Kualitas Pendidikan Tinggi di Indonesia

Oleh: Dr. Darul Aman, M. Pd

DARI hasil beberapa bacaan yang dirangkum maka terdapat gambaran yang menarik untuk dibaca sebagai bahan renungan, sebagai berikut: bahwa perguruan-perguruan tinggi di Indonesia perlu melakukan kerjasama internasional dengan universitas di luar negeri Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas, hal itu juga demi daya saing. Sampai saat ini, belum ada lembaga pendidikan di Indonesia yang masuk dalam kategori 200 universitas terbaik dunia versi lembaga pemeringkat ternama The Times Higher Education-QS World University (The-QS World University). Sementara itu, Global Competitiveness Report 2009/2010, yang antara lain menilai tingkat persaingan global suatu negara dari kualitas pendidikan tingginya, pun cuma menempatkan Indonesia di peringkat ke-54 dari 133 negara, yaitu di bawah Singapura (3), Malaysia (24), Cina (29),Thailand (36), serta India (49). Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah sarjana yang belum bekerja per Februari 2009 hampir mencapai 13% dari total jumlah penganggur, atau sekitar 1,2 juta orang.

Menurut Country Director British Council Indonesia Keith Davies dalam seminar membahas peluang dan tantangan kerjasama internasional di Jakarta, Sabtu lalu (14/11), kerjasama antara universitas di Indonesia dengan perguruan tinggi luar negeri yang lebih berpengalaman bisa dilakukan melalui Double Degree, Franchise atau Staff Exchange. Sayangnya, bidang ini pun Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangganya. Sebuah penelitian di Inggris menemukan, saat ini terdapat 270,000 mahasiswa asing yang mengambil double degree di sana. Dari jumlah itu, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan India menyumbang hampir setengahnya. Kesiapan universitas

Mahasiswa asing yang universitasnya menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi Inggris bisa meraih diploma ganda sekaligus mendapatkan salah satu pendidikan terbaik di dunia. Menurut The-QS World University, peringkat 5 besar universitas terbaik dunia saat ini didominasi oleh 4 perguruan tinggi Inggris yaitu University of Cambridge, University College London, Imperial College London, dan University of Oxford. Untuk itulah, lanjut Davies, mulai tahun depan pemerintah Inggris melalui British Council menyediakan bantuan “Prime Minister Initiative 2: Collaborative Programme Delivery” hingga sebesar 1,2 juta poundsterling bagi perguruan tinggi di Indonesia. Dana itu, kata dia, dipergunakan untuk membangun kerjasama internasional hingga dua tahun berikutnya.

Sejak dicanangkan pada 2006 lalu, program Prime Minister Initiative ini berhasil membiayai 235 kerjasama penelitian, pelatihan dosen, pertukaran mahasiswa, dan beasiswa antar universitas di seluruh dunia. “Melalui kemitraan ini kami berharap dapat mewujudkan internasionalisasi dunia pendidikan yang lebih luas lagi. Program ini sebagai pembuka jalan untuk kemitraan antar lembaga pendidikan kedua negara,” ujar Davies.

Davies menambahkan, sudah ada beberapa perguruan tinggi yang sukses membangun kerjasama dengan Inggris. Misalnya, Universitas Bina Nusantara yang bekerjasama dengan Northumbria University untuk Design Studies dan dengan Bournemouth University untuk Tourism & Hospitality. Contoh lainnya adalah Universitas Indonusa Esa Unggul, yang bermitra dengan Heriot Watt untuk Management Programme. Mahasiswa jurusan Desain Bina Nusantara, ujar Keith, bisa belajar dan mendapatkan gelar dari Northumbria, –kampus yang menelorkan Jonathan Ives, si perancang iPod dan iPhone yang tersohor itu. Sementara itu, mahasiswa di bidang pariwisata pun bisa mendapatkan gelar dari Bournemouth yang belum lama ini menginvestasikan 1.5 juta poundsterling untuk fasilitas teknologi komunikasi dan informasinya.

Menanggapi hal itu, Dekan Program Binus Internasional Minaldi Loeis mengatakan, bahwa segalanya kembali pada pengelola lembaga pendidikan itu sendiri. “Tantangannya justru ada pada kesiapan universitas dalam menjalankan visi, komitmen, pemasaran, serta manajemen programmya,” tutur Loeis. Dia menambahkan, biaya sebetulnya bukan menjadi kendala. Walaupun Binus menaikkan biaya pendidikan internasionalnya hingga 10 persen demi menjaga kualitas, lanjut Loeis, jumlah mahasiswa yang mendaftar setiap tahunnya mengalami kenaikan antara 10 sampai 20 persen.

Kajian di atas, akan membuka peluang kepada kita terutama yang berkiprah di Universitas atau Sekolah Tinggi, misalnnya. Maka STAI GP adalah salah satunya yang bisa menjembatani kerjasama yang tergambar di atas. Lalu bagaimana dengan modal kita sebagai pesaing untuk mengenyam pendidikan double degree? Jawabannya adalah hanya satu “You must get the score of TOIC or TOEFL at least 550-600”. Disamping keterampilan-keterampilan lain yang dianggap perlu. Persiapkan diri dengan matang, paling tidak seorang dosen pemangku mata kuliah baik yang berlatar belakang social science maupun natural science akan lebih baik mendapatkan pengalaman sekaligus refereshing sebagai wisata pembelajaran agar kualitas kita dalam pelaksanaan proses pembelajaran sedikit membaik.

Dengan kata lain, memperbaiki kualitas diri. Dengan rasa percaya diri yang penuh, STAI GP memiliki dosen-dosen yang potensi yang gemilang untuk mengembangkan daya saing pendidikan di daerah ini khususnya dan kalau bisa sampai ke manca daerah. Keyakinan saya sangat ber-alasan karena hampir semua (75 persen) para dosen di STAI GP dalam standar Magister (M. Pd atau MA) dan beberapa dosen sudah selesai S.3 sementara ada 8 orang lagi sedang dalam proses disertasi.  Gambaran di atas, bukan pandangan yang psimisme melainkan menjadi ransangan optimisme putra-putra daerah yang jauh ke depan. Belajarlah terus…..

*Guru SMA Negeri 1 Takengon/Dosen STAI GP Takengon Bidang Studi Bahasa Inggris

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.