BEBERAPA waktu yang lewat, sebagian kita barang kali membaca berita di Kompas.com (24/05/12), yang mengurai tentang prosentase kelulusan Ujian Nasional (UN) siswa SMA mengalami kenaikan berdasarkan penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, di gedung Kemdikbud, Jakarta. Katanya, tahun ini tingkat kelulusan UN siswa SMA mencapai 99,50 persen. Jumlah tersebut 27 persen melebihi tahun lalu yang hanya menyentuh angka 99,22 persen.
Secara kuantitas, capaian ini memukau dan menjadi kado istimewa untuk para guru, orang tua, dan stake holder pendidikan, di samping menjadi bukti nyata bahwa prestasi siswa dalam UN tahun ini meningkat. Namun demikian, beranikah kita mengklaim bahwa kualitas pendidikan Indonesia sudah lebih baik, atau pendidikan kita dianggap telah berhasil?.
Untuk menemukan jawabannya, sejatinya kita harus menggali ulang secara intens makna dan hakikat pendidikan itu sendiri sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan. Jika pendidikan hanya dimaknai sebagai proses pembelajaran dan transformasi ilmu, serta identik dengan sekolah, maka hasil UN tersebut dapat menjadi rujukan bagi kita untuk mengatakan bahwa pendidikan Indonesia berhasil. Sementara jika pendidikan dimaknai sebagai proses transformasi pengetahuan, skill, dan nilai-nilai, maka capaian UN tersebut tentu masih belum cukup menjadi bukti keberhasilan pendidikan.
Pengertian pendidikan memang sangat beragam. Tetapi yang jelas tujuan utama pendidikan adalah transformasi ilmu, kecakapan, dan nilai. Dari itu, penulis sepakat dengan salah satu pengertian pendidikan yang dijelaskan Hamka Abdul Aziz (2011:72), bahwa pendidikan adalah proses transformasi-dialogis antara peserta didik dengan pendidik dalam semua potensi kemanusiaannya sehingga menumbuhkan kesadaran, sikap, dan tindakan kritisnya. Lepas dari beragam pengertian, makna pendidikan adalah proses humanisasi (pemanusiaan) manusia.
Jika sepakat dengan pengertian pendidikan di atas, maka hakikatnya indikator keberhasilan pendidikan sejatinya lebih dominan ke arah tersebut; Bahwa keberhasilan pendidikan diukur dengan moralitas atau akhlak para lulusannya, di samping tidak mengabaikan intelektual dan kecakapan hidup. Dengan kata lain, moralitas menjadi fondasi dasar dalam membengun manusia yang tangguh.
Secara normatif, dalam Islam sendiri keberhasilan manusia diukur dari akhlak dan kualitas amalnya. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam menjalin komunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan.
Sekiranya moralitas dan karakter peserta didik gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan dan harmonika sosial, serta dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis. Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini dan menjadi dalih Kemdikbud untuk memerogramkan pendidikan karakter di sekolah.
Kenyataannya, pendidikan yang pada hakikatnya untuk membentuk manusia yang berkarakter tampaknya belum berhasil di Indonesia saat ini. Pendidikan kita baru melakoni misi yang paling rendah dalam pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara misi moral masih tercecer di antara jalan terjal mimpi dan kenyataan.
Data, fakta, dan sederetan peristiwa dengan polosnya telah memperlihatkan kepada kita, bagaimana perilaku korupsi kaum terdidik, produk ijazah palsu yang dilakukan oleh oknum dosen, birokrasi uang rokok, dan perilaku lain yang hampa dari muatan moral, dan pola hidup materialisme-hedonistis yang semakin menguat. Tidak bisa dipungkiri, pelaku utama dari itu semua adalah orang cerdas yang merupakan lulusan dari lembaga pendidikan kita.
Hal tersebut merupakan bukti bahwa alunan irama pendidikan kita masih asyik dengan melodi indah pengembangan inteletual dan melupakan nada dasar moralitas untuk membentuk karakter generasi bangsa ini. Di sisi lain, pendidikan kita disibukkan dengan hal-hal yang administratif dan serba formalitas, segala sesuatu diukur dengan angka dan data di atas kertas, tanpa mau melihat kondisi sebenarnya. UN minsalnya, walaupun dengan angka keberhasilan yang dicapai tahun ini kita belum yakin dengan prosesnya, apakah tidak dibumbui dengan kebohongan dan manipulasi.
Ekspektasi Publik
Secara umum, ekspektasi publik untuk pendidikan Indonesia ke depan adalah mampu melahirkan generasi tangguh; mememiliki kemampuan intelektual yang baik serta berkarakter. untuk menuju ke arah tersebut maka sistem dan tata kelola pendidikan patut untuk menjadi perhatian serius oleh berbagai pihak. Dalam hal ini, tentu kita mengharapkan keterbukaan pemerintah untuk rela dikritisi apabila kebijakannya tidak pro rakyat dan tidak berorientasi pada pemerataan dan keadilan pendidikan.
Syarat utama untuk mewujudkan pendidikan yang baik ini adalah pemerintah sendiri sebagai administrator harus mampu menciptakan sistem pendidikan berkarakter; baik dari aspek kebijakan, sumber daya manusia (SDM)-nya, perekrutan guru yang professional, serta mensterilkan lembaga dan istansi pendidikan dari orientasi privatisasi, proyek, dan ajang mencari keuntungan.
Jika saat ini pendidikan karakter kita ajarkan kepada anak-anak dengan dalih krisis dan dekadensi moral, boleh jadi. Tetapi perlu diketahui bahwa penyakit utamanya ada pengelola pendidikan itu sendiri. sehingga pemerintah sejatinya memikirkan bagaimana membengkel output pendidikan rusak mental yang saat ini mengurusi pendidikan di Indonesia. Jika diilustrasikan, sistem pendidikan ini ibarat pabrik, ada pengelola pabrik, pekerja dan produk dari pabrik tersebut. Di dunia pendidikan, pengelola pabrik adalah pemerintah, pekerjanya adalah guru, dan produknya adalah siswa. Jika pengelola dan pekerja pabrik tidak baik, maka produknya juga tidak akan pernah baik.
Dengan prioritas transformasi nilai, kita berharap pendidikan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Keberhasilan pendidikan tidak lagi kita ukur dengan tingkat kelulusan siswa di UN, akan tetapi melihat aksi mereka di dunia realitas, sejauh mana para lulusan kita mampu mereflesikan nilai-nilai moral dalam interaksi sosial, tidak berpikir individual, dan selalu berorientasi kepada asas manfaat dalam setiap kerja dan karyanya. Akhirnya, kita berharap, dalam perumusan kebijakan dan implementasinya, pemerintah diharapkan lebih mengedepankan aspek moral dan menjadikannya sebagai indikator utama keberhasilan pendidikan.( johansyahmude@yahoo.co.id)
*Pemerhati Pendidikan