Stop “Sawer” !, Jangan Didik Seniman Gayo “Mudelam”

Ilustrasi sawer saat Didong

“Sawer-sawer” teriak pengunjung acara peresmian Kampung Owaq Toweren kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Sabtu (10/12/2011) malam saat sejumlah anak-anak melantunkan Didong Gayo dengan sangat baik dihadapan Bupati Kabupaten Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM, para Kepala Dinas, sejumlah Camat dijajaran Pemkab Aceh Tengah dan sejumlah tokoh publik lainnya.

Menyaksikan dan mendengar aksi-aksi anak-anak tersebut serta teriakan-teriakan maupun celetukan penonton, entah mengapa wajah-wajah orang penting yang tempat duduknya dikhususkan panitia tersebut seperti “sumringah” dan sesaat kemudian satu persatu dari mereka bangkit dari duduk sambil merogohkan isi kantong.

Mereka berjalan kedepan anak-anak tersebut, ada yang sendiri ada juga secara bersamaan mengantar beberapa lembar uang berwarna hijau dan merah yang disodorkan kedepan anak-anak yang sedang berdidong tersebut. Mereka tampak semakin semangat.

Penonton bersorak sorai menyaksikannya, dan semakin meriah saat sang Bupati bangkit. Sama seperti sebelumnya, dia juga mengantarkan uang. Dan pasti agak tebal dari yang lain.

terdengar celetukan seorang ibu dengan nada agak marah kepada anak yang duduk disampingnya, “a kati ko pe belejer bedidong, kati demu sen lagu pong mua,” kata ibu itu dalam bahasa Gayo yang berarti “makanya kamu pun belajar berdidong agar seperti mereka dapat uang”.

Menyaksikan serangkaian pemandangan tersebut, entah mengapa timbul rasa tidak nyaman dan rupanya perasaan yang sama juga dialami Salman Yoga S, seorang seniman muda kelahiran Asir-asir Atas Kecamatan Lut Tawar yang mengaku datang ketempat tersebut untuk menyaksikan suguhan film dokumenter “Kisah Anak-anak Toweren” yang diproduksi Kompas TV beberapa waktu lalu.

Malah Salman Yoga seperti tak tahan menyaksikan adegan sawer-saweran didepan matanya. “Seni Didong menjadi murahan”, katanya spontan dan agak keras. Sederetan kata omelanpun mengalir dan lagu-lagu merdu yang didendangkan anak-anak tersebut hilang begitu saja ditelan sorak sorai penonton yang menyoraki adegan demi adegan sawer-saweran tersebut.

“Cara seperti ini merendahkan kesenian. Seniman jadi pengemis, tidak mendidik, para ceh ditempa menjadi sosok penjilat. Ini tradisi yang me-lonte-kan dan meng-gigolo-kan kesenian,” kata Salman dengan nada meninggi.

Tak cukup dengan kalimat tersebut, dia menimpali lagi seniman jadi pengemis, kekuatan pesan dalam sya’ir Didong menjadi sekedar basa-basi. Sawer itu tidak dikenal dalam kesenian Gayo.

Bercontohlah Pada Ceh Daman

Salman juga mengaku malu menyaksikan tontonan yang menurutnya telah mengajari ceh-ceh kucak tersebut untuk menjadi ceh penjilat.

“Jika begini, jangan mimpi munculnya penerus Ceh Daman yang ditahun 1962 sempat dibui selama 5 bulan karena menciptakan lagu Aman,” sindir Salman. Diceritakan bahwa sosok Ceh Daman adalah suri tauladan Ceh yang independen dalam mencipta sya’ir Didong.

Ceh Daman kerap mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak populer melalui sya’ir-sya’irnya dengan sindiran memanfaatkan simbol-simbol alam.

Dalam sejarahnya, dibeberkan Salman, Ceh Daman tidak pernah memuji tokoh publik dengan cara mudelam (menjilat, Gayo-red) dalam sya’ir Didongnya.

“Untuk saat ini, sangat langka Ceh Didong yang benar-benar konsisten dalam mencipta, independen dan kritis dalam menyikapi gejala sosial,” banding Salman.

Dia mengaku miris, karena menurut amatannya kebiasaan sawer justru dikembangkan oleh para pemimpin yang mengatur negeri ini. “Kita sangat malu kepada Ceh Daman, Ceh komputer dan lain-lain,” keluh Salman seraya mengajak Lintas Gayo beranjak pulang. Dia tak tertarik lagi menyaksikan Didong Jalu yang juga ditampilkan dalam rangkaian acara tersebut.

Dalam perjalanan pulang, sang penulis novel “Tungku” ini juga masih kelihatan kesal dengan apa yang baru disaksikannya.

Dia menyarankan, jika ingin menghargai dan mensejahterakan para pelaku seni maka perlakukanlah dengan cara-cara terhormat misalnya dengan memberi uang pembinaan yang pantas. Dan jika sifatnya insidental maka gunakanlah cara yang lebih terhormat dengan memberikannya didalam wadah seperti amplop setelah para seniman tersebut selesai menunjukkan keahliannya, atau dengan cara lain.

Selain itu, menurut Salman bisa juga dengan menggelar even kesenian sesering mungkin dengan memberi hadiah uang yang besar/tinggi. Dan untuk pementasan Didong seperti tadi, beri penemah langkah (upah,Gayo-red) yang besar atau secukupnya. (Kha A Zaghlul/03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.