Oleh Johansyah*
Tidak lama lagi kita akan merayakan kembali hari yang agung yaitu idul adha atau hari raya kurban. Dari torehan sejarah sebenarnya banyak sekali pelajaran dan nilai-nilai substansial yang dapat dipetik dari hari raya ini. Salah satunya adalah perintah berkurban yang akan menggiring ingatan kita kepada nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah dengan cara memerintahkan beliau untuk menyembelih putra semata wayangnya melalui ra’ya fi al manam (mimpi), sebagaimana terekam dalam alqur’an (QS. [37] Ash-shaffat: 102).
Berawal dari mimpi tersebut, Ibrahim sebenarnya sempat ragu apakah itu benar-benar perintah dari Allah ataukah gangguan iblis yang memang suka menggoda manusia. Namun akhirnya beliau yakin bahwa itu benar-benar perintah. Menyadari itu, maka nabi Ibrahim pun memanggil putra kebanggannya Ismail lalu menceritakan mimpinya bahwa Allah memerintahkan dia untuk menyembelih Ismail. Sebagai anak yang memiliki keimanan teguh maka Ismail dengan penuh keberanian dan keikhlasan langsung menjawab; wahai ayahku, jika itu memang perintah dari Allah maka kerjakanlah, mudah-mudahan aku sabar menjalaninya.
Iblis yang mengetahui rencana ini segera menyusun strategi dengan membocorkan rahasia ini kepada istri beliau Siti Hajar yang memang tidak diberitahukan. Iblis membayangkan rencananya pasti berhasil karena seorang ibu tidak mungkin membiarkan anaknya dikorbankan sekalipun itu perintah Allah, namun siapa sangka iblis yang dengan percaya dirinya dengan rencana jahat gagal mempecundangi Siti Hajar. Sebaliknya iblis malah dimaki dan diusir oleh Siti Hajar dan menegaskan kepada kepada iblis kalau memang itu perintah Allah maka aku sangat rela, kata Hajar.
Kegagalan merayu Hajar lantas tidak membuat iblis behenti sampai di situ, melainkan kembali menyusun sebuah rencana untuk menggagalkan misi Ibrahim dengan mencoba memperdayai Ismail. Dalam perjalanan ke tempat penyembelihan yang direncanakan, iblis berulang kali membujuk Ismail agar tidak mengikuti rencana ayahnya. Ismail yang imannya sudah teruji sama sekali tidak tergoyahkan oleh argumen iblis, bahkan mengusir dan melemparinya bersama ayahnya. Serangkaian peristiwa ini pula yang kemudian menjadi bagian terpenting dari pelaksanaan ibadah haji.
Pantas diteladani
Keteguhan iman yang diperlihatkan oleh Ibrahim, istri, dan anaknya Ismail sejatinya pantas diteladani. Sekiranya kita bertanya manakah di antara contoh keluarga ideal menurut Islam, maka keluarga Ibrahim adalah jawaban yang tepat untuk itu. Alasannya adalah karena keimanan mereka yang begitu kuat dan teruji, baik ayah, istri maupun anaknya. Bandingkan dengan beberapa kisah nabi yang dicatat alqur’an, bertapa tidak berdayanya nabi Nuh as. yang tidak mampu mnggiring istri dan anaknya untuk beriman kendatipun ada hal lain yang dapat dijadikan pelajaran.
Dalam catatan sejarah Ibrahim dikenal dengan julukan Bapak Tauhid dikarenakan keteguhannya dalam menegakkan tauhid, tidak mengenal kompromi terhadap semua bentuk penyimpangan terhadap tauhid. Kecintaannya kepada Allah melebihi dari kecintaan kepada apapun dan siapapun, dia mampu menempatkan kepentingan Allah di atas kepentingannya.
Tentunya hal ini tidak saja dilatarbelakangi oleh faktor kenabian belaka yang selalu identik dengan pertolongan dan perlindungan Allah. Lebih dari itu sosok Ibrahim yang begitu kokoh dalam tauhid di antaranya karena daya kritisnya terhadap kebenaran dan ketika dalam kurun waktu yang panjang mencari jejak Tuhan di setiap fenomena alam sekitarnya sampai dia menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Sementara Siti Hajar mencerminkan sosok istri yang juga memegang teguh perintah Allah. Kesayangan yang tiada tara kepada anak semata wayangnya ternyata tidak seberapa bila dibandingkan kecintaannya terhadap Allah. Kondisi keberimanan ini merupakan totalitas pengabdiannya yang tidak setengah hati dalam melaksanakan perintah Allah sebesar apapun resikonya.
Sementara Ismail, tidak diragukan lagi merupakan sosok anak yang keimanannya sudah teruji. Tidak ada yang menghalangi pengabdiannya kepada Allah walaupun harus mengorbankan diri demi memenuhi perintah Allah. Kekuatan mental dan kemantapan akidahnya sebenarnya sudah terlatih sejak dia masih bayi, di mana ketika itu Ibrahim meninggalkannya berdua dengan sang ibu di gurun pasir yang gersang dan tandus. Ismail tumbuh menjadi sosok yang tegar, tidak cengeng, mandiri, dan berani menghadapi resiko.
Terapkan dalam keluarga
Di tengah kebingungan dalam mencari formulasi pendidikan karakter dalam menanggulangi dekadensi moral di negeri ini, juga di tengah rapuhnya nilai-nilai spiritual dalam masyarakat dan birokrasi kita, tentunya pola pendidikan dalam keluarga menjadi salah satu sisi yang harus mendapat perhatian dan diperkuat guna meminimalisir permasalahan moral bangsa ini. Penulis berpikir bahwa pola pendidikan Ibrahim dapat menjadi salah satu alternatif.
Sisi yang diambil adalah peran masing-masing anggota keluarga yang begitu komitmen terhadap tauhid sebagai landasan semua amal manusia. Dengan kata lain kita menginginkan sosok ayah seperti Ibrahim, sosok ibu seperti Siti Hajar, dan sosok anak seperti Ismail. Terkadang juga penulis menyadari betul bahwa kita tidak mungkin dapat meniru sosok Ibrahim karena dia adalah nabi, akan tetapi ruang dan waktu sangat terbuka untuk kita semua untuk mau meneladaninya dan bukankah cerita-cerita alqur’an salah satu fungsinya untuk pelajaran bagi kita?.
Kata sebagian orang, permasalahannya sekarang adalah bagaimana cara menerapkannya dalam keluarga. Hemat penulis ada dua sisi tauhid yang harus dikuatkan; pertama adalah tauhid individual yang merupakan upaya penguatan hubungan dengan Allah melalui ibadah mahdah dengan ragam bentuknya. Dan yang kedua adalah penguatan tauhid sosial atau tauhid amal yang merupakan manivestasi dari pengakuan keesaan terhadap Allah yang diwujudkan melalui pengamalan ajaran-ajaran agama; jujur, tanggung jawab, toleransi, menghargai orang lain, menjaga kebersihan, adil, berani dan konsisten dalam kebenaran dalam situasi dan kondisi apapun.
Di sisi lain, penulis melihat sulitnya ajaran-ajaran Islam dibumikan saat ini khususnya di Indonesia disebabkan oleh terbangunnya asumsi-asumsi yang keliru dan tanda rapuhnya ketauhidan seseorang, misalnya banyak yang beranggapan bahwa zaman sekarang semuanya harus dengan uang, kalau tidak sulit. Atau ada juga yang mengatakan zaman sekarang tidak boleh terlalu jujur.
Asumsi-asumsi semacam inilah yang sekarang ini berkembang dalam masyarakat sehingga orang merasa tidak lagi keliru ketika melakukan penyimpangan karena memang zaman begitu. Hal ini penulis anggap sebagai kecelakaan tauhid bagi umat Islam, mereka tidak lagi mengikat diri dengan nilai spiritual transendental dan hanya berpikir ‘aku’ dan sekarang, bukan ‘kita’ dan masa depan. Untuk itulah penguatan tauhid harus dipaksakan dalam memperbaiki kondisi ini. Setidaknya, kisah Ibrahim yang rela berkorban dengan ketulusan dengan didukung semua anggota keluarganya untuk melaksanakan perintah Allah dapat dijadikan teladan. Marilah kita renungkan bersama.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan