Oleh Johansyah*
Berbicara warisan, yang terbayang dalam benak orang adalah harta atau kekayaan peninggalan orang tua kepada anak-anaknya; tanah, rumah, mobil, kebun dan harta dalam bentuk lainnya. Sementara siapa yang peduli dan mengingat dua warisan yang ditinggalkan oleh Nabi Saw yaitu alqur’an dan hadits di tengah hingar bingar kehidupan materialis individual ini yang kelihatannya semakin diabaikan. Orang lebih bernafsu mewarisi dan mewariskan harta dari pada pesan-pesan penting yang termuat dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Mewarisi dan mewariskah harta adalah di antara anjuran dalam Islam. Namun sebagai muslim, yang lebih penting lagi adalah mewariskan dua pusaka Nabi Saw di atas sebagai landasan sistem hidup. Beliau lebih memilih untuk mewariskan alqur’an dan sunnah dari pada harta, sebab warisan ini tidak akan diperebutkan dan menjadi malapetaka. Di sekitar kita, banyak pertikaian yang dipicu oleh perebutan harta peninggalan (perebut pusaka/reta). Bukankah sangat naïf ketika seorang adik tega membunuh abangnya hanya gara-gara berebut mesin jahit.
Esensi warisan Nabi Saw adalah ide-ide muatan nilai tentang bagaimana manusia seharusnya hidup sesuai kehendak Tuhan di muka bumi ini. Hidup tanpa standar nilai di dunia mungkin akan membuat paradigma berpikir dan perilaku kita cenderung mengikuti keinginan yang sering kali bersilangan dengan nilai-nilai kemanusian dan ketuhanan. Hal ini bukan berarti Tuhan melarang manusia untuk mencari harta guna memenuhi kebutuhan hidup di dunia, akan tetapi manusia diperingatkan agar tidak larut dengan panorama sekejap kehidupan dunia.
Secara kuantitas warisan Nabi Saw tidak membatasi pewarisnya, selama orang mau maka tidak ada batasan ahli waris sebab semakin banyak dibagikan maka jumlahnya terus bertambah. Bukan seperti harta ketika dibagikan maka akan berkurang. Sebagai pewaris alqur’an dan hadits, manusia akan mampu menjaga keseimbangan kebutuhan fisik dan kebutuhan ruhaninya.
Lupa
Pada prinsipnya, manusia memiliki kebutuhan fisik dan kebutuhan mental. Dalam kenyataannya orang sering lupa kebutuhan jiwa, hanya memenuhi kebutuhan fisik belaka. Manusia cenderung membiarkan dirinya terbelenggu oleh kegelisahan, ketakutan akan mati, kekhawatiran akan kehilangan harta benda miliknya, atau kekhawatiran akan hilang jabatan dan kekuasaan.
Manusia juga terkadang hanya berpikir untuk mewariskan kebutuhan fisik berupa harta sementara lupa mewariskan kebutuhan jiwa berupa nilai-nilai ketuhanan. Demikian pula ahli waris hanya berpikir berapa banyak harta kekayaan yang diwariskan orang tuanya sementara tidak berpikir apakah mereka diwarisi juga nilai-nilai ketuhanan.
Pemenuhuan terhadap kebutuhan fisik dapat juga dilihat dari banyaknya orang yang gelisah ketika mengalami sakit sehingga selalu berusaha menjaga kesehatannya. Seseorang akan sibuk mencari dokter atau manteri ketika mengalami gangguan kesehatan dan segera mengkonsultasikan sakit serta meminta obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebaliknya, kebanyakan orang tidak khawatir dengan penyakit jiwa yang dialaminya, malah terasa senang merasa tidak mengalami gangguan. Koruptor adalah contoh orang yang sakit jiwa, tapi dia tidak merasa sakit melainkan tenggelam dalam kesenangan materi yang diperolehnya padahal secara kejiwaan sebenarnya penyakit yang dideritanya sudah sangat parah.
Mewarisi dan Mewariskan
Mewarisi dan mewariskan alqur’an bukan berarti menghitung berapa buah alqur’an yang diberikan oleh orang tua kepada anak atau berapa banyak ayat dan hadits yang dihafal, akan tetapi seberapa banyak nilai-nilai alqur’an ditransformasikan dan diinternalisasikan kepada anak-anak melalui kognetif afektif maupun psikomotorik yang sudah dapat dimulai sejak anak usia dini, bahkan menurut Prof. Dr. Baihaqi AK dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan. Secara kognetif kita harus berusaha agar anak-anak mampu membaca dan memahami kandungan alqur’an dan hadits. Adapun secara afektif kita harus banyak memberikan tauladan baik kepada anak-anak.
Model pewarisan nilai qur’ani sampai saat ini masih dominan pada transformasi pengetahuan yang belum menyentuh sikap dan perilaku-perilaku keseharian seseorang. Barangkali salah satu penyebabnya adalah bahwa masih banyaknya pemahaman yang menganggap bahwa mewariskan nilai-nilai alqur’an dan hadits seolah-olah hanya mewariskan masalah hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat vertikal. Padahal pesan substansial alqur’an justru lebih dominan pada aspek-aspek horizontal di mana tidak hanya terbatas pada ritual-ritual ibadah mahdhah akan tetapi mencakup seluruh aktifitas kehidupan.
Memberi tauladan berbasis qur’ani tentunya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebenarnya sebagai transpormator nilai, banyak hal yang harus kita lakukan terutama mengevaluasi tingkat pemahaman terhadap alqur’an. Pemahaman yang bukan sekedar penguasaan dan wawasan terhadap karya-karya tafsir tempo dulu, akan tetapi pemahaman yang mampu menjembatani antara konsep-konsep nilai dengan implementasinya sehingga ide-ide alqur’an dan hadits dapat membumi.
Dalam era perubahan zaman yang sangat cepat, mewariskan nilai-nilai qur’ani perlu didukung oleh pendekatan dan metode pewarisan nilai yang mapan. Salah satu faktor penting mentranspformasikan nilai ini adalah membangun sebuah pemahaman terhadap alqur’an dan hadits yang bersifat kontemporer. Harus diakui, selama ini hal inilah yang masih minim diterobos oleh para intelektual dan ulama muslim. Memang banyak muncul tokoh intelektual muslim yang menawarkan teori hermeneutik dalam menafsirkan alqur’an untuk merekonstruksi pemahaman alqur’an sesuai konteks dan perkembangan zaman, namun pemikiran mereka banyak dipertentangkan oleh kalangan inteletual muslim dunia, bahkan tidak sedikit yang mengklaim mereka sebagai kafir.
Pada level makro, peran dan keseriusan intelektual dan ulama muslim sangat diharapkan sebagai upaya membangun sebuah paradigma baru pemahaman alqur’an. Harus disadari bahwa tugas semacam ini tidak mungkin dibebankan kepada orang awam meskipun mereka dalam level mikro merupakan transformator nilai bagi anak-anak mereka. Di sini peran intelektual dan ulama muslim adalah menyiapkan konsep muatan nilai yang akan dijadikan bahan baku oleh setiap orang tua untuk mewariskan nilai qur’ani kepada anak-anak mereka.
Hemat penulis, agar pewarisan nilai alqur’an dapat membumi, maka langkah yang perlu dilakukan adalah; pertama, para intelektual dan ulama muslim harus mau dan mampu merekonstruksi pemahaman terhadap alqur’an dengan melakukan kajian-kajian di berbagai disiplin ilmu yang tentunya dikembangkan dari alqur’an. Kedua, pada level bawah, orang tua secara kognetif, afektif maupun psikomotorik harus mewariskan alqur’an dari membaca, memahami sampai menerapkan nilai-nilai alqur’an dalam kehidupan mereka.
*Penulis adalah Mahasiswa PPs IAIN Banda Aceh