Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
Di tahun 2012 belum lupa dari ingatan kita tentang larangan memakai celana bagi perempaun, sehingga pemerintah Aceh Barat harus menyiapkan ribuan rok. Tidak lama kemudian larangan berjenggot bagi Pegawai Negeri di Aceh Selatan yang akhirnya Bupati harus minta maaf terhadap pernyataannya. Kemudian di awal 2013 ini muncul lagi tentang Style ngangkang dimana perempuan tidak dibenarkan mengenderai sepeda motor dengan cara ngangkang.
Dari tiga kasus yang mencuat kepermukaan tersebut sebenarnya apa yang diinginkan, baik di tiga Kabupaten yang telah disebutkan atau juga di Kabupaten-Kabupaten lain yang tidak menampakkan apa yang menjadi kekhawatiran mereka. Mamang agama tidak menyuruh kaum perempuan harus mamakai rok dan juga tidak melarang perempuan memakai celana, agama juga tidak melarang orang laki-laki untuk memanjangkan jenggot dan juga tidak secara tegas menyuruh laki-laki memanjangkan jenggotnya, karena Tuhan menciptakan tidak semua laki-laki memiliki jenggot.
Demikian juga dengan posisi perempuan ketika mengedarai sepeda motor, tidak ada perintah atau larangan apakah ia harus duduk menyamping atau mengangkang. Karena kalau kita katakan tidak boleh secara tegas tentu kita tidak bisa jawab bagaiman posisi Aisyah r.a., (isteri Rasulullah) ketika harus mengendarai unta pada saat perang jamal (yakni pada saat perang Aisyah mengendarai unta).
Tentu bukan masalah memakai celana, memanjangkan jenggot atau mengangkang ketika mengendarai sepeda motor yang menjadi masalah, tetapi ada hal lain di balik ketiga kasus tersebut, namun hal lain tersebut terlalu sulit untuk ditampakkan kepermukaan, karena berhubungan dengan rusaknya moral dan dangkalnya aqidah.
Kita mengikuti apa alasan pemerintah Aceh Barat melarang perempuan memakai celana, diantara alasannya adalah ketika perempuan mengenakan celana panjang maka ketika itu pula nilai-nilai budaya keacehan yang sarat dengan islam tidak nampak lagi, pergaulan antara laki-laki dan perempuan seolah tidak ada batas antara mereka yang haram menikah dengan yang boleh menikah. Demikian juga ketika pemerintah Aceh Selatan melarang laki-laki terutama yang Pegawai Negeri untuk memanjangkan jenggot, karena dikalangan masyarakat berpahaman bahwa ibadah shalat sunat dan i’tikaf di mesjid itu lebih baik daripada mengerjakan pekerjaan kantor, melayani masyarakat atau aktifitas lain. Sehingga apabila sampai waktu untuk melaksanakan ibadah sunat mereka akan meninggal perkerjaan kantor yang sebenarnya belum waktunya istirahat.
Tidak salah bila kita melihat bagaimana anak-anak muda sejak dari usia sekolah menengah sampai kepada usia setingkat mahasiswa ketika berboncengan laki-laki dan perempuan, membuat kita susah membedakan apakah mereka sudah menikah atau belum, bahkan mereka yang sudah menikah juga tidak serapat meraka yang belum menikah. Sehingga ada seorang teman yang seperofesi dengan saya berkata “muda mudi yang berboncengan yang merapat seolah takut jatuh nasi bungkusnya”, belum lagi kita meliha prilaku yang mereka kerjakan ketika berboncengan tersebut.
Bila kita melihat di Negara jiran kita Malaysia, mereka tidak melarang perempauan kangkang ketika dibonceng di atas sepeda motor. Malah kebanyakan diantara perempuan mereka, kalaupun tidak kita katakan semua mengendari sepeda motor dengan mengangkang, alasan yang mereka gunakan adalah demi kiamanan. Tetapi yang dilarang di negara mereka adalah berboncengan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, kita tidak melihat antara mereka yang bukan muhrim berbocengan.
Bukankah Nabi diutus oleh Allah kedunia ini untuk memperbaiki akhlak manusia, sesuai dengan hadisnya:
“Innama buistu li utammima makarimal akhlak”.
Tentu Nabi tidak diutus lagi kendati akhlak manusia sudah rusak kembali sebagaiman sebelum diutusnya Nabi, tapi Nabi sebelum wafatnya sudah berpesan bahwa ada dua yang ditinggalkan dan kalau kita berpegang dengan keduanya niscaya kita akan selamat di dunia dan di akhirat, keduanya adalah al-Qur’an dan hadis. Karena juga ketika Aisyah r.a., ditanya tentang akhlak Rasul beliau menjawab akhlak Rasul itu adalah al-Qur’an.
Untuk menemukan kembali apa yang hilang dari kehidupan kita tentu kita harus kembali lagi kepada sifat yang tercemin dalam diri nabi, yaitu : shiddiq, amanah, fatanah dan tabligh. Inilah cerminan sifat ikutan (uswah) manusia pada saat akhlak atau moral masyarakat rusak.