Fenomena Petani Kopi di Aceh Tengah

Hamdan*

PENINGKATAN kesejahteraan petani di pedesaan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan, sebab serapan tenaga kerja dari sektor pertanian masih termasuk yang terbesar di Indonesia. Maka dapatlah dimaklumi bahwa negara kita adalah negara agraris di mana penduduknya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Oleh sebab itu, diperlukan orientasi yang menempatkan petani sebagai kelompok yang perlu memperoleh prioritas utama dalam pembangunan nasional.

Dalam konteks yang lebih sempit, kabupaten Aceh Tengah memiliki potensi yang cukup besar di bidang pertanian. Tanah Gayo adalah ā€˜Tanah Surgaā€™, di mana perkebunan kopi menjadi andalan utama. Komposisi penduduk di Aceh Tengah pun sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi, sehingga tak dapat dipungkiri lagi begitu besarnya peranan kopi terhadap roda perekonomian rakyat Gayo. Membahas masalah kopi di Aceh Tengah berarti membahas nasib puluhan ribu petaninya.

Bila dipetakan secara umum mulai dari mata rantai produksi hingga pemasaran, posisi petani amat rentan mengalami berbagai kesulitan. Di rantai produksi, mereka harus membeli bibit, pupuk, dan obat pembasmi hama. Harga-harga input tersebut mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan kerapkali menjadi langka pada masa tanam akibat ulah oknum tertentu. Di samping itu, selama ini peran petani kebanyakan hanya berada dalam fungsi produksi saja, hanya sebagian kecil saja yang sampai mengambil peran di fungsi pengolahan, apalagi pemasaran.

Dengan anggapan bahwa peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah biasanya cuma memberikan bantuan penyuluhan dan pendampingan tentang bagaimana cara bercocok-tanam yang paling baik. Sementara itu, fungsi pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian diserahkan ke ranah profesi lain. Tapi sayangnya, sepertinya kurang disadari bahwa pola pembagian kerja seperti ini seringkali merugikan petani. Sebab pada umumnya petani kurang memiliki daya tawar dalam menjual hasil produksi mereka.

Secara tidak langsung pembagian kerja tersebut sesungguhnya telah mendiskriminasi petani dari pendapatan yang layak. Akibatnya petani kopi hanya menjadi kuli di kebunnya sendiri. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa berbagai data masih menunjukkan sebagian petani di pedesaan berada dalam atau mendekati jurang kemiskinan.

Kondisi ini semakin memprihatinkan bila kita melihat kecenderungan masyarakat di pedesaan Gayo yang mulai meninggalkan profesi mereka sebagai petani. Terlebih lagi, anak-anak petani yang telah mengenyam pendidikan cenderung tidak kembali pada dunia atau usaha penduduk asli. Apakah hal ini mengindikasikan bahwa profesi sebagai petani memang kurang menjanjikan? Bagaimanapun juga, selama ini pendapatan petani memang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan profesi sektor lain, terutama profesi-profesi formal. Di samping itu, ada anggapan bahwa modernisasi identik dengan sesuatu yang berada di luar pertanian dan pedesaan sehingga terjadilah marjinalisasi sektor ini pada pandangan generasi muda Gayo. Kadang mereka malu berprofesi petani, tetapi bertani atau berkebun lebih suka mereka sebut sebagai usaha sampingan. Itupun sebagian dikerjakan oleh orang suruhan.

Dalam kenyataannya harga jual kopi selalu berfluktuasi. Kondisi tersebut menyebabkan petani kopi berada pada posisi kesejahteraan yang tidak menentu, sebab pendapatan mereka ditentukan oleh pasar global yang aksesnya sama sekali tidak terjangkau oleh petani kopi. Setidaknya banyak pihak menyadari betul bahwa pasar internasional sangat menentukan naik turunnya harga kopi, tapi seringkali juga fluktuasi tersebut terjadi di tingkat lokal karena permaninan harga yang dilakukan tengkulak.

Menurut beberapa cerita petani kopi di Aceh Tengah juga kerap terjebak hutang kepada para tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari beberapa bulan sebelum panen kopi tiba. Hutang tersebut biasanya dibayar dengan hasil panen kopi, dan posisi ini sering merugikan petani.

Inilah sebagian fenomena petani kopi di Aceh Tengah. Dalam kenyataannya peningkatan produksi komoditas kopi yang memang selama ini berorientasi ekspor telah memberi sebagian kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Tengah. Akan tetapi, yang perlu kita pertanyakan adalah apakah penguasanya telah berpihak kepada petani? Semoga ada jawaban dari pihak terkait melalui forum ini.

*Penulis adalah petani kopi dan wiraswasta, berdomisili di Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.