Oleh : Dr. Darul Aman, M. Pd*
Disain yang “Unenkapsulasi”
Disain kurikulum yang unenkapsulasi diambil dari proposal Joseph Royce yang bertujuan untuk mengurangi efek enkapsulasi. Enkapsulasi, mengacu pada sebuah kondisi manusia secara umum di mana individu mempercayai bahwa manusia mempunyai suatu pemahaman dan persepsi terhadap kenyataan walaupun manusia mempunyai keterbatasan, namun ia hanya mempunyai suatu bahagian dan pembatasan dari apa yang sungguhnya ada “di luar jangkauan.” Tujuan disain ini adalah untuk menghasilkan hipotetis perilaku “manusia terbaik” yang diatur oleh keseimbangan dan teori pengetahuan bukannya mengacu pada penyimpangan persepsi dan prasangka tak sadar. Disain ini merupakan sebuah rancangan untuk pendidikan secara umum; yang tidak membuat ketetapan apapun untuk pendidikan kejuruan dan pendidikan khusus.
Menurut Royce, keseimbangan dan teori pengetahuan dapat diperoleh jika semua jalan pikiran dan persepsi dibuka untuk mengembangkan konsep dan gagasan. Walaupun ia mengakui bahwa banyak sekali teori yang diketahui saai ini. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan empat proses dasar, yaitu : rasional, intuisi, pengalaman, dan pematuhan secara mutlak (Royce, 1964, h.13). Suatu kurikulum dengan disain enkapsulasi diatur oleh empat aturan dasar pengetahuan. (Disain seperti itu ditandai dengan proses orientasi yang akan membandingkan dengan hampir semua disain, yang memakai mereka dalam berbagai pengaturan isi). Adapun keempat gambaran tersebut dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
- Rasional (pemikiran) adalah suatu sistem yang menjaga apapun dari suatu yang yang tidak masuk akal. Dan sebaliknya, pemikiran yang tajam dan logis dikatakan sebagai petunjuk terhadap kebenaran. Ukuran pengetahuan yang asli dalam kategori pengetahuan adalah suatu rangkaian logika. Artinya sesuatu yang dilakukan oleh individu dapat diterima kebenarannya menurut akal sehat dan akan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari bagi orang banyak. Pendidikan yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran adalah mengarahkan kita semua/anak didik untuk berfikir rasio atau masuk akal. Tidak mungkin menurut akal apabila pelaksanaan Ujian Nasional (misalnya) lulus 100% murni kalau tidak ada bantuan gratis dari oknum yang tidak bertanggungjawab.
- Pengalaman (merasakan) adalah rute menuju pengetahuan, melalui pengalaman yang berhubungan dengan perasaan dasar sebagai ukuran kebenaran. Jika sesuatu yang tidak bisa dilihat, tidak bisa dibekam, disentuh, terdengar, dll., maka akan dianggap tidak ada. Lagipula, “kebenaran” dinyatakan ketika kita merasakan objek secara pasti, tetapi ketika kita tidak merasakannya, maka kita akan dianggap berilusi dan konsep yang tak nyata. Ukuran pengetahuan asli dalam kategori ini adalah suatu rangkaian penglihatan. Kita bisa merasakan contoh pengalam yang konkrit, yakni: ketika kita mengikuti perkulihan dalam masa Strata Satu (S.1) adalah sewajarnya menghabiskan waktu: ada mahasiswa yang selesai 3,5 tahun, 4, tahun, 5 tahun, dan ada juga yang selesai 6 atau 7 tahun. Inilah pengalaman yang harus dilalui dan kiranya pengalaman ini adalah hal yang berhubungan dengan kerasionalan.
- Intuisi (perasaan), Royce mengakui bahwa lebih sukar untuk menerangkan intuisi dibandingkan dengan tiga hal yang lain. Intuisi adalah suatu proses pengetahuan dalam pengertian “segera” atau “terbukti sendiri”. Dalam koneksi ini intuisi sering dikatakan mempunyai sebuah “perasaan” atau “firasat” yang benar. Contoh, seorang doktor mempunyai suatu intuisi “rasa” bahwa gejala pasiennya menandai (adanya) penyakit tertentu atau seorang pengendara motor pada suatu jalan tidak pandai mengambil jalannya seperti berjalan disebelah kiri. Dalam psikologi masih sangat banyak hal yang masih belum diketahui tentang intuisi. Intuisi diusulkan mejadi suatu proses dalam menyampaikan pengetahuan melalui lambang bukan dengan tanda (lambang mencerminkan suatu hubungan banyak-untuk satu, sedangkan tanda mencerminkan suatu hubungan satu-untuk-satu). Contoh, suatu rambu lalu lintas merah merupakan sebuah “tanda” dengan maksud dari satu hal: “berhenti.” Tetapi suatu lukisan atau gubahan simponi dengan maksud/arti melalui lambang dapat dianggap mempunyai sebuah “rasa” dalam berkomunikasi. Dari gambaran intuisi maka dapat juga diambil sebagai sebuah acuan bahwa desain kurikulum pendidikan boleh direkayasa apa yang akan terbaik untuk materi pembelajaran yang dilakukan di dalam atau di luar kelas. Yang penting anak didik dapat belajar dengan sebaik mungkin dan menghasilkan keterampilan yang akurat.
- Pematuhan secara total (kepercayaan) adalah alur luar dari pengetahuan yang ditemukan pada suatu dalil yang benar, seperti Alkitab, Plato, Einstein, Freud, atau para pakar yang telah disebutkan sebelumnya. Contoh lain, adalah bagaimana Alqur’an memberikan petunjuk tentang alam dunia, alam kubur, padang makhsyar, azab kubur, surge dan neraka. Kandungan ini dipatuhi secara totalitas oleh penganut sebuah agama yakni Agama Islam (tentu bagi orang yang beriman). Umat Kristiani percaya bahwa dosa yang diperbuat oleh manusia dapat ditebus oleh Paulus yang berkedudukan di Vatikan-Roma, yakin atau tidak adalah urusan bagi umat Kristiani sendiri. Nabi Musa as beserta umatnya Bani Israil dapat lewat menyeberangi Laut Merah ketika diburu oleh pasukan Firaun laknatullah. Orang-orang yang beriman selalu diuji oleh Allah swt seberapa jauh kekuatan iman yang dimilkinya, orang yang berpuasa dalam bulan Ramadhan sanggup menahan diri tidak makan/tidak minum dan menghindari dari semua yang membatalkannya selama kurang lebih 12 jam sehari. Semua itu adalah karena pematuhan secara total. Dengan demikian, pendidikan yang baik membutuhkan kepatuhan terhadap sebuah peraturan yang dianggap mampu mengangkat kualitas anak didik yang memiliki keterampilan membuni dan mampu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki.
Royce mengatakan (1964, h.75) bahwa kita dapat lepas dari encapsulation karena kita sebagai manusia memiliki keterbatasan yang sesuai menurut rentang waktu. Biasanya semakin lanjut umur seseorang semakin sering lupa, semakin lanjut usia semakin lemah kekuatan yang dimilikinya, semakin lanjut usia semakin hilang daya produk yang lahir darinya. Hal ini bermakna bahwa individu mempunyai batasan dalam kesadaran psikologis mereka dan pembatasan pada persepsi yang dikenakan oleh budaya. Guru dan murid dilukiskan pada pusat suatu alam semesta pengetahuan yang mempunyai potensi dalam mempresentasikan manusia dengan suatu kenyataan dan sebagai basis untuk pengambilan keputusan secara bijaksana. Dengan penggunaan kurikulum yang seimbang dari semua jalan pengetahuan, bukan hanya menekankan pada satu atau dua cara saja ketika kita melaksanakan kurikulum), maka secara teoritis para siswa (dan para guru) akan merancang gambaran kenyataan secara akurat, sehingga akan terus menghilangkan enkapsulasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Konsepsi secara teoritis harus diterjemahkan ke dalam sasaran hasil, isi, aktivitas belajar, dan evaluasi dalam pemeriksaan prosedur yang mendasari pembuatan kurikulum merupakan tugas yang sangat besar di dalam membangun sebuah kurikulum yang akan melibatkan orang banyak dalam suatu proses evolusioner dalam jangka panjang. Signifikasi proposal berada pada fakta bahwa suatu disain yang teoritis berdasarkan pada pertimbangan yang serius dalam area yang fundamental yang merupakan platform yang diusulkan dalam proses pengembangan dan konstruksi kurikulum.
Berdasarkan penjelasa singkat di atas, sebagai guru yang banyak mengetahui karakteristik siswa/anak didiknya maka sewajarnya guru harus memberikan sebanyak mungkin tentang berbagai macam jenis pemahaman yang menjurus kepada perbaikan moral, sikap, tingkah laku, perbuatan, rajin belajar, rajin berfikir kea rah yang baik, rajin membaca tanda-tanda zaman, rajin melakukan perjalan (tour) yang mendidik, rajin bertanya, rajin menuslis, rajin berdiskusi berdasarkan tiori (Darul Aman, 2009:97), dan lain-lain sehingga dapat berguna kepada dirinya sendiri dan kepada masyarakat sekitarnya. Rajin melakukan sesuatu yang berguna terhadap diri sendiri dan untuk orang banyak berarti kita sebagai manusia lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan kita. Oleh karena itu, kebergunaannya maka dipastikan bahwa siswa/anak didik merupakan satu sumber daya manusia yang dapat mengembangkan kebudayaan yang sangat bermanfaat bagi kemaslahatan umat baik kini, dan masa yang akan datang.
Referensi:
Royce, 1964. Design of Education Curriculum. New York.
Darul Aman, 2009. Teaching English Speaking Skill by Reading Newspaper. Padang.
—–
*Guru SMA Negeri 1 Takengon dan Dosen STAI GP Jurusan Bahasa Inggris