Bom, Tetunyung | Lintas Gayo : Lahan pertanian di Kampung Bom dan Keluharan Takengon Timur tidak begitu luas, cuma sekitar 3-5 hektar namun ternyata lebih dari 40 Kepala Keluarga menggantungkan hidup dilokasi yang berbatas langsung dengan sisi barat Danau Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah.
Perkepala keluarga umumnya mengelola tidak lebih dari 2 rante (perantenya 25 x 25 meter persegi) dan komoditi yang dibudidayakan umumnya yang cepat panen, tidak lebih dari sebulan dari pembibitan hingga panen. Sawi manis, Kangkung dan Lasun Bok (sebutan warga Gayo untuk bawang yang dimanfaatkan daunnya).
Umumnya mereka menggarap tanah milik orang lain dengan pinjam pakai tanpa sewa dan ada juga yang menyewanya. Sebagian kecil memakai tanah sendiri atau milik keluarga dekat. Seperti dinyatakan Bustami, pria asal Matang Geulumpang Dua Bireuen yang sudah 10 tahun merantau di Takengon dan selama ini dari bercocok tanam ditempat tersebut. Dia berterima kasih kepada pemilik tanah yang mempersilahkan dirinya mengelola tanah tanpa sewa sepeserpun karena menurutnya sebagian petani ditempat tersebut harus menyewa hingga lebih dari Rp1 juta rupiah pertahunnya.
Pengakuan petani lainnya, Sahirman warga Kelitu Kecamatan Bintang yang saat ditemui sedang membuat gundukan tempat tanam mengaku menggarap lahan milik neneknya yang sejak beberapa tahun ini tidak dimanfaatkan. Dia mengaku neneknya yang sudah almarhumah naik haji dari tanaman kangkung yang ditanam dikolam dilokasi tersebut.
“Bagi warga sini, nenek saya biasa dipanggil Hj Rempon, mungkin karena biaya naik haji dari tabungan penjualan sayur kangkung,” kata Sahirman. Rempon, bahasa Gayo berarti Kangkung. Sahirman berkeinginan melanjutkan usaha neneknya tersebut bertani dilahan yang sempit namun maksimal pengelolaannya.
Lain halnya dengan Inen Ida, dia dan suaminya yang merupakan warga asli Takengon mengaku membiaya keluarga dengan sumber terbesar dari bertani dilokasi yang bergoyang saat dilintasi. Mereka mengelola tanah milik orang lain seluas sekitar 1 rante dan menyewanya Rp600 ribu pertahunnya.
Ternyata yang bertani dengan memanfaat lahan sempit tersebut khususnya yang berdomisili di Tetunyung Keluharan Takengon Timur bergabung dalam satu kelompok tani (Koptan) bernama Telege Pitu yang dipimpin Agussalim.
Saat ditemui dilokasi yang dikelolanya, Agussalim bersama sang istri, Hasanah sedang asyik memanen Sawi Manis, Sabtu (17/9/2011). “Usaha ini adalah penopang utama ekonomi keluarga saya dan Alhamdulillah, 2 orang dari 5 anak saya sudah bergelar sarjana,” kata Agussalim sambil menyebutkan salah seorang anaknya malah sudah lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Bener Meriah.
Selain itu, Agussalim juga masih harus menyekolahkan 3 orang anaknya lagi, 2 orang dibangku kuliah diluar daerah dan 1 orang di SMA di Takengon.
Perikat sawi manis menurut Agussalaim terdiri dari 3-5 batang dan dijual tidak lebih dari Rp.1ooo,- perikat. “Jika panen hari ini maka besok pagi-pagi istri saya akan antar ke Pasar Petani di jalan Peteri Ijo. Para pedagang tersebut menjual perikatnya sampai Rp2 ribu. Jika dilihat dari keuntungan, sebenarnya pedagang lebih banyak dapat laba ketimbang kami para petani,” ujarnya dengan wajah agak suram.
Ditanya terkait perhatian pemerintah, Agussalim sambil menggeleng-geleng kepala berucap pemerintah ada memberi bantuan sekitar 3 tahun lalu dan setelahnya hanya mendata-data saja yang katanya akan disalurkan bantuan modal berupa bibit dan pupuk, namun hingga kini belum ada realisasasi.
“Jika tidak dibantupun kami tetap harus melakukan pekerjaan ini untuk melanjutkan hidup. Namun jika dibantu kami sangat bersyukur karena bisa menambah modal usaha mereka,” katanya sambil meminta Lintas Gayo menghitung-hitung berapa kira-kira biaya menyekolah 2 anak diperantauan Banda Aceh dan Medan.
Selain itu, dia mengaku tidak pernah mendapat bimbingan dari penyuluh pertanian untuk lebih memaksimalkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian mereka. “Kami sangat berharap mendapat bimbingan dari penyuluh pertanian, minimal 3 bulan sekali saja mereka datang kemari membimbing kami,” harap Agussalim mengakhiri keterangannya. (Kha@Zaghlul)