Jalan Lintas Takengon-Redelong

Catatan: Isma Arsyani*

MELINTASI jalan Takengon-Redelong, ada rasa geli saat melewati jalan yang baru dibuka di daerah Kelupak Mata. Kegelian ini setelah melihat tebing yang telah dikeruk untuk kebutuhan pelebaran jalan dibiarkan telanjang dan tanpa ada undakan atau tak dipotong bertingkat.

Setiap lewat, saya berpikir dan hanya bisa berharap semoga tebing ini tak meluncur ke jalan saat orang berkendara lewat. Pikiran ini sangat beralasan. Pertama, stabilitas tanah yang sudah dikeruk akan berbeda dengan bentukan aslinya. Tentu saja akan mempengaruhi kestabilan tanah. Biasanya, kestabilan tanah akan berkurang dari semula.

Kedua, Negeri Antara adalah negeri hujan, sebuah rahmat yang tak ternilai harganya dibandingkan negeri lain di Nusantara ini, seperti di daerah panas Nusa Tenggara Timur. Hujan yang terus menerus dan dengan intensitas yang tinggi bisa mengakibatkan tanah tebing menjadi jenuh dan tentu saja akan mengakibatkan luncuran atau longsor yang membahayakan benda di sekitarnya.

Ketiga, seorang teman lulusan Swedia, berlatar belakang Geofisika yang juga dosen di Universitas Syiah Kuala, pernah mengatakan, jenis tanah di negeri ini sebagian besar adalah endapan dari material vulkanis yang mungkin sekali membentuk negeri ini berdasarkan teori geologi dan sejenisnya.

Ini menandakan  subur yang luar biasa pada negeri ini dan bila tak disokong oleh penyangga yang sesuai akan menjadi bencana, seperti longsor. Biasanya longsor dari jenis tanah ini meluncur dengan cepat dan susah untuk selamat dari hantamannya.

Rasa gelisah itu mulai muncul semakin meningkat saat pekerjaan peningkatan jalan ini dimulai kembali di daerah Bukit Sama dan Merie I. Fase terakhir  untuk sementara pembangunan jalan ini berada di wilayah Singah Mata, Wih Decer, Paya Tumpi. Sistem pekerjaan masih tetap sama, dinding tebing jalan tetap dibiarkan telanjang.

Padahal semua kita tahu, di wilayah ini ada beberapa titik luncuran air dari alur yang berada di perbukitan di sebelah selatan jalan., atau di sebelah kiri bila pengendara bekendara dari Takengon ke Redelong. Dengan melihat kondisi air yang begitu terbuka, selalu menimbulkan was-was saat melalui jalan ini. Ditakutkan luncuran material tanah dan bebatuan akan hingga di bawah saat kita berkendara.

Bukti kegelisahan saya sebenarnya terbukti setiap hujan dengan intensitas tinggi. Di daerah Kelupak Mata, kerap mendapatkan luncuran kerikil dan batuan di aspal yang dibawa oleh air dari arah Bukit Sama. Longsor kecil yang pernah dilansir Lintas Gayo di daerah Bukit Sama, puncaknya adalah pada tanggal 2 April 2012 lalu, saat jalan penuh dengan air keruh yang turun dari Bukit Sama, mengalir ke Kelupak Mata dan Terminal Labi-labi Paya Tumpi, ditambah  titik air yang berada di pinggiran jalan juga mengeluarkan air ke tubuh jalan.

Limpasan air keruh yang turun di badan jalan ditemani oleh batuan yang bisa membahayakan pengendara. Saya hanya bisa berpikir untuk menyegerakan laju kendaraan saya kearena khawatir jalanan akan longsor. Setiap orang yang saya tanya penyebabnya, pasti memberikan dua jawaban, drainase jalan belum selesai dikerjakan, makanya air terus menjadi limpasan dan air hujan yang cukup deras hari itu. Bisa jadi itu menjadi penyebab, namun perlu diingat, sebelum pekerjaan jalan dilakukan, hal ini jarang sekali terjadi di ruas jalan Paya Tumpi hingga Kelupak Mata. Informasi ini saya dapatkan kepada beberapa penduduk di sekitar jalan.

Pada Kamis, 12 April 2012, kegelisahan itu menjadi kenyataan. Walau hanya longsor kecil, namun itu terjadi dan hampir saja menimpa sebuah keluarga di Wih Decer. Tak hanya itu, longsoran tanah  juga terjadi di Merie 1 sangat dekat  sekali dengan perumahan warga yang ada di pinggiran jalan. Kejadian ini cukup menjadikan jalanan macet dan ada yang mengalihkan perjalanan melewati Bukit Sama dan Sukaramai Atas.

Saya bukanlah orang yang anti pembangunan. Namun sekali lagi melalui media ini saya menyampaikan pembangunan itu tak melulu harus melulu mempunyai spesifikasi teknis yang memadai dan dana yang sesuai. Namun lebih dari itu, kenalilah alam sekitar. Apalagi Negeri Antara ini merupakan negeri dataran tinggi yang membutuhkan perhatian lebih walau untuk sekedar membangun atau melebarkan jalan.

Pembangunan jalan di negeri ini yang berbukit dan bertebing tak lah sama dengan pembangunan di daerah datar. Banyak hal yang secara teknis harus kita masukkan dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Karena saya perhatikan, setiap tebing yang dipotong adalah daerah tangkapan air untuk daerah sekitarnya. Tak mungkin sebutan Wih Decer, bila tak ada air di sana.

Selain itu, data kualitatif yang berasal dari sejarah masyarakat sekitar haruslah dicermati dengan seksama. Niat awal sangat mulia, ingin mensejahtrakan masyarakat, namun kenyataannya masyarakat sendiri yang susah. Semoga kita lebih bisa mencermati proses pembangunan untuk masa yang akan dating. Tak hanya terlena bila tak ada pembangunan fisik, maka daerah kita tak maju. Padahal banyak hal yang bisa kita bangun, seperti membangun manusia agar bisa lebih senatiasa menjaga lingkungan dan kearifan lokal yang ada di sekitarnya.

*Pemerhati Lingkungan, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. @Benerdi Benshu

    Hehe, Kontraktor atau pelaksana pasti mengerti akan apa yang dilaksanakan. Mereka juga pasti tahu akibat dari cut tebing yang terlalu curam akan mengakibatkan longsor.

    Tak hanya itu, perencana, pasti juga sudah merencanakan dengan sedemikian rupa. Kalau tidak, ada berarti ownernya bloon.

    Namun di lapangan, banyak hal yang menjadi penyebab, termasuk mungkin lahan yang bisa dibebaskan hanya seluas itu, jadi tak bisa membuat tebing yang bertingkat dan relatif aman.

    Dan lain2 yang mungkin tak akan bisa dilihat di dokumen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.Percaya saja, proses sejenis Amdal juga pasti sudah dilaksanakan. :p

    Intinya, kita kurang ada sence of belonging untuk kampung kita sendiri

    Mungkin maksud penulis, tak cuma longsor yang dilihat, tapi banyak pembangunan yang sia-sia untuk negeri kita. Membangun masyarakat hanya isapan jempol saja. Mungkin itu.