Takengen | Lintas Gayo : Sedikitnya ada tiga hal yang menjadi permasalahan besar di Gayo yang bila tidak ditangani serius akan menyebabkan percepatan hilangnya suku Gayo dari permukaan bumi, demikian pernyataan budayawan Fikar W Eda dalam sebuah diskusi informal sejumlah tokoh pemuda dan mahasiswa yang diselenggarakan di pekarangan Hotel Buntul Kubu Takengon (22/9) sejak sore hingga menjelang tengah malam.
Dinyatakan Fikar, ketiga persoalan yang perlu diperhatikan tersebut diantaranya persoalan punahnya kebudayaan Gayo, rusaknya lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum.
Menurut Fikar yang juga wartawan di Jakarta ini, bahasa, seni, ilmu pengetahuan dan segala bentuk yang diciptakan oleh orang Gayo merupakan defenisi budaya Gayo. Fikar memvonis budaya Gayo akan hilang dari muka bumi karena dari masa ke masa tidak ada upaya konkrit dan terpadu untuk melestarikannya.
Dicontohkan Fikar dengan mencatut nama Bupati Bener Meriah, Ir. Tagore AB. “Yang membedakan Tagore yang orang Gayo dengan Tagore di India adalah budaya. Nama, gaya dan lain-lain bisa saja sama, tapi budaya pasti beda,” kata Fikar.
Terkait lingkungan hidup sebagai persoalan besar kedua di Gayo, Fikar mencontohkan kondisi danau kebanggaan masyarakat Gayo, danau Laut Tawar.
“Melihat kondisi ekosistim Laut Tawar dari tahun ke tahun yang semakin memburuk, bukan tidak mungkin suatu saat ditengah Laut Tawar sekarang akan berdiri rumah-rumah penduduk dan saat itu keberadaan Laut Tawar hanya menjadi dongeng,” kata Fikar.
Gejala-gejala berubahnya Laut Tawar sudah tampak sekarang, kata Fikar dengan mencontohkan akibat turunnya debit air danau, air sungai Peusangan menjadi sangat berkurang sehingga ada bagian sungai yang sudah kering dan dapat dijadikan sebagai lapangan volley ball.
Terakhir dibidang penegakan hukum, Fikar berpendapat orang Gayo sejak dulu sangat takut bila harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Karena budaya ini, penegakan hukum di Gayo menjadi mandul terutama terkait perkara tindak korupsi.
“Persoalan berlebihnya 5 kursi di DPRK hasil Pileg 2009 merupakan perkara kriminal, kenapa tidak diproses sebagai perkara pidana,” kata Fikar mencontohkan dan bernada tanya.
Pendapat Fikar ini langsung ditanggapi Akhiruddin Mahyuddin, koordinator Gerak Aceh yang sedang berlebaran di Takengon sebagai kampung halaman sang istri. Dikatakan Akhiruddin, di Gayo perlu dilakukan kampanye anti korupsi yang lebih gencar lagi seperti yang dilakukan oleh Jaringan Anti Korupsi (Jang-Ko) selama ini.
“Gerakan Jang-Ko akan hilang sebentar lagi bila tidak didukung dengan peningkatan kuantitas dan kualitas SDM serta dukungan jaringan. Harus ada komponen pendukung agar daya tekan lembaga-lembaga anti korupsi di Tanah Gayo lebih berarti,” kata Akhiruddin yang kini sedang menyelesaikan pendidikan strata dua di Universitas Indonesia (UI) ini.
Diakui Akhiruddin, walau Gerak sudah beberapa kali eksis mengangkat kasus korupsi di daerah lain di Aceh akan tetapi di Gayo belum pernah.
“Perlu upaya keras untuk ungkap kasus korupsi disini dan kita sama-sama mendukung dan berharap agar Idrus, Hamdani dan kawan-kawan lain dari Jang-Ko untuk jangan berputus asa. Targetkan satu kasus walau kecil sampai tuntas sehingga kedepan Jang-Ko akan mendapat dukungan yang lebih luas dari publik,” pungkas Akhiruddin memberi saran.
Sementara terkait lingkungan hidup, Ardi dari komunitas VisTaGa, LSM Lingkungan dan Budaya di Takengon menyatakan sangat miris dengan kondisi ekosistem danau Laut Tawar saat ini.
Laut Tawar Memprihatinkan
“Kondisi Lut Tawar sudah sangat memprihatinkan. Lut Tawar sudah sakit dengan adanya kebijakan-kebijakan yang salah selama ini. Sementara obat yang diberikan sama sekali tidak tepat akibat minimnya pengetahuan teknis dari pihak terkait yang mengambil keputusan,” kata Ardi.
Karakteristik danau sudah sangat berubah, kata Ardi lebih lanjut. Hal ini akibat penebangan hutan disekitar danau, penangkapan ikan depik yang tak terkendali dan akibat masuknya limbah rumah tangga, limbah industri dan limbah pertanian ke danau. “Ikan endemik kebanggan Gayo berupa ikan Depik dan ikan Kawan akan punah,” keluh Ardi.
Amatan The Globe Journal, diskusi yang digagas Jauhari Ilyas, pemerhati seni budaya yang pernah eksis sebagai produser album Nyawoung ini diikuti sekitar tiga puluhan peserta berjalan hangat, para peserta silih berganti kemukakan pendapat.
Selain aktivis Jang-Ko, diantara yang hadir ada Mustawalad, aktivis kemanusiaan asal Gayo yang beromisili di Lhok Seumawe. Yusradi Usman al-Gayoni, penulis buku Ar. Moese. Iwan Bahagia, presiden BEM STAI Gajah Putih. Maharadi, ketua Ikatan Mahasiswa Gayo (IMAGA) Medan dan sejumlah tokoh muda lainnya dari berbagai lembaga di Gayo dan diperantauan.
Diakhir diskusi, para peserta sepakat untuk saling koordinasi untuk mendukung upaya-upaya perbaikan beberapa persoalan di Gayo dengan membangun sebuah media komunikasi memanfaatkan fasilitas internet. (Khalisuddin | The Globe Journal)