Catatan Perjalanan II
SELARIK cahaya mentari pagi menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela, satu-dua tetesan embun masih bertengger di dedaunan, saat saya dan Rahma bergegas berangkat. Pagi ini Kru Lintas Gayo (LG) dibagi dua kelompok, yang pertama memenuhi undangan mengikuti pelatihan jurnalistik di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, diantaranya Khalisuddin, Maharadi dan Konadi. Sedangkan selebihnya bersilaturahmi dengan mahasiswa-mahasiswi Gayo yang sedang menimba ilmu di Banda Aceh.
Pertemuan pertama bersama Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Gayo Lues (Hipemagas) di aula Kantor Balai Pustaka yang beralamat di Lampineung, Banda Aceh. Bersebelahan dengan sekolah saya dahulu, SMA 4 Banda Aceh. Sekolah ini dahulu mendapat bantuan dari Pemkot DKI Jakarta, sehingga sejak pasca tsunami namanya berubah menjadi SMA 4 DKI Jakarta. Keseluruhan sekolah mengalami perubahan drastis. Kata teman-teman saya tidak ada lagi tempat kenangan pada saat kami masih sekolah dahulu, entahlah saya juga segan memasukinya. Di luar pagar berjejer mobil-mobil mahal entah milik para siswa atau para guru, zaman saya dulu para siswa yang rumahnya jauh lebih memilih berjalan sampai ke simpang Kantor Gubernur sehingga bisa mengirit ongkos dengan naik Bus Damri atau Robur. Jika peraturan hanya guru yang boleh memarkir mobilnya di dalam sekolah masih diberlakukan, maka sudah bisa dipastikan mobil-mobil mahal ini milik para siswanya.
Pertemuan yang berlangsung hingga Dzuhur itu merupakan agenda mingguan Hipemagas. Kepala Balai Bahasa Banda Aceh, Dr. Rajab Bahri yang diberikan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues memberikan motivasi dan bimbingan mengenai kampus, sistem akademik perkuliahan dan agenda lainnya. Saya pikir ini mengasyikkan sekali, mahasiswa/i diberikan bekal bagaimana menghadapi dunia perkuliahan, bagaimana strategi dalam mengambil mata kuliah jika ada yang bentrok, mengingat saya dulu harus berpikir dan mengambil tindakan sendiri jika tentang perkuliahan. Pada kesempatan itu saya dan teman-teman menghimbau agar para mahasiswa/i dari Gayo Lues ikut berpartisipasi dalam mendokumentasikan Gayo di media, apapun bentuknya, entah itu tulisan atau foto. Seperti yang disebutkan oleh Rajab Bahri “dongeng jika sering ditulis dan di publikasikan akan menjadi sejarah, namun jika sejarah yang tidak ditulis dan tidak di publis akan menjadi dongeng”.
Setelah makan siang di kantin salah satu sekolah terkenal di daerah Lampineung, kami memutuskan Shalat Dzuhur di Mesjid Raya Baiturrahman. Sampai disana ternyata sedang ada Festival Zikir Maulid untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Suasana di luar Masjid ramai oleh para peserta festival dan orang-orang yang sedang berfoto menghadap ke Mesjid. Bagi khalayak ramai, belum terasa afdhol ke Banda Aceh jika belum datang ke Masjid Baiturrahman ini. Ketika saya sedang menunggu Rahma selesai Shalat, seorang ibu petugas penertiban Masjid, begitu yang saya baca di IDnya mendatangi saya, bercerita bahwa celengan di Masjid berkurang satu buah. Saya tersentak tak percaya, masih menurutnya satu minggu yang lalu juga hilang dua buah. Ibu itu meminta saya untuk hati-hati ketika menaruh barang saat berwudhu, “sedikit saja lalai barang milik kita bisa hilang. Dompet yang isinya telah disikat habis dibuang begitu saja oleh pencurinya ke tong sampah. termasuk mukena-mukena baru juga sering hilang di Masjid”, tuturnya. Tak lama kemudian ia berlalu meninggalkan saya karena hendak mengerjakan sesuatu. Saya menatap punggungnya sampai ia menghilang, tidak tahu kenapa si Ibu begitu gamblangnya bercerita kepada saya.
Sore harinya Kru LG melanjutkan pertemuan dengan perwakilan paguyuban mahasiswa antara lain Forum Pendidikan Mahasiswa Aceh Tengah (FOPMAT), Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Tengah (IPPEMATA), Forum Ikhwah Rantau Aceh Tengah (Fikrah), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Aceh Tengah (IMATAMU), Himpunan Mahasiswa Bintang (Himbi), dan Persatuan Mahasiswa Takengon (Permata), di sekretariat FOPMAT. Sekretariat yang beralamat di Kampung Pineung ini merupakan tempat menginap para kru LG yang laki-laki. Saya yang terlambat datang karena ada urusan lain melihat silaturahmi ini berjalan baik. Silaturahmi ini bertujuan untuk menyatukan misi dan genarasi Gayo dalam wadah yang sama, yaitu Lintas Gayo.
Menjelang Maghrib Kru LG yang mengikuti pelatihan jurnalistik ikut bergabung. Khalisuddin, sang redaktur pelaksana LG tidak banyak bercerita saat itu, entah kenapa ia malah bercerita tentang memilih pasangan. Apa karena di ruangan itu semuanya masih lajang kecuali dia, saya juga tidak mengerti. “saat kalian memilih pasangan, jika diantara lima kriteria sifatnya terdapat dua kejelekannya, kenapa kalian malah lebih melihat ke yang dua ini?” tanyanya sambil menunjukkan dua jarinya yang berarti sifat jelek calon tersebut kepada kami dengan nada sedih bercampur emosi. “Jangan hanya karena dua kejelekannya, tiga kebaikannya terabaikan begitu saja. Bahkan jika calon tersebut hanya memiliki satu kebaikan dari lima kriteria, mana tahu yang satu itu justru dapat menutupi kejelekannya”. Kata-kata Khalisuddin ini mampu menghipnotis seluruh ruangan. Saya pribadi tergugu mendengarnya, menelan ludah, di umur kami-kami ini pembicaraan seperti ini sebenarnya sangat sensitif, tiga hari tiga malam belum barang tentu selesai dibahas.
Lampu Teplok
Silaturahmi ditutup dengan pembagian buku “Gayo Merangkai Identitas” kepada masing-masing perwakilan paguyuban, tak lama kemudian Adzan Maghrib pun berkumandang. Selesai Shalat kami kembali bergegas, malam ini agenda kami bersilaturahmi dengan Orang-Orang Gayo di Banda Aceh yang perduli dengan Lintas Gayo di sebuah cafe yang “katanya” romantis. Disebut romantis karena suasananya remang-remang, cocok untuk tempat pasangan yang ingin mengungkapkan perasaannya atau bahasa semasa saya sekolah dulu tuhling (menjatuhkan suara). Tapi bagi saya makan di tempat seperti ini sama saja dengan makan bertemankan lampu teplok saat mati lampu, sulit, tidak ada romantisnya sama sekali.
Malam itu banyak sekali yang kami bahas, turut serta dalam diskusi tersebut Joe Samalanga, Sofyan (Karyawan Bank Bukopin), dan beberapa Dosen IAIN Ar-Raniry diantaranya Samsul, Juhra, Jamhuri, Ali, dan Arfian. Mereka banyak memberikan masukan untuk pemberitaan, tampilan website, managament keuangan, terutama dalam menyuntikkan semangat kami agar jangan mengendur dan patah semangat, karena Lintas Gayo bukan hanya milik orang per orang, melainkan milik semua Orang Gayo dimanapun berada. Tidak terasa waktu semakin larut, saya dan Rahma seperti biasa pulang terlebih dahulu, sedangkan yang laki-laki melanjutkan diskusi di cafe yang terletak di Daerah Lueng Bata. Seharusnya mereka menyimpan energi untuk besok, karena kami berencana akan kembali ke Dataran Tinggi Gayo esok selepas Dzuhur. (Ria Devitariska)