Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
SAAT kondisi jalan Danau Lut Tawar tidak seperti sekarang, masyarakat Gayo, khususnya seputar danau kerap berjalan kaki menuju kota Takengon. Dan, sebaliknya. Alternatif lain, dengan berkuda atau perahu. Pada saat berjalan kaki, mereka—penduduk—biasa menanam pohon di sepanjang jalan yang dilalui. Salah satunya adalah bambu (uluh). Pun, cuma satu-dua pohon. Namun, kegiatan seperti itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat—khususnya, generasi kelahiran (sebelum) 1930-an—ketika itu. Bisa dibayangkan, berapa banyak pohon yang sudah ditanam? Itulah gambaran kesadaran lingkungan orang tua Gayo zaman dulu.
Kebiasaan itu tidak tumbuh di tengah kekritisan lingkungan. Apalagi, dengan perubahan cuaca (climate change) seperti sekarang. Atau, saat akses terhadap pendidikan semakin. Di tambah lagi, meluasnya link dan net working. Juga, terbukanya informasi dan teknologi. Sebaliknya, kebiasaan tersebut membudaya di tengah segala keterbatasan. Namun, kesadaran, wacana (discourse), dan visi jangka panjang pada lingkungan hijau (ijo) ‘lebih hidup’ pada masa itu.
Selain menanam pohon, menurut M. Jusin Saleh (2009), Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), dulunya, dalam membuka perkampungan dan perkebunan, masyarakat Gayo diharuskan jauh dari danau (lut). Kampung Bintang, salah satu kampung tua di Takengon, misalnya. Letaknya agak jauh dari danau. Dengan demikian, Danau Laut Tawar tetap—danau kebanggaan masyarakat Gayo dan Aceh—tetap bersih. Dalam arti, tidak tercemari, dangkal, dan rusak baik secara fisik maupun secara sosial. Meski tidak formal dan tertulis, tapi ‘aturan’ itu sangat mengingat (ikatan sosial). Dan, jadi konsensus bersama. Kalau ada yang melanggar, maka akan berlaku sanksi sosial.
Namun, jarang sekali terjadi. Soalnya, masyarakat Gayo sangat menjunjung tinggi budaya kemel (malu) dan musyarawah, saat itu. Karenanya, kemudian muncul filosofi kerakyatakan dan permusyawaratan orang Gayo, yaitu “keramat mupakat, behu ber de dele.” Dalam konteks kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara, dikenal dengan istilah 4 pilar bangsa—Pancasila, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Pun terjadi, pelakunya akan merasa berjarak dengan sendirinya dalam pergaulan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, masih menurut Jusin—sapaan M. Jusin Saleh—terkait hutan, masyarakat Gayo biasa menanam jedem (bahasa Gayo). Tanaman ini kerap ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal dan tajam tidak memungkinkan hewan liar untuk memasuki perkebunan penduduk. Disamping itu, karena banyak menyimpan air, saat terjadi kebakaran, apinya tidak serta merta melalap lahan perkebunan, pegunungan, dan perumahan penduduk.
Sarak Opat
Secara kelembagaan, seperti disinggung, ada perangkat pendukung dalam melembagakan nilai-nilai tersebut. Pelembaganya adalah Sarak Opat (sistem pemerintah Gayo) dengan unsur-unsurnya. Lebih khusus, pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak. Sejak penyeragaman sistem pemerintahan di Indonesia, Sarak Opat sudah digantikan sistem pemerintahan formal. Nilai-nilainya pun tidak lagi ber-intangible. Demikian halnya dengan namanya, kurang dikenal generasi muda Gayo. Dengan kata lain, terjadi penyusutan penamaan dan pemahaman. Karena, istilah-istilah terkait Sarak Opat dan ekologi ke-Gayo-an secara umum makin terdesak dan terpinggirkan oleh isilah baru. Di tambah lagi, dengan pelbagai perubahan sosial-ekologi di tanoh Gayo. Cukup berpengaruh signifikan. Padahal, Sarak Opat begitu efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekolog, dan kemasyarakatan.
Begitu pula dengan kearifan-kearifan ekologi, sudah mulai hilang. Pastinya, masih banyak kearifan-kearifan ekologi Gayo yang masih belum tergali. Karenanya, perlu penyelamatan, penelitian, pendokumentasikan, pengenalan, dan pentransmisian Gayo oleh semua pihak pada masa-masa mendatang. Khususnya, oleh orang Gayo dan di tanoh Gayo. Dengan demikian, alih budaya kepada generasi muda akan tetap berjalan. Lebih dari itu, pelbagai kearifan tadi—terutama, dalam ranah kajian lingkungan, ekologi bahasa (ekolinguistik), ekologi sastra (ekosastra), dan ekologi jurnalistik—dapat turut serta dalam penyelamatan, pemeliharaan, dan pelestarian lingkungan. Namun, penyertaan kebijakan baik dari eksekutif maupun legislatif tetap diperlukan. Dengan demikian, semuanya dapat berjalan seiring, fokus, dan maksimal.
*Pengkaji Ekolinguistik/Koordinator Divisi Budaya Forum Penyelamatan Danau Lut Tawar
.