Darul Arqam, Tinggal Sebuah Nama

Oleh : Luqman Hakim Gayo*

Pagi yang cerah, mentari pagi menembus celah dedaunan pohon yang rindang. Di sebuah perkampungan, ibu-ibu bercadar hitam mendorong kereta bayi dengan bayinya. Ia berjalan santai menikmati cahaya pagi. Sementara itu, sejumlah balita lainnya bergerombol menuju sekolah mereka.

Inilah Sungai Penchala, markas besar Daarul Arqam. Setelah berganti pakaian, saya keluar kamar. Sejumlah pejabat Arqam sudah hadir bersama Ustadz Abbas. Kami duduk bersila menikmati sarapan pagi. Saya tidak tahu kemana akan dibawa hari ini. Yang  jelas, Arqam bukan hanya sebuah organisasi pengajian. Tetapi lebih dari itu. Arqam ingin memperlihatkan kepada dunia, inilah Islam.

Saya tidak tahu persis, berapa jauhnya dari Kuala Lumpur. Tetapi, hanya beberapa meter dari jalan raya. Di gerbang depan sebuah masjid besar di sebelah kiri, kemudian berjejer bangunan bertingkat. Sampai ke sebuah lapangan terbuka, ada halaman sekolah. Ada bangunan sekolah di sebelah kanan, salon kecantikan wanita, kedai, restoran. Ujung kiri ada guest house, rumah panggung dengan lantai dua meter di atas tanah. Disinilah saya menginap.

Sampai hari ini saya belum bertemu dengan Asaari Muhammad, pimpinan puncak Darul Arqam. Beliau juga president director Arqam Company Group. Menurut Abbas, imam mereka itu lebih banyak berdiam di Chiangmai, sebuah kota kecil di Thailand. Konon, kaki tangan pemerintah Malaysia berencana menangkap imam besar Arqam itu.

“Arqam mempelopori pemakaian jilbab. Dalam waktu setahun, lebih dari 50 persen kaum wanita mulai berani memakai jilbab di depan umum. Tadinya tidak berani. Kami yang memulai, ada klinik khusus wanita, ada klinik khusus pria. Kami mulai merancang pembangunan ekonomi, kita harus hidup mandiri.  Perdagangan dengan produk sendiri harus dimulai. Alhamdulillah, sekarang berkembang dengan baik. Aset dan kekayaan kami melimpah, bukan milik pribadi. Semua milik Arqam,” kata Uztadz Abbaas.

Apa yang kini mereka nikmati adalah milik Darul Arqam. Gedung tempat tinggal, sekolah, bangunan usaha, mobil sampai bis besar, semua milik bersama. Anggota Arqam yang bekerja sepenuh masa, tinggal di asrama dan mendapat gaji. Bagi mereka yang bekerja separuh masa, ada ketentuan tersendiri. Anggota yang mau sekolah dan layak, di kirim ke luar negeri. Seperti ke Yordan, Mesir dan Saudi Arabia.

Suatu ketika saya dibawa ke rumah produksi milik Arqam. Sejumlah pemuda dengan pakaian gamis dan sorban yang khas, dalam waktu sekejap sudah berkumpul. Mereka menghormati pimpinan mereka yang membawa tamu. Lalu mulailah mengalun lagu-lagu rohani buatan Arqam. Nasyid berbahasa melayu yang enak di dengar. Nadanya lembut mengayun. Kini sudah beredar ke seluruh dunia. Lebih-lebih Indonesia. Beda dengan musik yang hingar bingar itu.

Mereka juga menerbitkan sejumlah majalah. Masing-masing majalah untuk orang dewasa, remaja pria dan remaja wanita, serta majalah anak-anak. Hampir dalam 12 jenis dengan oplah masing-masing lebih dari 10-000-an.  “Entah apa sebab. Tak ada angin, tak ada hujan. Penerbitan yang meningkat terus itu, dilarang oleh pemerintah”,  kata Ustadz Abbas. Padahal penggemarnya terus bertambah dari hari ke hari.

Setiap hari mereka mengantar saya melihat aktifitas Arqam di semua sektor. Termasuk perusahaan kebun bunga, pompa bensin, toko buku, bengkel dan bermacam aktifitas lainnya. Saya disambut seperti seorang pahlawan, karena sudah membela umat Islam di Bosnia. Akhirnya, saya didaulat untuk mengisi acara bulanan  “Isu Semasa”, di Masjid Arqam Sungai Penchala. Ribuan warga Arqam datang dari semua wilayah, mendengar ceramah saya tentang umat Islam di Bosnia.

Perkebunan Arqam

Perjalanan membawa saya berkeliling Malaysia, terus berlanjut. Setelah menjelajahi Negeri Sembilan, kami berangkat ke Kedah. Satu hal yang menarik disini, ketika saya dibawa ke Kampung Aceh. Pintu gerbang berlambang rencong di kanan-kiri, ada meunasah dan rumah panggung. Sayang, saya tidak bertemu dengan penghuninya, karena asyik berdagang di Kuala Lumpur dan kota besar lainnya di Malaysia.

Kami melepas lelah di sebuah kebun besar, milik Arqam. Sebuah bangunan sederhana yang besar, tempat berkumpulnya pemuda Arqam. Saya melepas lelah setelah berhari-hari duduk dijok sedan, mengitari semua cabang Arqam. Di kebun ini semua jenis tumbuhan boleh kita nikmati. Buah duku, rambutan dan sebagainya. Sementara di pinggir jalan raya, ada kios penjualan buah-buahan, kerajinan dan souvenir. Semua dibuat oleh pemuda-pemuda Arqam.

Kenapa ada yang belum menikah, tetapi ada pula yang sudah beristeri empat?

“Baik pria maupun wanita yang sudah berusia pantas menikah, harus dinikahkan. Dan itu, tanggung jawab pimpinan Arqam. Jadi, kita melihat pemuda yang sudah waktunya menikah, kita tawarkan. Dia bersedia, lalu kita carikan jodohnya, kita nikahkan. Kita siapkan tempat dan usahanya di perusahaan Arqam”, kata  Ustadz Abbas.

Begitu juga dengan wanita yang sudah waktunya menikah. Misalnya ada dua orang wanita yang sudah puya usaha atau penghasilan, dan sudah waktunya menikah. Arqam mencarikan jodoh mereka di kalangan Arqam sendiri. Kalau tidak ada yang bersedia karena merasa belum siap, pimpinan Arqam harus ambil alih. Mereka harus menikahi wanita-wanita itu sejauh tidak bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw, masih diizinkan oleh Islam. Tak mengherankan kalau kemudian para petinggi Arqam beristeri tiga dan empat.

Kami berhenti di sebuah kantor kehakiman. Letaknya agak tengah hutan, jalan raya yang menghubungkan Kedah dan Negeri Sembilan. Rumah panggung itu adalah kantor kehakiman yang dipimpin oleh seorang anggota Arqam. Dia berdiri di depan pintu dengan pakaian seragam Arqamnya, sementara karyawan lain tetap dalam pakaian dinas kantor. “Selamat datang di Darul Arqam”, katanya menjabat tangan saya dengan mesra.

Bukan saja sekedar berkenalan, kami rombongan dua mobil dari Kuala Lumpur dijamu makan. Karyawan lain ikut sibuk menerima kedatangan kami. Puas makan durian dan buah-buahan. Bahkan masih disiapkan untuk perbekalan kami di perjalanan.

Kesempatan lain, kami berhenti di sebuah rumah sakit besar di perjalanan panjang ini. Kebetulan saya menderita sakit gigi. Alhamdulillah, dokter pimpinan RS itu seorang Arqam. Saya didahulukan, sementara pasien lain sudah antri sejak pagi. Dokter itu bersorban dan gamis, mencabut gigi saya. Sehingga tak terganggu lagi dengan sakit gigi. Lalu kami diberi bekal lagi, dan meneruskan perjalanan…

Sudah semua negeri saya kunjungi dalam 10 hari perjalanan. Ustadz Abbas dan kawan-kawan tak pernah lelah sedikitpun. Tidak pernah kekurangan biaya sedikitpun. Bahkan, Arqam di semua wilayah menanggung beban perjalanan ini. Bukan hanya dana, tetapi juga kenderaan dan perhotelan jika diperlukan. Tapi, kami jarang bermalam di hotel. Kebanyakan di jalan dengan pengemudi yang bergantian.

Saya memilih pulang ke Medan dari pada ke Jakarta. Luar biasa. Keinginan saya dipenuhi Ustadz Abbas denga mengantar saya ke Penang. Di Arqam Penang inilah kami berpisah. Saya sedih, semua anggota rombongan bersalaman dengan saya. Mereka kembali ke Sungai Penchala di Kuala Lumpur dan saya menjadi tanggung jawab Arqam Penang.

“Encik Luqman, tiket sudah saya siapkan. Nanti akan dijemput oleh Arqam Medan di Polonia. Tinggallah bersama mereka beberapa hari sebelum ke rumah keluarga encik”, kata pejabat Arqam Penang itu. Keesokan harinya saya berangkat. Sedih juga. Sebab, mereka benar-benar saudara seiman dan seagama, seperti saudara kandung. Semua orang Arqam seperti itu. Betul. Sejumlah pemuda Arqam Medan sudah menunggu saya di Polonia, kemudian membawa saya ke asrama mereka.

Bersama Ustadz Asaari

Jauh sesudah kunjugan ke perkampungan Arqam di semenanjung Malaysia itu, hubungan saya dengan mereka nyaris terputus. Saya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari sebagai wartawan. Sampai suatu hari, Ustadz Amal Arifin dari Arqam Indonesia menemui saya di kantor. “Pak Luqman ditunggu Buya Asaari sekarang di Chiangmai. Kalau pak Luqman bersedia berangkat, semua sudah kami siapkan””, katanya.

Tentu saja saya kaget. Tapi, demi silaturrahim dan hubungan baik dengan Arqam, permintaan itu saya terima. Ustadz Amal memberi uang taksi untuk ke rumah ambil pakaian dan langsung ke airport.  Disana mereka sudah menunggu. Ternyata hanya saya sendiri yang terbang ke Singapura. “Disana sudah ditunggu. Nanti dapat tiket dan uang perjalanan ke Bangkok,” kata Ustadz Amal. Saya berangkat.

Mala petaka. Saya tidak bisa keluar dari bandara di Singapura, gara-gara tiket saya hanya satu kali perjalanan. “Saya diundang oleh Darul Arqam Singapura. Mereka yang menanggung biaya saya,” kata saya menjelaskan. Lalu polisi itu mengangkat telepon. Benar. Dalam waktu sekejap, Arqam Singapura sudah melambai-lambaikan tangan dan mengambil saya dari ‘tahanan’ polisi bandara. Saya salut dengan pekerjaan polisi Singapura. Mau membantu menghubungi pihak pengundang saya, padahal tidak ada hubungan dengan mereka.

Sekedar makan-makan direstoran bandara, kemudian saya meneruskan perjalanan seorang diri ke Bangkok. Sampai di Bangkok sudah maghrib, pesawat ke Chiangmai tidak ada lagi. Uang yang saya terima, saya pakai buat biaya bermalam di penginapan. Paginya saya menyesal juga, karena banyak yang tiduran di bandara tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Ya, sudahlah. Saya meneruskan perjalanan ke Chiangmai, pagi-pagi sekali…

Di luar bandara, sekelompok Arqam dengan mobilnya sudah menunggu. Mereka merangkul saya seperti merangkul pahlawan. “Selamat datang pak Luqman. Buya ingin ketemu. Tadi pagi Buya ke Singapura, dijemput ribuan jemaah kita. Bandara Singapura hitam oleh Arqam. Tiba-tiba, pemerintah melarang Buya keluar. Yah, balik lagi ke Chiangmai,”  cerita mereka. Itulah masalahnya, kenapa saya ditunggu.

Saya langsung diantar ke hotel dimana Buya Ashaari menginap. Lantai lima hotel besar itu diborong oleh Arqam, dengan seluruh kamar-kamarnya. Demi keamanan. Masalahnya, beberapa ‘kakitangan’ kerajaan sudah mengintai mau menangkap Buya Asaari. Bahkan, dalam minggu ini sudah dua kali berpindah hotel di Chiangmai.

“Sudah dua kali pilihan raya ditunda. Pemerintah menunggu saya tertangkap. Kalau saya dah ditangkap, baru dilaksanakan pilihan raya. Mahathir menganggap saya saingan berat”, kata Asaari. Untuk itu diadakan konferensi pers di Chiangmai. Sementara tampaknya aman-aman saja. Setelah kembali saya ke Jakarta, berita media mengejutkan. Pimpinan Arqam tertangkap. Ia mengakui kesalahannya di depan pengadilan. Lho..Pemerintah Malaysia membubarkan Darul Arqaam. Buya Ashari masuk penjara, dan perkumoulan itu kini tinggal sebuah nama….

 * Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.