Nihilisme Demokratik

Muhammad Hamka*

DEMOKRASI yang berlebihan menciptakan nihilisme demokratik (democratic nihilism), yakni praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan (Cornel West- 2004). Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan, dan kesenangan, dengan mengabaikan substansi politik.

Apa yang disinyalir West ini menemukan korelasinya di negeri ini. Dalam locus nasional misalnya, bisa dilihat dari kebijakan pemerintahan Yudoyono yang jauh dari nafas populisme. Kebijakan rezim SBY-Boediono menaikan harga BBM 1 April (sekarang sudah dibatalkan) adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini masih “menari” dalam gebyar prosedural yang penuh dengan hingar-bingar; manipulasi, kebohongan dan kepalsuan, sementara substansi politik diabaikan. Padahal, substansi demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Nihilisme demokratik ini hanya melahirkan penderitaan bagi rakyat. Karena rakyat kian teralienasi dari demokrasi, serta absenya politik kerakyatan dalam agenda partai politik (parpol). Bahkan lebih jauh lagi, dimana politik hanya melulu soal perebutan kekuasaan para elite dan mengabaikan tujuan politik sebagai sarana memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Sehingga politik–mengutip As’ad Ali (2011)–hanya bisa diakses oleh kaum elite yang menguasai sumber-sumber kekuasaan ekonomi-politik. Terjadi monopolisasi politik oleh kaum elite, dan sekaligus marginalisasi politik di kalangan massa-rakyat. Seturut dengan itu, demokrasi berubah menjadi partokrasi; demokrasi bukan lagi kekuasaan dari-rakyat-oleh-rakyat-untuk-rakyat; tapi kekuasaan dari-partai-oleh-partai-untuk-partai.

Konteks Pemilukada

Dalam konteks pemilukada, nihilisme demokratik ini bisa dilihat dari maraknya spanduk, sticker, maupun baliho para calon kepala daerah yang terpampang dijalan raya. Nurani rakyat “terpolusi” dengan pajangan narsisme para elite tersebut; mulai dari senyuman manis, janji-janji manis, hingga petuah bijak. Kesalehan sosial para elite pun tiba-tiba menyeruak tanpa malu, kesalehan musiman tentunya. Tak peduli keasrian kota terganggu dengan pajangan narsisme tersebut, yang penting rakyat “terpolusi” nuraninya.

Maka bagi rakyat Aceh Tengah dan Bener Meriah yang tinggal hitungan hari lagi akan memilih kepala daerah baru, harus bisa menjadikan pesta demokrasi (pemilukada) sebagai momentum dalam mewujudkan demokrasi yang substansial dan partisipatoris. Demokrasi yang memosisikan rakyat sebagai subyek yang utuh, bukan sekadar obyek politik para elite dalam meraup suara.

Untuk itu, suara rakyat Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak boleh terjerat oleh bualan politik murahan para elite; solekan pencitraan, janji palsu, dan money politik. Karena kalau ini yang diamini, maka jangan pernah berharap lima tahun kedepan pemimpin Bener Meriah dan Aceh Tengah akan berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan pada kepentingan keluarga, kelompok, dan partai pendukung. Untuk itu, rakyat harus berpartisipasi aktif dalam menelusuri rekam jejak, visi-misi, dan program kerja para calon kepala daerah masing-masing.

Oleh karena itu rakyat harus mendasarkan pilihan dengan pertimbangan rasionalitas, kebebasan, dan nurani (Hamka: Website The Aceh Institute, 2011). Pertama, rasionalitas dalam menentukan pilihan. Keberadaan rasio atau akal dalam memilih calon kepala daerah sangat penting. Karena penggunaan akal  akan menuntun pemilih untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas, berintegritas, dan bermartabat.

Kedua, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi. Maka dalam konteks pemilukada, kebebasan memilih adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, ketika ada calon ataupun tim sukses yang mengintervensi hak pilih kita, maka calon pemimpin seperti itu tidak layak untuk di pilih menjadi pemimpin. Karena ketika menjadi pemimpin ia akan menjadi anti kritik, mudah tersinggung, bahkan diktator.

Ketiga, jangan pernah sekali-kali mengenyampingkan nurani. Karena nurani akan menjadi “antibiotik” yang mengkanalkan rasio kita pada track yang benar. Nurani-lah yang akan memberikan imunitas dari intimidasi, segepok rupiah, dan segantang beras.

Ketiga hal diatas merupakan sebuah keharusan bagi para pemilih cerdas, kalau tidak mau terperosok dalam nihilisme demokratik yang penuh kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan.

* Analis Sosial,berdomisili di Paya Tumpi Baru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.