Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Tepatnya pada hari Sabtu (27 April) beberapa hari yang lalu ketika MAN Simpang Tiga Redelong mengadakan perpisahan sambil berwisata (bejejelen) ke Banda Aceh, kepala sekolah dan para guru mendampingi para siswa yang berjumlah lebih kurang 20 orang. Mereka meminta saya untuk memberi motivasi kepada para siswa agar mereka tertarik untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, karena siswa yang datang rata-rata kelas tiga.
Apa yang saya sampaikan pada saat itu (di Lampuuk-Aceh Besar), terasa masih relevan untuk ditulis dan dijadikan bahan bacaan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional khususnya untuk generasi muda Gayo dan umumnya untuk para pembaca.
Saya memberi tahu kepada para siswa tentang apa yang sedang dihadapi masyarakat Gayo sekarang ini, dimana hasil kopi yang berlimpah namun tidak ada harga, biasa harga kopi Rp. 10.000,-/bambu gelondong kini hanya Rp. 4000,- sampai Rp. 4.500,-, mungkin karena itulah sehingga semua orang Gayo yang bertani tidak pernah bercita-cita agar anak mereka menjadi petani, kendati sebenarnya apa yang dihasilkan dari usaha mereka tidaklah terlalu berkekurangan dan juga tidak berlebihan tetapi pas-pasan. Diantara murahnya harga disebabkan karena masyarakat petani tidak lagi menjadi petani yang profesional, artinya mereka hanya menjual hasil pertanian dan tidak mau berusaha mengolahnya terlebih dahulu. Sedangkan menurut teori secara umum menyebutkan bahwa barang mempunyai nilai apabila masuk nilai kerja kedalam barang tersebut. Ketika mereka menjual kopi secara gelondongan berarti mereka hanya menjual hasil kopi dengan ongkos memetik kopi, ketika mereka menjual kopi setelah mereka giling dan jemur berarti mereka telah menjual kopi ditambah dengan usaha mereka memetik, menggiling, dan menjemur. Tentu saja harganya lebih mahal dibanding ketika mereka menjual secara gelondongan, namun ini tidak lagi dilakukan oleh petani.
Inilah juga yang dapat dijadikan alasan, dimana-mana petani tidak pernah menentukan harga dari apa yang diusahakan, yang selalu menentukan harga adalah pembeli (mulai dari toke sampai kepada pedagang, eksportir dan konsumen). Sehingga petani selalu menjadi pihak yang dirugikan dan yang diuntungkan adalah pedagang.
Karena itu saya tekankan kepada para siswa yang berhadir pada saat itu, upaya perpindahan profesi dari bertani menjadi pedagang diperlukan, paling kurang perpindahan itu menentukan siapa yang menentukan harga dari barang yang kita miliki.
Dalam kajian historis pada zaman dahulu masyarakat memiliki harta (barang) dari usaha mereka sebagai petani atau berburu, kemudian barang yang mereka miliki diupayakan untuk ditukar dengan barang yang lain sesuai dengan barang yang dibutuhkan, orang sering menyebut istilah ini dengan barter. Selanjutnya masyarakat yang hidup dalam dunia agraris tetap berusaha dilahan mereka untuk menghasilkan barang, namun berbeda dengan sebelumnya yaitu mereka tidak lagi menukar barang yang dimiliki dengan barang lain, tetapi mereka sudah menukar barang mereka dengan uang. Semakin banyak uang yang mereka miliki maka kehidupan mereka dianggap lebih senang dari pada mereka yang memiliki harta yang banyak.
Di balik kehidupan orang yang menukar barang dengan barang dan menukar barang dengan uang, ada orang yang hidup dengan cara menukar uang dengan barang dan selanjutnya menukar barang dengan uang yang lebih banyak, mereka inilah yang disebut dengan pedagang. Pada saat ini mereka tidak lagi mengandalkan kemampuan otot dalam mendapatkan barang, tetapi mereka telah menggunakan akal kecerdasan mereka sehingga harga sudah ditentukan oleh mereka, dan mereka tidak mau rugi. Tidak ada ungkapan pada mereka “asal barang terjual”, berbeda dengan petani dimana mereka selalu berpikir apakah barang yang dihasilkan ada yang beli dan dengan harga yang tidak pasti.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kita lihat banyak orang sekarang tidak lagi memiliki harta atau barang yang banyak, akan tetapi mereka hanya memiliki uang. Mereka menggunakan uang yang mereka punya sesuai kebutuhan, dalam kehidupan sosial masyarakat seperti ini dianggap mempunyai kehidupan lebih layak dibanding para petani dan pedagang sebagaimana disebutkan. Dan dari segi strata keilmuan mereka golongan ketiga ini dikelompokkan kepada orang-orang yang mempunyai ilmu lebih banyak, karena mereka mampu menjual nilai dari kerja atau profesi mereka.
Empat tahapan dapat disebutkan secara rinci dan jelas : Pertama, menukar barang dengan barang menurut kebutuhan, Kedua menukar barang dengan uang untuk kemudahan hidup, Ketiga menukar uang dengan barang untuk selanjutnya menukar barang yang dibeli dengan uang yang lebih banyak dan Keempat, tidak lagi memiliki barang tetapi memiliki uang untuk ditukar dengan barang sesuai dengan kebutuhan.
Tahapan perubahan ini merupakan tahapan sejarah perkembangan manusia dalam meniti kehidupan, hanya saja cepat atau lambatnya perubahan ini sangat ditentukan oleh kemajuan pendidikan suatu daerah atau bangsa.
Itulah beberapa hal yang saya sampaikan kepada para siswa yang hadir pada saat itu, dengan penekanan perubahan itu merupakan keharusan, dan kalaupun kita tidak mau berubah yakinlah perubahan itu akan datang kepada lingkungan dan orang sekitar kita.
[*] Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry