Angin Kerinduan

WANITA tua itu, tetap tak peduli dengan kesepian yang sejak lama telah  menggerayanginya. Sebab jika sepi terus ia layani, hanya akan membuat jiwa dan batinnya  semakin teriris pilu seiring perputaran waktu. Sehingga tak adalah sedikitpun di wajahnya tampak tergurat petanda sepi itu. Ia memang begitu pandai coba kuburkan gurat itu di balik jejak-jejak langkahnya yang tua, seolah tanpa pernah mengenal lelah. Namun sejatinya bukan hanya sepi yang ada di hatinya, ada seberkas pilu juga ikut menganga di setiap jeruji batinnya, batin yang sesungguhnya menjerit histeris tanpa henti dan tak ada tepi. Jeritan itu lah yang sama sekali juga dengan cerdik dapat ia sembunyikan lewat kesabaran dan keikhlasannya.

Namanya Saedah, wanita tua yang sekarang tinggal sebatang kara. Masih saja sibuk di kesenjaan hidupnya, Tak mengapa dengan kesenjaan yang telah memeluk mesra dirinya, terpenting baginya Tuhan masih mempercayakan dirinya untuk menikmati hidup di dunia walaupun halnya banyak  derita yang ia rasa.

Pun kali ini, senyum tipisnya kembali rebah di pelantara subuh. Semangatnya menerjang kabut pagi yang masih berserak. Dengan tangan keriputnya ia coba menyapa kembang-kembang cantik yang menghiasi halaman rumahnya. Oi, lihai betul geraknya mengurus kembang sebagai penghibur hatinya.

* * *

Kala itu, di tengah hujan kerisauan. Saedah pun juga ikut berusaha mencari tempat aman untuk bersembunyi. Maklumat bukanlah raga yang ingin ia sembunyikan di balik ilalang ataupun di balik semak belukar, namun ia ingin sembunyikan rasa takut yang menggelegar.

“ Ine, lari ne.. .lari…! Anak muda  itu menyuruhnya lari

“ Cepat lari!” Kali ini, suaminya menyuruhnya pula untuk melakukan hal yang sama.

“ Ine, cepat lari!” Paksaan dari putranya tak mampu ia elakkan lagi, dengan segera ibu-ibu yang lainpun  ikut menyeret tangannya untuk pergi.

* * *

Lama tak terdengar kabar,  sebuah figura tua melekat di dinding rumahnya lah yang kini menjadi peraduan rindunya.

Sebab tak ada lagi cerita yang akan ia rajut, bersama tawa yang biasanya  terumbar dan tersebar di setiap sudut ruangan.

” Hufhh…!” Saedah kerap menarik nafas panjang, seakan membuat pikirannya sedikit tenang.

 Ia ingin mendekap dengan indah kenangan-kenangan itu, kenangan manis bersama. Menikmati senja berdua bersama suami tercinta dan ditemani Ilham anak semata wayang mereka.

Berbekal keterampilan membuat tikar dari pandan, ia mulai merangkai dengan bahasa tubuh kesepian. Peristiwa itu menjadi bayangan hitam jika ia kenang, maka dengan keikhlasan ia coba untuk tanam. Enam tahun telah berlalu, Ilham anaknya tak tahu kabarnya, terakhir ia hanya mendapat kabar tentang suaminya yang telah dahulu menghadap-Nya.

Lelah menanti seakan semilir angin dengan perlahan menghapus harapannya, maka Saedah pun hanya dapat pasrah pada Yang Maha Kuasa.

* * *

“Telah ditemukan salah satu persembunyian pemberontak yang selama ini meresahkan masyarakat.”

Saedah hanya  menunduk kaku mendengar kabar itu, ia tak ingin memori yang hampir hilang akan kembali timbul ke permukaan. Warga desa juga kembali gencar ketika salah satu dari anggota pemberontak tersebut ditemukan bersembunyi di salah satu gubuk tua yang letaknya tepat di belakang rumah Saedah.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Saedah, ia masih sibuk dengan anyamannya. Tangannya dengan lincah memainkan pandan-pandan kering itu menjadi alas yang menawan.

“Anan, i kuduk umah anan ara jema temuni.” Bisik seorang bocah kecil kepada Saedah.

Saedah hanya membelai lembut rambut bocah itu, memberikan sekilas senyum padanya. Kasihan anak-anak di desanya, masih kecil namun telah mendengar peristiwa memilukan ini. mungkin sekarang Ilham juga sudah tumbuh dewasa, kurang lebih berumur tiga puluh lima tahun kiranya.

Kepolisian akhirnya berhasil menangkap seorang pria yang disinyalir salah satu dari  anggota pemberontak. Dengan menutup wajah pria tersebut, mereka membawanya ke dalam mobil tawanan. Sedangkan Saedah tetap fokus pada pekerjaannya di beranda rumah, ia tak peduli tentang penangkapan itu. Pria bertubuh kekar yang diapit oleh dua orang polisi itu pun tepat melintas di hadapannya, Saedah lirih dalam hatinya. Ada isak tangis yang ia dengar sekilas, lantas ia pun tertunduk dan menghentikan kegiatan anyamannya sejenak.

“Benarkah itu?” Tanya seorang warga tak percaya. Segera para warga menemui Saedah di rumahnya. Saedah tampak terkejut dengan kedatangan warga yang ramai mengunjunginya.

.

“Bu, Ilham sudah pulang. Ternyata  ia masih hidup, kini ia ada di pihak kepolisian.”

Saedah masih tetap diam tak menanggapi, karena ia telah terbiasa memeluk sepi.

“Betul Bu, selam ini Ilham ternyata menjadi anggota  pemberontak.” Seorang warga menimpali.

“Aku tahu!” Jawabnya singkat dan menyemai senyum ringkasnya di antara warga yang mengerumungi dirinya.

“Ia memang anakku, aku tahu ia akan selalu ada untuk menjagaku. Setiap pagi ia menimba air untukku, mencari kayu bakar untukku.  Aku tahu mengapa ia jadi pemberontak, Aku sangat tahu dengan apa yang semua ia lakukan untukku.”

Suasana pun menjadi hening seketika, hanya pilu Saedah yang mendekam di ruang bisu. Lewat semilir angin, Ilham pun hanya mampu sampaikan rindu.

Tanah Gayo,  2010

*  Zuliana Ibrahim, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.