Oleh: Novarizqa Saifoeddin
.
Pesan nabi tentang mati,
jangan takut mati karna pasti terjadi.
setiap insan pasti mati hanya soal waktu.
Pesan nabi tentang mati,
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati.
( B i m b o )
“Aku sungguh tak pernah minta mati datang kepadaku. Sejauh yang kusadari aku juga mampu menghindar dari perbuatan yang bisa menyebabkan mati. Tapi aku belum mampu untuk tidak takut pada mati. Sungguh, aku masih sangat takut.” komentar Rayyandi usai lagu ‘Hidup dan Pesan Nabi’ yang mengalun dari sebuah stasiun radio di kamar tidur ayahnya usai subuh tadi pagi.
“Bagaimana menurut ayah?” tanyanya.
“Pesan nabi itu benar, Yan ” jawab ayah.
“Bukan soal benar atau tidak, yah. Tapi soal aku masih takut mati itu. Kalau ucapan Sang Teladan itu aku sangat yakin kebenarannya ” tegas Rayyandi.
“Biasanya orang takut mati itu karena kurang amal dan banyak dosa. Takut membayangkan pedihnya siksa kubur ” Kata Ayah.
“Takutku bukan karena itu, yah. Berbuat dosa lalu mendapat siksa, itu konsekuensinya kan,yah. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Begitu kan yang ayah ajarkan pada kami?”
“Lalu kalau bukan karena dosa, apa yang membuatmu takut mati ?”
“Kalau aku mati aku tentu tak bisa lagi mendoakan ibu. Aku belum berbuat banyak ketika ibu masih hidup. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mendoakannya. Aku juga masih ingin terus menemani ayah. Ingin bersama istri menghantarkan anak-anak meraih cita-cita mereka. Tugasku belum selesai, yah. Aku masih sedikit sekali memberi”
Ayah terdiam, jakun yang dilapisi kulit keriput itu bergerak gerak. Ayah sedang menahan rasa.
Beberapa saat hening,..
“Ber-amalshalih lah bila kau ingin doa untuk ibumu di ijabah Allah”
“Insya Allah, yah”
“Lalu, apa yang telah kamu lakukan mengatasi rasa takutmu itu?” ayah bertanya.
“Aku berdoa agar diberi umur yang panjang, waktu yang bermanfaat dan kemampuan untuk mewujudkan”
“Selain doa, perbanyak bersedekah karena sedekah bisa memperpanjang umur” saran ayah.
Rayyandi adalah putra bungsu sang ayah. Usianya diatas empat puluh tahun. Delapan belas bulan yang lalu, Ibu — yang ia sebut telaga bening nan jernih — kembali keharibaaNya disaat ia tengah berjibaku merestorasi kehidupan ekonominya yang terpuruk. Waktu itu ia marah. Marah bukan karena tak ikhlas atas kepergian ibunda tapi marah pada diri yang belum mampu menghadirkan sinyal-sinyal kebahagiaan selama hayat almarhumah.
Beberapa tahun sebelum kehilangan ‘telaga bening nan jernih’nya, Rayandi kehilangan pekerjaan sebagai seorang penyelia disebuah perusahaan pelayaran. Sedikit harta benda yang ia miliki satu demi satu juga lenyap. Rumah, kendaraan, tak terkecuali perhiasan sang istri. Beruntung, keluarga besar Rayyandi tak berdiam diri melihat kondisi yang demikian sehingga biduk tetap bisa mengarungi samudera.
Empat jiwa yang dikaruniakan Sang Pencipta mampu menjadi lokomotif semangat yang memercikkan bahagia rumah tangganya. Dalam keterbatasan ada kebahagiaan. Dalam kesulitan hadir kelapangan.
“Ayah, bersedekah itu haruskah berupa benda berwujud….?” tanya Rayyandi.
“Tentu” jawab ayah
“Bagaimana aku bersedekah dalam keadaan serba terbatas begini?”
” Bukankah kamu mengharapkan umur panjang?. Kenapa bersedekah harus menunggu cukup?. Nilai sedekah itu bukan pada jumlah tapi pada keikhlasan”
“Yah, benar bersedekah harus dengan benda berwujud?. Ayah serius ?” Rayyandi penasaran.
Sambil tersenyum ayah bangkit dari duduknya lalu mengambil sebuah buku
” Bacalah, kamu akan menemukan jawabannya disini”.(red.04)