Catatan Salman Yoga*
Berbicara tentang Aceh adalah hal yang sangat menarik. Bukan saja tentang sejarah, budaya dan perangnya tetapi juga tentang the power of love and forgivenes masyarakatnya faska konflik.
Hal tersebut diungkapkan oleh Imam Prasodjo dalam pertemuan seniman dan budayawan Aceh di Anjungan Monmata Banda Aceh beberapa waktu yang lalu. Lebih lanjut sosiolog UI ini menyatakan terinspirasi dan akan membuat video berdurasi 10 menit menceritakan tentang bencana Tsunami Desember 2004 hingga terjadinya proses perdamaian Aceh.
Bagaimana tidak, proses damai Aceh adalah sesuatu yang menarik dan unik yang pernah terjadi di Indonesia bahkan dunia, dimana saat konflik yang diburu adalah anggota GAM, sementara pasca damai yang “diburu” justru dikawal oleh “pemburu”. Hal ini sangat menarik untuk dijadikan sebagai model sekaligus inspirasi bagi dunia, terutama negara-negara yang tengah dilanda konflik. Ucapnya penuh semangat. Imam Prasodjo mencontohkan negara Fakistan, Burma Palestina dan lain-lain yang masih dilanda konflik. Ia juga berharap film yang akan diproduksinya nanti dapat menjadi inspirasi dan pelajaran bagi perdamaian dunia.
Terlebih, lanjutnya pada bulan September mendatang akan ada pertemuan di Itali yang akan dihadiri oleh ratusan tokoh perdamaian dunia. semua itu berawal dari sebuah diskusi beberapa bulan yang lalu di Amerika, mereka merapatkan tentang apa contoh yang bisa dipelajari oleh dunia tentang rasa cinta dan saling memaafkan. Dunia pernah belajar tentang perdamaian dari India dan Afrika dengan tokoh Mahatma Ghandi dan Nelson Mandella. Mungkin dunia masih harus banyak belajar dari Aceh, tegas Imam.
Semua ini sesuatu yang menarik dan patut diabadadikan, dan harus ada yang mengabadikan. Karena kita terkadang sering lupa tentang sesuatu yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi orang lain, jelasnya puitis.
Terkait kekayaan budaya dan sejarah Aceh sosiolog yang memberi endesor pada buku “Demokrasi Aceh Mengubur Ideologi” terbitan The Gayo Institute (TGI) ini juga menantang para peneliti dan sejarawan Aceh untuk “menjemput” sejumlah buku-buku tentang Aceh yang masih terdapat di beberapa negara Eropa seperti Swiss, Portugis dan Turki. Hal itu saya ketahui ketika dalam sebuah seminar di Hotel Swiss Bell (Hermes Place), kebetulan duduk dengan tokoh dari negara tersebut, bahwa di negara mereka banyak buku-buku tentang Aceh. Pertanyaannya siapa yang mau menelusuri dan membawa warisan buku-buku tersebut ke Aceh. Tantang profesor sosiolog yang sudah beruban itu.[]
*Budayawan, tinggal di Banda Aceh dan Takengon