Penodaan Terhadap Identitas Bangsa

Oleh: Kharul Rijal

ERA reformasi yang diharapkan sebagai jalan dimana secercah harapan masih tersisa dalam lekuk kepedulian terhadap bangsa. Tujuannya tidak lain adalah menuju bangsa yang lebih baik dan mampu menjamin kelangsungan hidup rakyatnya (pendidikan, ekonomi, hukum, pembangunan dan kesehatan), tidak ada yang diragukan jika kita melihat dengan segala kebutuhan dan sarana yang dimiliki bangsa, akan tetapi dengan dalih keterbatasan itu menjadikan bangsa ini miskin akal dimata dunia dan hal ini merupakan bentuk antitesis terhadap jati diri dan geliat demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Proses pembentukan yang cukup matang selalu digadang-gadang menjadi awal sebuah perubahan yang secara apik dibungkus dalam bentuk kepedulian terhadap negara. Ironisnya campur aduk antara kepentingan dan kepedulian itu hampir sama bentuknya, bahkan fenomena ini menimbulkan paham skeptisme dikalangan publik.

Renungan dalam bentuk kepedulian terhadap negara tak pernah berhenti, bentuk kepedulian ini menurut penulis berawal dari langkah individu setiap anak bangsa untuk sampai pada titik temu dimana tujuan masing-masing telah dicapai dengan segala kesuksesannya. Hal inilah bentuk kepedulian yang sederhana, akan tetapi berbentuk nyata. Namun, lambat laun wacana mencari jati diri sebagai bentuk identitas bangsa semakin hilang seiring republik ini dihiasi fenomena kerancuan dan hilang keteladan.

Secara universal, perubahan secara spontan ini tidak kunjung pulih bahkan beranak-pinak, hampir dikatan setiap tahunnya bangsa ini memiliki permasalahan dengan warna yang sama, implikasinya negara ini melahirkan individu-individu yang jauh dari esensi seorang negarawan (hakekat pengabdian terhadap negara) yang peduli teradap negara.

Kritik pedas selalu tertuju kepada hakikat demokrasi yang selalu terbentur dengan kendala, yaitu perubahan sistemik negara otoriter dan haus kekuasaan (Kleptokrasi, Nihilisme dan Paradoksal). Fakta menunjukan bahwa akar permasalahan negara berawal dari satu sisi yang disepelekan hingga mengakar dan menggurita. Secara berangsur-angsur kebosanan pun timbul ditubuh publik sehingga individu-individu tersebut mencari keadilan dengan sendirinya dampaknya konflik secara alami pun terjadi disetiap tempat (radikalisme).  Nampaknya fenomena ini sesuai dengan apa yang ditulis Samuel P. Huntington (1991), “perjuangan menuju negara demokrasi itu berdarah-darah, memakan korban publik yang tidak sedikit”.

Banyak yang bekerja untuk negara (mayoritas), akan tetapi hanya segelintir yang menjadi negarawan (minoritas), artinya hakekat pengabdian terhadap negara masih tercampur oleh banyaknya noda kepentingan. Hal ini terlihat jelas dari aksi aktor dipanggung kekuasaan menunjukan bahwa tingkat kinerja dan pengabdian mereka masih jauh dari kata kesepakan dari janji-janji politiknya.

Meminjam ungkapan Piet H. Khaidir (2006) dalam bukunya “Nalar Kemanusiaan dan Nalar Perubahan” yang mengatakan bahwa dalam tradisi kita ada dua model kepemimpinan yaitu formal politik dan informal (moral). Kepemimpinan politik adalah pemimpin yang berlatar belakang kepartaian dan penyaluran aspirasi politiknya terhadap partai tertentu. Sedangkan kepemimpinan moral adalah pemimpin dengan latar belakang ormas, independen, dan saluran aspirasi politiknya berpijak kepada pengabdian masyarakat dan sosial service lainnya”.

Dari dua tipe kepentingan kepemimpinan ini dapat dikatakan hanya kepemimpinan politiklah yang mendominasi  jalannya roda kepemerintahan saat ini, hasilnya orientasi terhadap nilai dan norma Good Govermance dan Claen Govermance mendekati pada titik kehancuran (sosial, ekonomi dan politik). Hal ini sangat bertolak belakang dengan negarawan dengan hakekat pengabdian terhadap negara.

Fenomena ini tentunya sangat miris dihati kita, akan tetapi membutuhkan perngorbanan besar untuk melalui hari-hari berat dalam misi perubahan ini. Keterlibatan kita sebagai anak bangsa tentunya terbentur dengan kendala kwantitas dan kwalitas yang kita miliki. Memperbaiki retaknya mahkota demokrasi ini tentunya tidak semudah meniupkan kapas, akan tetapi membutuhkan pengorbanan dan kepedulian yang datang dari hati dengan memulai beberapa hal yang mendasar dan senderhana terhadap diri sendiri nampaknya perlu di revitalisasikan kembali.

Salah satu agenda utama dalam mengentaskan kelemahan bangsa adalah perlunya peningkatan terhadap Sumber Daya Manusia yang masih terkendala oleh lemahnya pengalaman disiplin nasional dan etos nasional (Stiami 2005). Hal ini terjadi akibat ketidak seriusan terhadap penghargaan terhadap waktu, dan penghayatan terhadap norma-norma hukum. Kemudian menyikapi kepemimpinan formal dengan kinerja yang dianggap gagal, maka dari itu tipe kepemimpinan ini perlu didekontruksi dan diganti oleh kepemimpinan moral yang bergerak melalui jalur independen dengan indentitas seorang pengabdi terhadap negara dan rakyat.

Terakhir meminjam ungkapan Piet H. Khaidir (2006) “jika benar tesis yang menyatakan bahwa moralitas praksis adalah selalu bersentuhan dengan desain ruang publik yang selalu mengkritisi serta menonjolnya indenpedensi kepemimpinan, maka dengan sendirinya produksi kepemimpinan moral adalah faktor penunjang konsolidasi Demokrasi di Indonesia”. Menyaksikan kesedihan yang berlanjut dengan realita yang ada di Idonesia saat ini, hal ini perlu direalisasikan.***

*Mahasiswa Universitas Muhammadiah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.