Sepenggal Catatan Pengalaman Pertama
SELAMAT atas terlantiknya Ir.H.Nasaruddin/Drs.Khairul Asmara sebagai Bupati/Wakil Bupati Aceh Tengah. Jika saat mendengar berita tersebut aku berada di sebuah bus, dan orang yang berada di sebelahku adalah orang yang berasal dari daerah yang berbeda, maka aku akan menyikutnya dan mengatakan “hei, kampungku sudah punya bupati sekarang” seraya tersenyum semanis mungkin.
Namun kenyataannya adalah, aku berada di Gedung Serba Guna Kantor Gubernur Aceh, berada di antara para kuli tinta, saling menyikut demi mendapatkan angle foto yang menarik, yang targetnya menjadi headline news jika ia merupakan wartawan media cetak.
Kumpulan wartawan berada di bagian kiri gedung, menyudut, berdesakan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika sekiranya seluruh wartawan hadir di gedung tersebut, dengan jumlah yang datang saja rasanya sudah padat sekali. Dan pada moment yang berlangsung tidak sampai 2 jam itu, kebanyakan aku bersungut-sungut karena tidak berhasil berada di lini depan. Sibuk mondar-mandir di barisan belakang. Beberapa wartawan tidak dapat masuk ke dalam gedung karena terlambat, karena sebelumnya mengira akan ada demo besar-besaran di luar gedung.
Sekali waktu saat aku merasa tidak ada celah untuk mengambil foto, aku mengamati para kuli tinta itu dari belakang. mereka memiliki tubuh yang lebih besar dan lebih tinggi, ditambah lagi alat yang mereka genggam sebagai pembidik gambar atau video jauh lebih canggih. Aku juga mengamati ulah teman sekolahku yang kini sepertinya menjadi ajudan Bupati Aceh Tengah mengambil beberapa foto dengan smartphonennya, kemudian asyik sendiri, sibuk mengetak-ngetik handphonennya. Ah, pasti lagi pamer, pikiran jelek memenuhi kepalaku.
Untungnya ada sesi wartawan diperbolehkan merekam moment sekitar 2 menit. Tak kulewatkan kesempatan itu. Aku terkejut ketika seorang aparat menarik tasku, tanda sudah melewati batas yang diizinkan untuk mengambil foto, padahal wartawan lain juga banyak yang melewati batas, namun tidak kentara. Kejadian itu membuatku terlihat seperti anak kucing yang dilarang induknya bermain.
Ketika kuprotes temanku dari media lain yang menurutku terlalu grasak-grusuk saat mengambil foto, ia hanya berujar “kalau aku sampai tidak mendapatkan foto Gubernur, aku bisa kena pecat,” sontak aku terdiam mendengarnya. Seketika aku bersyukur tidak dibebani hal demikian. Redakturku hanya meminta “tulis apa yang kamu lihat, akan lebih baik jika tulisan tersebut disertai foto,” karena media kami adalah media online. Pasti sangat tidak nyaman, ketika menulis dalam keadaan terbeban. Aku teringat sebuah quote dari blognya Elsa Syefira yang mengatakan “aku menulis karena rasa yang begitu besar dan suara yang kecil”.
Jika warga Kabupaten Bener Meriah, yang sejatinya adalah tetangga dan pernah menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Tengah telah memiliki Bupati/Wakil Bupati terpilih sejak Bulan Juli lalu, maka Kabupaten Aceh Tengah harus sabar menanti 5 bulan setelahnya. Terlepas dari adanya indikasi kecurangan dari pilkada pada April lalu. Aku pikir jika bupati terpilih kali ini masih melakukan sistem yang sama, akan menjadi boomerang bagi dirinya pribadi.
Tentunya bukan sesuatu yang muluk jika pada sambutannya, Gubernur Aceh, dr.Zaini Abdullah berharap pada periode kedua ini, Nasaruddin dapat lebih memacu pembangunan sehingga Kabupaten Aceh Tengah dapat tampil sebagai salah satu wilayah penopang ekonomi Aceh di wilayah tengah. Karena seingatku, pada saat Bupati Aceh Tengah mengadakan pertemuan dengan seluruh wartawan Gayo pada Mei 2011 lalu, ia mengerti betul akan permasalahan yang terjadi di Aceh Tengah.
Mulai dari persoalan keramba di sekitar Sungai Peusangan, sempadan di Danau Lut Tawar, status kepemilikan lahan di Desa Bebangka-Kecamatan Pegasing, hak dan kewajiban PNS, biaya administrasi yang berbeda antara peraturan dan lapangan di Kantor Imigrasi, MLM sebangsa TVI Express yang meresahkan masyarakat, hingga memperhatikan setiap berita yang terekspose di media, baik cetak-elektronik maupun online. Aku menyesal tidak sempat mempertanyakan tentang Kota Mandiri Ketapang di Kecamatan Linge.
Menurut teori penataan wilayah dan kota yang kubaca, aku menilai Kota Mandiri Ketapang secara kasat mata, hanya menang di gapura dan tugu saja, tidak lebih. Karena pemberian embel-embel “mandiri” setelah kata “kota” berarti masyarakatnya sudah benar-benar mandiri, tidak bergantung lagi dengan kota induknya, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Seperti halnya Kota Baru Parahyangan di Provinsi Jawa Barat, dan Kota Mandiri Ketapang jauh panggang dari api.
Aku tidak menghendaki Ketapang menyaingi Kota Takengon, biarlah ia menjadi kota menurut definisinya sendiri, sesuai dengan kemampuan dan potensinya. Misalnya dengan mengusung nama agropolitan, kota berbasis pertanian. Pertanian disini bukan hanya tanaman belaka, perikanan dan peternakan juga termasuk di dalamnya. Dan Ketapang memenuhi kriteria tersebut, yaitu sebagai kampung peternakan sapi dan kerbau. Yang dibutuhkan sekarang, bagaimana agar yang diproduksi bukan hanya daging saja dan tentu harus melibatkan banyak pihak. Kedepannya hal ini akan menimbulkan multiplayer effect seperti membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat. Aku berharap akan ada perubahan pada periode kedua ini, tidak begitu-begitu saja.
Bagi seorang pemimpin, mengetahui potensi dan permasalahan daerah yang dipimpinnya adalah modal yang paling utama. Potensi untuk mengembangkan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sedangkan permasalahan berguna untuk mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, mendeliniasi wilayah yang rawan bencana alam misalnya, sehingga dapat memberikan peringatan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Berdasarkan penilaian dari Pengawasan Teknis Penyelenggaran Penataan Ruang, Kabupaten Aceh Tengah berada pada peringkat ke enam dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sedangkan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sejatinya merupakan pedoman menata sebuah kabupaten sudah sampai pada tahap pembahasan di DPRK, artinya penetapan Qanun RTRW Kabupaten Aceh Tengah semakin dekat.
RTRW merupakan pegangan Pemda dalam mengembangankan sebuah wilayah, di dalam dokumen tersebut tertera wilayah mana yang boleh atau dilarang mendirikan bangunan. Tertera rencana-rencana pembangunan untuk 20 tahun mendatang.
Memiliki Bupati yang pernah memegang tampuk kepemimpinan pada periode sebelumnya, Wakil Bupati yang notabene adalah mantan Sekretaris Daerah, pelegalisasian RTRW yang berada di ambang pintu, voila, perpaduan yang sempurna. Maka seharusnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat pada periode ini, jika masih sama saja seperti periode sebelumnya, bersiaplah untuk disorot media lebih sering dari sebelumnya.
Dari sebuah media online yang kubaca, ada sebuah perkataan Gubernur DKI Jakarta- Jokowi, yang menarik menurutku, ia menegaskan kepada para camat dan lurah untuk jangan kalah dengan media dan dirinya dalam menemukan permasalahan di daerah. Seperti yang kita ketahui, Jokowi sangat suka “berjalan-jalan” melihat wilayah yang dipimpinnya secara langsung. Berbeda sekali dengan keadaan kita, sudah diberitakan di media bahkan sampai berulang-ulang, hanya dianggap angin lalu saja.
Selesai meliput pelantikan Bupati/Wakil Bupati Aceh Tengah, aku dan yang lainnya berkumpul di sebuah warung kopi. Membagi apa yang kami dapat selama acara berlangsung. Selain aku dan A.Zaiza yang berada di deretan wartawan, turut meliput Zuhra Rumi yang berada di antara tamu undangan dan Supri Ariu yang memantau pergerakan di luar gedung, sehingga kami dapat melihat moment tersebut dari beberapa sudut pandang pada saat yang bersamaan.
Supri menceritakan kebosanannya saat berada di luar gedung, memperhatikan orang-orang yang keluar masuk Kantor Gubernur dari berbagai kalangan berlalu-lalang. Zuhra juga merasakan hal yang sama saat berada di antara para ibu-ibu, karena mereka lebih perduli dengan barang bawaan masing-masing dari pada acaranya. A.Zaiza standby dengan kameranya, tidak terlalu mengindahkan keadaan di sekeliling.
Ini kami pertama kuikuti acara pelantikan seorang bupati, banyak yang kuperhatikan. Mulai dari bagaimana gigihnya para wartawan memperoleh gambar yang ciamik sampai menaiki kursi para tamu, bagaimana keamanan ekstra yang dikerahkan hampir mencapai 1000 polisi, bagaimana pembaca doa menyisipkan beberapa kalimat berbahasa Gayo dalam doanya, hingga bagaimana rona-rona kebahagiaan yang terpancar dari wajah para tamu undangan.
Ada yang tak terekam oleh mataku namun terpapar jelas, yaitu harapan Warga Aceh Tengah. Harapan yang begitu berlimpah ruah dan semoga tidak meruah-ruah, serta begitu besar, tapi begitu sederhana. Semoga di periode kedua ini beberapa diantaranya dapat terealisasi.(Ria Devitariska)