Oleh : Muhammad Syukri*
Nusantara, wilayah yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Sebuah wilayah yang luasnya hampir menyamai Benua Eropa. Keragaman wilayah nusantara ini ditandai oleh keberadaan 13.667 buah pulau, termasuk didalamnya 358 suku bangsa, dan 200 sub-suku bangsa. Barangkali, inilah wilayah yang paling majemuk di seluruh dunia.
Kemajemukan suku bangsa yang mendiami sebuah kawasan sudah pasti melahirkan kemajemukan bahasa dan budayanya. Malah, antar suku yang mendiami Papua saja menggunakan bahasa yang berbeda, sehingga bahasa Indonesia sangat membantu mereka dalam berkomunikasi. Begitu juga dari segi budaya, setiap daerah di tanah air memiliki kekhasan masing-masing. Kelahiran karya budaya, seperti tari-tarian memiliki sebuah filosofi yang jarang dipahami para penonton. Misalnya tari kecak di Bali yang sangat berbeda dengan filosofi tari saman di Aceh.
Disamping tari saman yang hampir menjadi kekayaan budaya dunia, di Provinsi Aceh yang terdiri dari 13 (tiga belas) suku bangsa (belum termasuk suku bangsa yang berasal dari provinsi lain, misalnya suku Jawa, Batak dll) sesungguhnya memiliki adat istiadat, budaya dan bahasa yang sangat berbeda. Salah satu suku bangsa yang kaya akan karya budaya dan tradisi terdapat di wilayah tengah Provinsi Aceh, yang mayoritas didiami oleh suku Gayo.
Salah satu maha karya budaya yang dimilki suku Gayo dikenal dengan nama Tari Guel. Sebuah tarian yang diciptakan oleh Sengeda, putra Reje Linge XIII di era Kerajaan Aceh masih dipimpin oleh Sultan Alaidin Riayatsyah Al-Kahar. Tari Guel dimainkan Sengeda dengan sebuah nyanyian yang sangat memilukan sebagai refleksi kerinduan kepada abangnya Bener Meria yang dihukum mati oleh Reje Linge XIV (kakak lain ibu dari Sengeda dan Bener Meria).
Tarian itu diciptakan Sengeda berangkat dari sebuah mimpi yang mempertemukannya dengan Bener Meria. Dalam mimpi itu, dia diminta Bener Meria untuk membuat sebuah lukisan gajah putih saat bertamu ke istana Sultan Aceh bersama Cik Serule. Disana, kata Bener Meria dalam mimpi itu, gambar gajah putih dimain-mainkan supaya menarik perhatian putri sultan. Kalau ditanya sang putri: katakan itu gambar gajah putih, gajahnya hanya ada di rimba Nenggeri Linge, dan katakan juga kamu sanggup menangkapnya. Nanti putri itu akan meminta kepada sultan untuk menangkap gajah putih tersebut. Memang benar, sultan pada akhirnya meminta Sengeda untuk menangkap gajah putih sesuai permintaan putrinya.
Setelah Sengeda kembali ke Kerajaan Linge, bertepatan dengan hari Assyura (10 Muharram), bertempat ditepi sebuah danau yang jernih, diiringi dengan bunyi-bunyian alat musik tradisionil, Sengeda menyanyikan sebuah lagu yang sangat sedih. Sambil menyanyi, Sengeda pun menari mengikuti irama musik dengan penuh perasaan. Tarian itu mirip gerakan burung yang mengepakkan sayapnya, berputar, meliuk-liuk mengitari sebuah obyek (waktu itu yang dikitari adalah makam abangnya Bener Meria).
Sebelum tarian itu dilaksanakan, Cik Serule sudah terlebih dahulu mengawalinya dengan doa, tirakat dan kenduri bersama penduduk yang ada disana. Ditengah kesyahduan tari guel yang dimainkan Sengeda, hari pun telah menjelang senja. Penduduk yang menyaksikan tarian itu ikut “terhanyut” oleh gerakan tari dan nyanyian pilu Sengeda. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan seekor gajah berwarna putih yang keluar dari belantara dekat prosesi itu berlangsung. Singkat cerita, Sengeda mendekati gajah putih yang jinak itu dan menuntunnya ke tengah lokasi prosesi tari guel itu. Sampai akhirnya Sengeda menyerahkan gajah putih itu kepada Sultan Aceh, dan berkesempatan menyampaikan kisah pilunya, serta meminta keadilan atas pembunuhan terhadap abangnya, Bener Meria (Dikutip dari buku Gajah Putih, 1958, karya M.Junus Djamil).
Begitulah kisah lahirnya Tari Guel, sebuah tarian kepiluan seorang adik yang kehilangan abangnya akibat kekejaman seorang raja. Tarian yang merefleksikan sebuah harapan untuk memperoleh sebuah keadilan. Tidak aneh, saat menyaksikan tarian ini, serasa para penonton terikut dalam sebuah suasana yang terkadang membuat kita merinding. Banyak orang yang mengatakan bahwa tarian itu memiliki nuansa magis. Mungkin saja, karena filosofi dasar tarian itu diciptakan atas suatu rasa kepiluan dan harapan akan tegaknya keadilan.
Walaupun Tari Guel belum sepopuler tari kecak dari Bali, tari Tor-tor dari Tapanuli, atau tari serampang dua belas dari Deli, namun tamu-tamu yang berkunjung ke Takengon Aceh Tengah selalu disuguhkan Tari Guel. Tarian ini menjadi tari kehormatan bagi seorang tamu daerah. Barangkali, jika tamu-tamu kehormatan itu memahami filosofi dasar dari tarian itu, bukan mustahil mereka pun akan ikut terhanyut dalam sebuah suasana kepiluan. Seperti suasana yang dihadapi Sengeda saat mencipatakan tarian itu. Filosofi kerinduan seorang adik yang kemudian direfleksikan melalui sebuah nyanyian dan tarian penuh kepiluan. Itulah Tari Guel dari Tanoh Gayo, Aceh Tengah.
—-
*Pengamat Sosial Budaya, tinggal di Takengon