Takengon | Lintas Gayo –Sejumlah petani kopi di Gayo kini sudah mulai mengumpulkan kopi jenis tunggal yang dalam bahasa Gayo disebut “kupi rawan”. Kopi tunggal ini di Indonesia lebih dikenal sebagai kopi Lanang dan banyak ditemukan diberbagai lokasi perkebunan kopi Jawa Timur.
Normalnya buah kopi memiliki dua buah biji . Oleh berbagai sebab, salah satu bijinya rusak atau tidak tumbuh sehingga tinggal satu biji. Biji tunggal berbentuk lebih bulat (oval) dibandingkan kopi normal.
Sosok kopi rawan mirip kacang polong. Oleh karena itu masyarakat internasional menyebut kopi lanang peaberry coffee. Padahal, lazimnya dalam cherry bean atau buah kopi terdiri atas dua keping.
Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, seorang petani kopi gayo di Tawardi II Kecamatan Kute Panang Takengen menyatakan bahwa hasil panen kopi arabika Gayo varietas Ateng Super miliknya, memiliki banyak kopi rawan.
“Hebatnya kopi varietas Ateng Super banyak menghasilkan kopi rawan sehingga secara spesifik saya memisahkannya dengan kopi lainnya”, kata Murasada. Mursada kemudian coba membedakan rasa kopi biji tunggal dengan kopi arabika lainnya, dengan test cup.
Hasilnya, menurut Mursada, rasa kopi rawan lebih keras dibandingkan kopi lainnya. Namun menyinggung khasiatnya, Mursada mengaku belum tahu. “20 persen, dari total produksi Ateng Super, menghasilkan kopi rawan”, sebut Mursada yang lebih akrab disebut Sada.
Selain Sada, Sarhan, petani kopi di Kampung Kute Panang, sebuah perbukitan dan lembah yang semua kawasannya diisi dengan kopi ribuan hektar, mengaku hal yang sama. Pada kopi jenis Ateng Super, ditemukan banyak biji tunggal termasuk luwak.
“Sensasi kopi biji tunggal di luwak, tentu akan sangat lebih menggoda”, kata Sarhan. Sarhan yang sudah mulai memperkenalkan produk kopi Gayo hingga keluar negeri, termasuk kopi luwak dengan skala kecil.
Sarhan menyatakan bahwa prospek kopi Gayo yang unggul di rasa, aroma dan besarnya biji akan semakin besar dimasa depan. Dari berbagai sumber disebutkan, kopi lanang dipercaya orang dapat meningkatkan vitalitas kaum lelaki.
Soal itu, belum ada riset ilmiah yang mendukung. Yang pasti para penyeruput kopi lanang merasakan mata sulit terpejam. Itu lantaran kandungan kafein kopi lanang tinggi, yakni 2,1%.
Menurut periset di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa Timur, Dr Ir Sri Mulato, MS, kejadian biji tunggal pada kopi lanang bukan tanpa alasan. “Hal itu bisa terjadi karena anomali pembuahan. Hasilnya, lahirlah biji tunggal dan bersifat infertil,” kata Mulato. Sebab lain, bunga kurang mendapat nutrisi sehingga pembuahan tidak sempurna.
Meski tunggal, ukuran biji kopi lanang lebih kecil daripada biji normal, sekitar 6 – 6,5 mm. Dulu pekebun menganggap kopi lanang sebagai biji cacat gara-gara berukuran mini sehingga membuangnya.
Anggapan citarasa biji berukuran kecil hambar, itu ternyata salah. Ketika disangrai aroma kopi lanang justru sangat kuat.
Menurut Yudi Kristanto, manajer kebun PT Perkebunan Nusantara XII di Malangsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kopi lanang bukan hibrida dari keluarga Rubiaceae. Sebab, munculnya peasberry dapat terjadi pada kopi jenis arabika maupun robusta.
Namun, kopi lanang lebih banyak ditemukan di jenis robusta. “Pada robusta bisa ditemukan sampai 40 buah per tangkai; arabika 10 – 15 butir per tangkai,” kata Yudi. Satu tangkai terdiri atas rata-rata 70 – 80 buah. Meski begitu, bukan berarti pekebun dapat menemukan kopi lanang di setiap pohon, apalagi di setiap dompol.
Jumlah biji kopi lanang pada jenis robusta dan arabika paling banter 3 – 5% dari total produksi. Memang pada pohon tertentu ada saja yang menghasilkan sampai 10% biji kopi lanang, tapi ada juga pohon yang sama sekali tidak menghasilkan biji kopi lanang. Itu sebabnya produksi kopi lanang terbatas.
Prosesnya olahan kopi rawan , sama dengan biji kopi biasa, dikeringkan hingga kadar air 12% sebelum digiling atau ditumbuk. Biji kopi lanang dari varietas robusta lebih cepat kering daripada yang arabika. “Robusta kering dalam waktu 18 jam; lanang arabica butuh waktu 11 hari,” ucap Yudi.
Selain kopi luwakdan kopi rawan, sensasi kopi lainnya adalah kopi gajah. Kopi gajah tidak kalah lezat. Disebut juga maragogipe atau elephant bean coffee. Ia disebut kopi gajah karena ukuran biji 1,5 – 2 kali lipat lebih besar daripada biji kopi normal. Kopi gajah merupakan mutasi dari varietas arabika. Selain ukuran, daun kopi gajah menguncup, sedangkan arabika daunnya agak lonjong dan langsing.
Kopi gajah pertama kali ditemukan di kota Maragogipe, Provinsi Bahia, Brasil, pada 1870. Berselang 40 tahun biji kopi itu tersebar ke penjuru Amerika Latin, Asia, dan Eropa. PT Perkebunan Nusantara XII mengebunkan kopi gajah secara komersial di kebun Kalisat Jampit, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Menurut manajer kebun, Ardi Iriantono, populasi kopi gajah mencapai 700 pohon di lahan 9 ha. Pohon maragogipe mampu berproduksi sampai umur 40 tahun.
Sayangnya produktivitas maragogipe rendah. Total produksi paling banyak 50% dari produktivitas arabika normal yang rata-rata 5 kg per pohon per panen. Soal citarasa? Pada 1928, William H. Ukers, ahli kopi dunia, menyebutkan maragogipe terasa woody (seperti kayu) dan disagreeable (mengerikan). Namun, setelah disilangkan dengan beberapa jenis kopi lain rasa maragogipe semakin menyenangkan.
Ternyata citarasa gajah tergantung lokasi penanaman. “Maklum, setiap daerah memiliki kondisi tanah berbeda,” kata Ardi. Produksi maragogipe asal Indonesia tak kalah baik. “Dengan olahan yang benar maragogipe menghasilkan after taste yang lama dan kuat,” imbuhnya. Rasa asamnya pun bagus. Karena langka harga maragogipe relatif mahal.
Kini di Takengon, banyak pengusaha dan petani kopi mulai memperkenalkan kopi gayo secara terbatas dan sendiri-sendiri ke berbagai tempat. Baik local maupun mancanegara. “Sudah banyak warga Takengon yang kini mulai berbisnis dengan menjual kopi olahan berupa bubuk, roasting dan kopi espresso”, kata Aman Shafa.
Menurutnya, meski dinilai pengetahuan warga gayo tentang kopi olahan terlambat, namun keadaan ini sudah lebih baik dan berharap pihak Pemda mulai membuka diri mendukung warga gayo yang bergerak di kopi olahan.
“Jika bicara kualitas dan rasa kopi arabika, saya berharap peta kopi di Indonesia berkiblat ke gayo.Tinggal para pemangku kepentingan menyiapkan pendukungnya. Seperti pusat penelitian kopi gayo, balai pelatihan kopi Gayo, kebun induk serta member pelatihan kopi olahan secara kontinyu”, harap Aman Shafa (Win.RB)