buktinya, dihadapan sejumlah panitia Inilah Gayo-2 di Weh Pesangan Hakim Bale Bujang, mereka berdua terlihat ahli memainkan nada yang menyerupai tepuk didong di dalam air. Bahkan Rahmatsyah, harus diminta berulang-ulang oleh rekannya Nurdin M Berani untuk berhenti Berketibung. Rahmatsyah seakan tidak puas dengan nada Ketibung yang dimainkannya ditempat tersebut.
“Tempat ini belum kenal dengan kamu,” kata Aman Jurai sambil tertawa setelah mengolok-olok Rahmatsyah yang terlihat menggigil menahan dinginnya air yang mengalir dari danau berpenghuni Peteri Ijo tersebut. Memang cuaca agak dingin karena hujan yang mengguyur sejak siang.
Menurut Nurdin M Berani, jalan hidup Urang Gayo penuh dengan seni. Sampai-sampai atau bahkan ketika mandi pun mempunyai seni. Ketibung contohnya. “Mana ada didunia ini orang mandi bermain Ketibung seperti kita di Tanoh Gayo ini,” kata Nurdin M Berani yang berkumis tebal dan berperawakan beringas namun ternyata humoris ini. Kumis tebal tak selamanya beringas terbukti saat berkenalan dengan sosok ini.
Seni berketibung sepengetahuan Nurdin adalah kebiasaan Urang Gayo dalam memainkan gerakan tangan dan kaki ketika mandi di aliran air yang tenang seperti sungai, danau atau kolam. Nurdin juga mengatakan bahwa ketibung diinspirasi oleh legenda Peteri Bensu yang konon turun dari kayangan untuk mandi di aliran sungai Pesangan.
Peteri Bensu beserta saudari-saudarinya bersenda gurau dan Berketibung saat mandi tersebut. Dan saking asyiknya, mereka tak sadar ada Malim Dewa mengintai dan mencuri selendang Peteri Bensu yang merupakan sayap saat terbang.
Mulai belajar Beketibung diceritakan Rahmatsyah. Saat mereka masih kecil kerap mandi di Jurusen Weh Pesangan. Rahmatsyah yang berperawakan kecil dan sahabatnya Nurdin M Berani yang berwajah sangar kerap melihat dan mendengar para wanita dewasa di kampung tersebut Berketibung saat beraktivitas mandi dan mencuci pakaian di Weh Pesangan.
“Kami pernah menyaksikan seorang wanita yang mahir Berketibung dengan menggunakan kedua kakinya. Bukan menggunakan tangan,” kenang Rahmatsyah.
Karena sering melihat dan mendengar Ketibung tersebut, tanpa sadar lambat laun kami juga belajar, dan bisa sedikit-sedikit Berketibung seperti yang kalian lihat tadi, ujarnya lagi.
Dirinya dan sahabatnya kerap menirukan tepukan Didong sambil menyanyikan lagu Ketibung ciptaan Ceh Muhammad Lakiki yang merupakan Ceh Didong kesayangan mereka.
“Saat kami bujang sedang kerap berketibung yang sengaja didekatkan dengan sekelompok gadis Gayo yang juga berada di Weh Pesangan untuk mencuci atau mandi. Maklumlah bujangan. Dan kami kerap disoraki oleh mereka saat salah tingkah Berketibung,” ujar Rahmatsyah disambut gelak tawa keduanya seolah teringat peristiwa masa lalu mereka.
Kini Weh Pesangan tak nyaman lagi untuk Berketibung, sampah dan kaca berselamak didasarnya. Mersah (menasah) tidak lagi punya Berawang (kolam mandi dan berwudhu’), bahkan Inget-inget belem kona, hemat djimet tengah ara di Mersah Kebet sudah terkubur terlindas nafsu berlomba megah-megahan memoles pekarangan Masjid. Warga seputar danau Lut Tawar tidak lagi mandi di danau kebanggaan Urang Gayo tersebut. Semua sudah tergantikan dengan air yang mengalir hingga ke bilik tidur. Ketibung tinggal cerita Muhammad Lakiki dan To’et dalam bait lagunya. Inilah Gayo terkini, kami cemburu dan iri kepada masa lalumu “Gayo”. (Wein Mutuah/Khalis)