Oleh : Drs. Jamhuri, MA*
Kasus perceraian mendominasi kasus-kasus yang disidangkan di Mahkamah Syar’iyah di Aceh, termasuk di Mahkamah Syar’iyah Takengon. Menurut informasi yang didapat dari Mahkamah Syar’iyah jumlah kasus perceraian rata-rata pertahun sebanyak 500 (lima ratus) kasus, jumlah ini melebihi jumlah hari dalam setahun, bahkam hampir 1,5 kasus perhari. Sebab-sebab dari perceraian tersebut bermacam-macam, ada yang disebabkan oleh masalah ekonomi, pihak ketiga, kekerasan dalam rumah tangga atau ada juga dengan alasan spele yaitu ketidak cocokan kedua belah pihak.
Kalau kita mau mengatakan lebih jujur lagi bahwa jumlah 500 yang tercatat di Mahkamah Syar’iyah bukanlah hitungan yang sebenarnya, karena masih banyak lagi kasus perceraian yang tidak diajukan ke Mahkamah dan diselesikan di Kampong. Perceraian yang diselesaikan di Kampong biasanya disebabkan karena pernikahan yang dilaksanakan dengan tidak melibatkan Kantor Urusan Agama (KUA) atau juga dikenal dengan pernikahan di bawah tangan atau pernikahan siri.
Tidak banyak kasus-kasus perceraian yang diajukan ke Mahkamah berakhir dengan perdamaian, kendati di tingkat Mahkamah telah disediakan lembaga mediasi yang berupaya mendamaikan para pihak sebelum dilangsungkan kepersidangan. Perma (Peraturan Mahkamah Agung) mewajibkan adanya mediasi tersebut, dengan Mediator para Hakim Mahkamah.
Disamping alasan-alasan perceraian yang telah disebutkan, ada sebuah pemahaman dalam hukum Indonesia, dalam fiqh dan juga dalam pemahaman budaya masyarakat kita, bahwa perceraian itu adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan isteri semata. Ini bisa kita lihat dari definisi-definisi perceraian yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku yang beredar.
Sedangkan pada dasarnya pihak yang ikut serta dalam sebuah perkawinan bukanlah hanya suami dan isteri, tetapi juga harta dan anak-anak serta keluarga kedua belah pihak, ditambah lagi dengan keterlubatan pemerintah dalam pencatatan perkawinan. Namun ketika suami dan isteri akan melakukan perceraian hanya membicarakan alasan-alasan kenapa mereka harus bercerai tanpa membicarakan akibat dari perceraian mereka. Dengan bahasa lain kita bisa katakan bahwa mereka (suami dan isteri) terkadang ditambah dengan anggota keluarga kedua belah pihak berupaya bagaimana cara biar cepat berpisah.
Harta yang didapat/dibawa oleh masing-masing sebelum pernikahan dan harta yang diperoleh setelah pernikahan, mempunyai posisi yang sangat penting dalam pembahasan hukum, karena harta tersebut bukan hanya menjadi milik mereka berdua, tetapi juga ada hak orang lain yaitu anak di dalamnya. Namun yang sering pembicaraan tentang harta ini dibaikan dan energi dihbiskan untuk mempertahankan kebenaran diri sendiri dan berusaha mencari kesalahan pihak lain.
Dalam kaitannya dengan harta ada fenomena baru dalam masyarakat kita sekarang, mereka yang melangsungkan pernikahan tidak lagi mempunyai yang namanya harta bawaan, keduanya dituntut untuk mencari harta sendiri ketika setelah menikah. Ini disebabkan kerena orang tua kedua belah pihak tidak lagi memiliki harta yang harus diberikan kepada anak-anak mereka. Bahkan juga setelah menikah mereka tidak pernah memiliki harta (tanah) karena selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari di atas lahan milik orang lain. Akibatnya perceraian akan berakhir dengan putusnya ikatan perkawinan dan tanpa pembicaraan masalah harta.
Pihak lain yang ikut serta dalam perkawinan dan menjadi akibat dari putusnya perkawinan adalah anak, mereka selalu menjadi korban yang tidak diperhitungkan ketika kedua orang tuanya harus bercerai. Seorang suami hanya berpikir bahwa anak yang masih kecil setelah bercerai akan diasuh oleh ibunya, dan setelah besar akan mencari siapa ayahnya, demikian juga isteri akan berpikir bahwa ketika tidak sanggup merawat dan menjaga anaknya akan menyerahkannya kepada mantan suaminya, dan setelah besar nanti ia berkeyakinan pasti akan mencari siapa ibunya, atau solusi lain dilakukan dengan membagi anak bila lebih dari satu.
Mereka yang akan bercerai tidak pernah berpikir bahwa kebutuhan anak terhadap orang tua, baik sebagai pelindung atau sebagai orang yang berkewajiban memberi nafkan dan kasih sayang, lebih penting daripada perceraian. Alangkah banyaknya anak-anak sejak dari orang tuanya bercerai diajar berbohong, mereka harus mengatakan bahwa bapak atau ibunya serta keluarga pihak bapak atau ibunya tidak baik, anak-anak juga tidak oleh lagi menanyakan dimana bapak atau ibunya.
Putusnya ikatan perkawinan juga sering memutuskan hubungan keluarga kedua belah pihak. Hal ini biasa disebabkan karena tidak berfungsinya hakam sebagaimana aturan yang ada dalam al-Qur’an, malah teradang keluarga kedua belah pihak sangat mendorong percepatan terjadinya perceraian, mediasi yang dilakukan pihak Mahkamah tidak bisa berjalan dengan baik juga bisa disebabkan pihak keluarga. Sehingga ada suatu tradisi yang berjalan dalam masyarakat bahwa ketika proses perceraian berlangsung, maka pihak suami dan pihak isteri adalah saling berlawanan dan mereka akan mengatakan menang apabila perceraian terjadi.
Pemerintah sebagai pencatat pernikahan, ketika terjadi perselisihan dalam rumah tangga tidak pernah dilibatkan, seolah kepentingan seseorang terhadap keberadaan lembaga KUA hanya sekedar penyelenggara dan pencatan pernikahan, seteah itu mereka sama sekali tudak punya peran dalam pemantauan. Karena itu bila kita tanya kepada mereka yang bertugas di KUA, apakah mereka tahu berapa jumlah percerai yang terjadi, mereka hanya menjawab itu adalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Karena tidk banyaknya peran KUA dalam pemantauan keberlangsungn hidup rumah tangga, sehingga ketika terjadi perselisihan para pihak juga tidak mengadukan kasusnya kepada lembaga pelakana pernikaha.
Kalau kita melihat kembali kepada pihak-pihak yang ikut dalam sebuah ikatan perkawinan tersebut, maka sangat banyaklah pertimbangan yang harus diambil katika akan melakukan perceraian, jangan sampai karena satu atau dua alasan dapat menyebabkan pihak lain yang lebih penting menjadi korban.
Karena itulah mungkin Nabi mengatakan bahwa “perbuatan halal dan paling dibenci oleh Allah adalah perceraian” dan di hadis lain disebutkan bahwa perbuatan yang dapat menggoncangkan arasy hanyalah perceraian.
Karena besarnya akibat yang ditimbulkan dari perceraian sehingga Imam Hanafi dengan dasar hadis tersebut, menetapkan hukum bahwa hukum dasar dari perceraian adalah haram. Analisa yang digunakan, dimana kata “halal” yang berarti “boleh” dan diikuti dengan kata “abghadh” berarti “paling dibenci” menjadikan hukum dari perbuatan perceraian menjadi “haram”. Dan perbuatan haram hanya bisa dilanggar dengan kondisi darurat. Artinya perbuatan itu bisa dilakukan apabila mengancam agama, jiwa, akal, katurunan dan harta.
* Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Band Aceh.