Yusradi Usman al-Gayoni*
Di tengah tumpukan kerjaan di kantor, ku tersentak. Tiba-tiba, ada tamu yang datang. “Was so Adi ne nampi, pak,” kata temanku—Agustia Feriandi. Pastinya, laki-laki ini tidak asing lagi buatku. Dia adalah Ama (Bapak) Ridhwan Abdul Salam, penulis buku “Tari Saman.” Percakapan kami pun mengalir seperti lazimnya orang lain bertemu. Apalagi, kami (orang Gayo di Jabodetabek) jarang ketemu. Jadi, pertemuan seperti ini terasa cukup special dan berharga.
Sehat ke, Pak? Tanyaku sambil ku raih tangan dan menyalaminya
Alhamdulillah, sehat, jawabnya.
Win—Muhammad Faiz Akbar al-Gayoni—urum mamak e ne, kune? Dia balik bertanya.
Alhamduillah, sehat, Pak, timpalku
Pong—Fikar W. Eda—ne gere pas geh. Enggeh kene, kite ku Taman Ismail Marzuki (TIM) pedeh, katanya singkat
Bohmi keta ke nge lagu noya, kataku
Akhirnya, kami pun langsung beranjak meninggalkan kantorku menuju TIM untuk bertemu bang Fikar, sastrawan nasional dari Aceh asal Takengon.
***
Sambil menunggu Bang Fikar dekat Teater Kecil TIM, kami pun menghampiri toko buku di sebelah kirinya. Kegiatan seperti ini “berburu buku” sudah biasa buatku. Apalagi, buku-buku Gayo. ada kepuasan tersendiri saat aku mendapatkan buku-buku Gayo. Lebih-lebih, kalau sudah ku lahap isinya. Sejauh ini, aku sudah mencari buku-buku Gayo di Takengon, Medan, Banda Aceh, Bener Meriah, Gayo Lues, Jember, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Malang, Jakarta, dan Bandung. Alhasil, sejak tahun 2002, baru 93 buku Gayo yang ku dapatkan. Termasuk, beberapa naskah buku yang sudah rampung ku tulis. Tambah, skripsi dan tesisku.
Jumlah itu, barangkali masih sedikit buat kebanyakan orang. Tapi, buatku, angka itu sudah banyak. Dengan pelbagai kendala, butuh waktu 9 tahun buatku untuk mendapatkan dan mengumpulkan buku-buku itu. Mendapatkan buku-buku Gayo, bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena, buku-buku Gayo masih sangat langka. Tapi, di luar Gayo, buku-buku Gayo “lebih mudah” didapatkan. Buktinya, hampir 95% buku yang ku koleksi, ku dapatkan di luar Gayo. Sepertinya, orang di luar Gayo lebih menghargai sejarah Gayo dibandingkan orang dan pemerintah Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) sendiri.
Mata ku pun langsung tertuju pada satu rak buku dekat pintu masuk di sebelah kiri. Ku lihati punggung buku yang ada di situ satu per satu. Mulai dari kiri sampai ke kanan. Lalu, dari atas sampai ke bawah. Tak lama, kedua mataku terpusat pada satu punggung buku yang bertuliskan “Kebudayaan Gayo” Drs. M.J. Melalatoa. Hatiku serasa kontak. Buku ini seringkali kubaca. Saking seringnya, sampai warnanya berubah jadi coklat-kecoklatan. Terlebih, yang menulisnya Melalatoa alm (kemudian jadi guru besar—Prof—Antropologi di Universitas Indonesia), ilmuan Gayo yang sangat ku kagumi. Aku pun langsung membacakan doa untuknya, dalam hatiku.
Aku sangat senang bisa menemukan buku tersebut. Sebetulnya, aku sudah punya buku ini. Sayangnya, (dari awal) tidak berkulit lagi dan hilang satu-dua lembar. Itu pun secara tidak sengaja aku temukan di gudang belakang rumah, saat kelas III SMU, tahun 2002. Kemungkinan besar, masa itu lah awal ketidak-sengajaanku mulai mengoleksi buku Gayo.
***
Aku baru serius mencari, mengumpulkan, dan mengoleksi buku-buku Gayo saat merantau ke Medan, Sumatera Utara, tahun 2002. Saat itulah, aku “sadar” jadi orang Gayo akibat kekurang-tahuanku tentang urang (orang Gayo) dan tanoh tembuni ku. Apalagi, saat teman-temanku yang non-Gayo sering bertanya soal Gayo padaku. “Gayo tu Aceh ya,” Di (panggilanku di kampus)? Apa sama Aceh dengan Gayo? Gayo tu dimana [agak sakit hati mendengarnya]? Pertanyaan serupa kembali muncul saat aku mewakili kampusku, Universitas Sumatera Utara (USU), dalam kegiatan-kegiatan di tingkat nasional dan regional. Masih banyak lagi sederet pertanyaan yang ku jawab seadanya (tidak detail dan mendalam) ketika itu.
Seperti ku ceritakan, saat itu, aku mulai mengumpulkan buku-buku Gayo, satu per satu. Sampai, jumlahnya belasan, tahun 2004. Saat yang sama, aku mulai belajar, mengkaji-banding, dan pelan-pelan mulai belajar menulis, tahun 2003. Walaupun, tahun 2002, saat jadi Ketua Umum OSIS di SMU Negeri 1 Bebesen (SMA Negeri 1 Takengon sekarang), aku sudah mulai menulis cerita pendek. Sayangnya, cerpenku cuma dua saat itu. Salah satunya, menceritakan tentang Masa Orientasi Siswa (MOS) adik kelasku. Di lua ritu, ada makalah mata pelajaran Sosiologi prihal “Kerajaan Cik dalam Pemerintah Gayo” yang ku bikin untuk tugas ibu Suryani (kepala SMA Negeri 8 Takengon sekarang)
Waktu itu “saat sadar jadi orang Gayo,” aku bertekad untuk tidak mengeluh pada keadaan, tidak menyalahkan, dan tidak menuntut orang lain (khususnya orang Gayo) untuk berbuat. Soal dokumentasi Gayo yang kurang misalnya, solusinya: mesti mulai mencari/mengumpulkan buku-buku (sumber bacaan) Gayo. Orang Gayo jarang mau yang menulis, jalan keluarnya, harus mulai menulis. Lebih jauh lagi, bila (orang Gayo) kurang berprestasi, pastinya harus belajar giat, tekun, yakin, berdoa, dan berserah diri sama Tuhan (coba berprestasi dan memberikan yang terbaik). Intinya, harus mulai dari diri sendiri.
***
Saat mataku “menyisiri” buku-buku yang ada, aku kembali menemukan buku Gayo yang lain “Kesenian Gayo dan Perkembangannya” yang disusun Drs. M. Affan Hasan, Drs. Thantawy R, dan Drs. Kamaluddin M. Juga, ada “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda” oleh Muhammad Hasan Gayo, selain “Seulawah, Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas” yang dieditori L.K. Ara dan satu buku agama yang juga ditulis orang Gayo. Khusus buku “Kesenian Gayo dan Perkembangannya,” sebenarnya sudah ada samaku. Sayangnya, buku itu, tambah “Pesona Tanoh Gayo” karya A. R. Hakim Aman Pinan sempat diambil “dicuri” di belakangku. Juga, beberapa buku Gayo lainnya.
Padahal, buku-buku tadi statusnya dipinjam dan dititipkan padaku. Karena, mereka (yang meminjamkan) tahu kalau aku suka membaca. Apalagi, biaya memoto-kopi buku-buku tadi adalah hasil potongan (kiriman) belanja bulanan kuliahku, yang tak lebih 300-400rb/bulan. Sebagai gantinya, aku harus jalan ke kampus dan berpuasa senin-kamis. Tapi, otak ku harus jalan untuk bisa bertahan hidup dan kuliah. Apalagi, saat yang sama, selain aku, kedua kakak ku juga kuliah. Untuk menutupi biaya harian, kuliah dan membeli keperluan buku-buku kuliah yang lain, aku memilih kerja sambil kuliah. Tapi, berorganisasi juga tak ku tinggalkan.
Lebih dari itu, aku berusaha mendapatkan beasiswa dari kampus. Alhamdulillah, dari awal ku kuliah sampai selesai, beasiswa terus ku dapat. Termasuk, “saat berpergian” dalam acara-acara tingkat nasional mewakili kampusku. Tak se sen pun uangku keluar, melainkan kampus dan stakeholder kampus yang membiayai. Malah, aku dikasih uang saku dan menurutku sudah banyak “lebih” waktu itu. Ditambah lagi, naik Garuda Indonesia dan nginap di hotel berbintang empat. Selama S-1, seingatku, aku sempat menaiki pesawat 14 kali. Bahkan, mungkin, sampai dua puluhan kali. Alhamduillah. Sekali lagi, itu semua, kampus dan stakeholder kampus yang membiayaiku.
Memang, waktu itu (2002-2006—sampai sekarang), aku sengaja mengasih tahu sama siapa saja yang memerlukan referensi terkait Gayo, bahwa aku punya beberapa buku Gayo. Aku lakukan itu. Semata, untuk membantu orang lain. Karena, aku sadar dan sudah merasakan susahnya mencari buku-buku (sumber bacaan) Gayo. Lebih-lebih, sumber bacaan Gayo masih sangat langka dan tersebar di banyak tempat. Belum lagi, soal IT, dan kendala lainnya yang ikut menyertai. Barangkali, itulah sebabnya kenapa orang Gayo jarang mengasih tau dan meminjamkan buku-bukunya. Karena, sulit sekali mendapatkannya, selain buku-buku yang dipinjamkan pun seringkali tidak kembali. Pun dikembalikan, kondisinya sudah rusak, dicoret-coret, halamannya berlipat, dan lain-lain.
***
Karena sudah asar, kami pun bergegas menuju masjid di depan teater besar TIM. Kebetulan, bang Fikar pun sudah datang. Masjid di TIM, ada di depan sebelah kiri pohon besar yang rindang. Melihat pohon ini, ingatanku langsung tertuju pada pohon yang ada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Belang Kolak I Takengon. Kurang lebih, pohon tadi sebesar dan serindang pohon di Belang Kolak I. tapi, bisa jadi, pohon yang di TPU Belang Kolak I lebih tua dibandingkan pohon yang kukatakan tadi.
Akhirnya, aku membeli satu buku “Kesenian Gayo dan Perkembangannya” karya Drs. M. Affan Hasan, Drs. Thantawy R, dan Drs. Kamaluddin M. Kalau esok dan lusa masih jadi milikku, aku harus kembali lagi ke toko buku ini, untuk membelikan buku ini satu lagi, insyaAllah. Karena, ku harus menggantikan buku yang diambil “dicuri” yang statusnya dipinjamkan kepadaku. Sambil, mencari buku “Pesona Tanoh Gayo” karya A.R. Hakim Aman Pinan, yang juga harus kukembalikan pada pemiliknya.
Selain dua buku tadi, aku berencana membeli buku “Kebudayaan Gayo” karya Drs (Prof). M.J. Melalatoa, sebagai cadangan (menggantikan) buku yang di rumah. Karena, beberapa lembarnya sudah hilang dan warnanya pun sudah berubah (kecoklat-coklatan), akibat tidak dirawat secara khusus. Dan nantinya, mungkin, seratus atau dua ratus tahun lagi, buku-buku tadi akan menjadi naskah kuno yang akan banyak dilirik orang asing. Karena, kurang dihargai di negeri asal dan anak negerinya sendiri.
(Rabu, 30 Nopember 2011)
——
*Kolektor Buku Gayo/Ketua Research Center for Gayo