Dialektika Dakwah


Oleh Johansyah*

Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar kata dakwah? atau apakah itu dakwah? Pertanyaan ini sudah lama muncul dan sering mengusik pikiran penulis ketika berdiskusi sekitar dakwah. Ternyata banyak di antara masyarakat yang memahami dakwah dengan sempit. Bahwa dakwah adalah ceramah, identik dengan mimbar, dan identik juga dengan ulama, ustadz, atau tengku yang biasa menyampaikan pesan-pesan agama.

Di kalangan ulama sendiri, dakwah terkesan kurang dimaknai sebagai proses komunikasi yang humanistik-holistik, akan tetapi lebih kepada pemaknaan parsialis. Kesan kesempitan makna tersebut minsalnya tergambar dari beberapa khatib atau penceramah yang hobi blak-blakan dan selalu terkesan ‘marah’, dengan nada yang menggebu-gebu, serta dengan retorika  yang ‘wah’. Bahkan banyak di antara penceramah yang merasa dirisenior terkesan punya hak veto, perkataannya pantang untuk dibantah.

Sementara itu, kata dakwah yang menjadi nama salah satu fakultas di Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) maupun Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), yaitu fakultas dakwah, diidentikkan dengan lembaga yang hanya mempersiapan orang untuk tampil di atas mimbar, masjid, atau mengisi ceramah dan pengajian, padahal itu adalah bagian kecil dari skill yang diajarkan pada mahasiswa di sana. Pemahaman ini setidaknya menjadi salah satu penyebab batalnya minat para orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke sana.

Holistika Pemaknaan Dakwah

Dari beberapa kasus dan pengalaman ini, sepertinya pengertian seputar dakwah perlu kaji ulang secara intens melalui penjelajahan kembali konsep yang ada, sehingga publik dapat mengubah pemahaman dari perspektif parsial kepada cakrawala pengetahuan yang dinamis-holistik tentang dakwah. Jika merujuk kepada kamus al-Bisri (1999: 198), kata dakwah yang berasal dari kata da’a-yad’u, mempunyai beberapa makna yaitu; memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi.

Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna yang berbeda-beda setidaknya ada 10 macam yaitu; mengajak dan menyeru, berdo’a, mendakwa, mengadu, memanggil, meminta, mengundang, malaikat Israfil, gelar, anak angkat (http://msibki3.blogspot.com, Islamic studies). Dari beberapa arti dasar dakwah, setidaknya seseorang perlu pertimbangan ketika ingin mendefinisikannya; bahwa dakwah bukanlah sekedar ‘marah’ di atas mimbar, ceramah agama, dan pengajian. Itu adalah bagian kecil dari proses dakwah.

Lebih jauh, perlu juga digali makna dakwah dalam alqur’an. Seperti tergambar dalam salah satu Titah-Nya yaitu; ‘serulah ke jalan Tuhanmu dengan penuh hikmah dan cara-cara yang baik (santun), dan debatkah mereka dengan cara yang baik’. (QS. an-Nahl [16]: 125). Di antara esensi ayat ini adalah bahwa menegakkan amar makruf nahi mungkar, atau dalam menyampaikan informasi alqur’an tentang berbagai hal, ada dua kunci pokok yang sebaiknya dimiliki para da’i, yaitu hikmah dan metodelogi yang baik.

Dalam ayat lain, alqur’an dengan gamblang meminta seseorang untuk berdakwah dengan pola komunikasi yang santun dan baik agar mereka yang kita ajak mau dekat kepada kita. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam sebuah firman-Nya; ‘maka dengan rahmat Allah mereka mendekatkan diri kepadamu, sekiranya kamu berlaku keras (berhati keras), maka mereka akan menjauh darimu…’ (QS. ali Imran [3]: 159).

Dalam sirah nabawi, proses dakwah Nabi Saw tidak pernah ditempuh dengan cara-cara kasar dalam mensosialisasikan Islam. Beliau lebih memilih cara yang santun dan humansi serta memerioritaskan uswatun hasanah (keteladan) dalam mengubah sikap dan perilaku orang lain. Hal ini pula yang menjadi faktor utama keberhasilan dakwah Nabi Saw.

Sementara jika merujuk kepada beberapa pendapat para ahli, akan ditemukan makna dakwah dalam arti yang luas. Dalam pandangan M. Arifin (1991: 6), dakwah adalah suatu ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya dan dilakukan secara sadar atau terencana, baik secara individual ataupun kolektif  untuk menyadarkan seseorang tentang pengertian, pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran agama Islam kepada seseorang  atau kelompok tampa ada unsur paksaan.

Sementara Abdul Munir Mulkhan (1991: 100) menegaskan bahwa dakwah adalah upaya mengubah umat dari satu situasi ke situasi lain yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan dengan tujuan merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual, keluarga maupun masyarakat.

Merujuk kepada beberapa konsep dakwah, baik yang bersumber dari kamus, alqur’an, sirah nabawi, dan pendapat para ahli, maka dakwah dapat dipahami dengan makna yang luas dan beragam dari berbagai perspektifnya. Pertama, dari aspek makna, dakwah pada hakikatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk mengajak kepada kebaikan dan jalan Allah yang dapat ditempuh dengan berbagai aneka media, pendekatan dan metodologi.

Kedua, esensi dakwah adalah komunikasi. Maka dalam komunikasi ada tiga unsur penting, yaitu komunikator (pemberi informasi), komunikan (penerima informasi), dan isi dari informasi. Agar informasi ini dapat secara maksimal sampai kepada komunikan, komunikator harus menempuh cara-cara yang baik. Dalam beberapa ayat di atas diisyaratkan ada dua hal pokok yang harus dimiliki komunikator, yaitu hikmah dan metodologi yang baik,  sehingga informasi yang kita sampaikan akurat dan dapat diterima oleh orang lain.

Ketiga, sekiranya ditelisik lebih dalam, sesungguhnya tugas dan tanggung jawab dakwah sebenarnya tidak terbatas pada ustadz atau ulama, melainkan semua orang berhak untuk berdakwah sesuai dengan kapasitas dan profesinya. Guru dakwah dengan mengajarnya, pegawai kantor dakwah dengan manajemennya yang memudahkan, petani dakwah dengan membagikan pengalaman bertaninya kepada orang lain, pedagang dakwah dengan prinsip kejujuran, dan tentunya para pejabat dakwah dengan menunjukkan keteladanan dan berusaha bebas dari korupsi.

Keempat, untuk penceramah, kiranya perlu mengevaluasi metode dan pendekatan yang digunakan selama ini. Misi utama para ulama (khatib atau penceramah) adalah memberikan kesadaran pada jama’ah tentang nilai-nilai alqur’an dan untuk itu. Teladanilah cara dan sikan Nabi Saw dalam berdakwah.

Tentunya, dalam konteks kekinian dakwah sejatinya dipahami dalam makna yang luas dan fleksibel. Tidak lagi diidentikan dengan ustadz dan mimbar, melainkan sebagai tugas bersama dengan berbagai disiplin ilmu yang berorientasi  pada kebaikan untuk kemudian berimplikasi pada perubahan sikap dan perilaku yang sesuai ide-ide pokok Islam.

*Pegiat Studi Islam. e-mail: johansyahmude@yahoo.co.id 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.