Oleh Sabela Gayo*
Hanya ada satu bangsa Gayo di atas permukaan planet bumi ini, sebutan Gayo Kalul, Gayo Serbejadi, Gayo Blang, Gayo Lut, Gayo Deret, dan Gayo Alas hanyalah sebutan berdasarkan tempat tinggal semata (Artikel Isma Tantawi; 2008). Hal itu semakin menggugah rasa nasionalisme dan patriotisme setiap jiwa orang Gayo untuk lebih giat berjuang dalam membangun masyarakatnya. Hari ini, kalau orang Gayo ditanya apakah anda merasa ada diskriminasi di Aceh?, maka ia akan menjawab tidak ada. Tetapi kemudian jika ada suatu perhelatan politik seperti pemilihan Gubernur Aceh, kemudian ia ditanya lagi, Mengapa orang Gayo tidak ada yang jadi calon gubernur?, maka orang yang sama tadi akan menjawab, Orang Gayo tidak mungkin jadi Gubernur di Aceh karena jumlah pemilih yang berbahasa Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih yang berbahasa Gayo. Pada pertanyaan pertama dapat dilihat, bagaimana rasa kebatinan dan kejiwaan orang Gayo yang ”malu untuk berkata jujur” sesuai dengan isi hatinya sendiri, dan kemudian pertanyaan pertama itu terjawab dengan mudah dan jelas pada pertanyaan yang kedua. Itulah sifat dan watak orang Gayo yang tidak mau menyatakan/mengatakan sesuatu secara jelas dan blak-blakan. Karena budaya berbicara secara terus terang dan blak-blakan tidak pernah dikenal dalam budaya Gayo. Dalam budaya Gayo ada yang namanya budaya Melengkan yaitu budaya seni pantun dengan cara menyampaikan sesuatu melalui bahasa-bahasa kiasan. Orang Gayo memang tidak pernah mau mengatakan secara terus-terang dan blak-blakan adanya diskriminasi ras dan etnis di Aceh serta perbedaan perlakuan antara orang Aceh yang berbahasa Aceh dengan orang Aceh yang berbahasa Gayo, tetapi pada dasarnya secara tidak langsung orang Gayo mengakui dan merasakan adanya semangat ”diskriminasi” tersebut dalam kehidupannya sehari-hari dalam bentuknya yang demikian rapi dan terselubung.
Adanya nuansa diskriminasi dan ketidaksamaan dalam praktik sehari-hari khususnya terkait dengan akses sosial dan politik disebabkan oleh adanya kelompok mayoritas-minoritas yang dibedakan berdasarkan akar bahasa dan budaya daerahnya. Penutur bahasa pesisir (red; bahasa Aceh) memang secara nyata lebih banyak dari segi kuantitas dibandingkan dengan penutur bahasa Gayo. Hal tersebut menyebabkan pranata-pranata sosial lainnya seperti organisasi sosial, organisasi politik, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan lainnya menjadi ”tertular” oleh sindrom mayoritas-minoritas berdasarkan perbedaan bahasa daerah tersebut. Diakui atau tidak, perbedaan bahasa dan budaya tersebut menyebabkan ”lebarnya” jurang pemisah antara kaum mayoritas dan minoritas di Aceh, ditambah lagi dengan adanya semangat euforia etnis pesisir (red; etnis Aceh) untuk menjadikan bahasa pesisir (red; bahasa Aceh) sebagai bahasa ”nasional”, pemersatu dan linguafranca di Aceh. Semangat tersebut tentu saja ditolak secara nyata oleh beberapa kelompok konservatif-opportunis di Gayo dengan mengibarkan bendera provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Walaupun kemudian, semangat penolakan tersebut mulai reda seiring dengan semakin kondusifnya situasi keamanan di Aceh dan membaiknya denyut nadi perkekonomian masyarakat khususnya di kawasan Tengah-Tenggara.
Di Aceh, diakui atau diakui ada suatu suasana kebatinan yang dialami oleh orang Gayo dimana ia merasa bahwa dirinya adalah kelompok etnis ”kelas tiga” . Sedangkan kelompok etnis ”kelas 1” adalah masyarakat di kawasan pantai timur Aceh dan kelompok etnis ”kelas 2” adalah masyarakat di kawasan pantai barat Aceh. Dengan suasana kebatinan yang demikian, maka ada rasa ”minder” dan ”takut” untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu (red; gubernur) di Aceh karena sudah tersandera oleh semangat mayoritas-minoritas berdasarkan perbedaan bahasa dan budaya daerah. Perasaan ”takut” dan kurang ”percaya diri” untuk menjadi orang nomor satu tidak hanya terjadi di ranah politik tetapi juga merembet ke ranah-ranah sosial kemasyarakatan lainnya seperti organisasi politik, lembaga pendidikan, organisasi budaya, organisasi keagamaan dan profesi. Walaupun kadangkala ada juga satu atau dua orang yang berasal dari etnis Gayo dapat menduduki posisi orang nomor satu di organisasi-organisasi profesi, sosial dan politik di Aceh. Tetapi hal tersebut tidak lantas menjustifikasi bahwa tidak ada diskriminasi dan ketidakadilan di Aceh.
Suasana kebatinan yang dialami oleh orang Gayo tersebut harus segera diakhiri dan dicarikan solusinya agar semua warga Aceh mempunyai akses dan kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi orang nomor satu baik di lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi sosial, politik, agama, lembaga pendidikan maupun budaya. Selama masih dirasakan adanya semangat dan nuansa ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh orang Gayo maka selama itu pula akan tejadi upaya-upaya untuk ’melepaskan diri” dari suasana tersebut. Dengan adanya perbedaan mayoritas-minoritas berdasarkan perbedaan bahasa dan budaya tersebut menyebabkan orang Gayo pada tingkat provinsi Aceh hanya berani bercita-cita menjadi orang nomor dua (red; wakil), makanya tulisan ini bermaksud untuk menggugah jiwa kritis para generasi muda Gayo bahwa orang Gayo jangan hanya berani bercita-cita menjadi orang nomor dua karena orang Gayo bukan bangsa budak, yang bermakna bahwa orang Gayo jangan senantiasa mau berada dibawah. Kalau terus-menerus direkayasa secara sengaja agar orang Gayo selalu berada ”dibawah” maka lebih baik dicari ”wadah” lain yang lebih cocok dimana orang Gayo dapat tampil menjadi orang nomor satu supaya dapat lebih fokus dalam mengembangkan budaya entrepreneurship (kewirausahaan) dan pengembangan ilmu pengetahuan teknologi, sehingga pada akhirnya mampu melahirkan masyarakat Gayo baru-modern yang terdidik dan menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk maju.
Dunia sekarang adalah dunia yang tanpa batas dan tidak lagi terhalang oleh sekat-sekat wilayah, orang yang dapat menguasai dunia adalah orang yang menguasai perdagangan dan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, makanya ada negara yang kecil dari segi wilayah dan tidak memiliki sumber daya alam apapun tapi karena banyak orang pintar dan kaya tinggal di negara itu, kehidupan sosial warga negaranya menjadi sangat mapan dan bahkan pendapatan perkapitanya jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan dan pendapatan per kapita warga negara yang wilayahnya luas, contoh Singapura, Austria, Belgium, Belanda, Swedia, Norwegia, Finlandia dan Brunei Darussalam dibandingkan dengan Indonesia.
***
*Mahasiswa Program Ph.D in Law of Northern University of Malaysia (Universiti Utara Malaysia) dan Wali World Gayonese Association (WGA)