M Din Pengrajin Tenganing dari Weh Lah

JIKA Etnis Sunda memiliki Angklung sebagai alat musik tradisional, maka Etnis Gayo memiliki Teganing. Menemukan pengrajin Teganing di Kota Takengon saat ini tergolong sulit, ditambah lagi permintaan akan alat musik ini sangat minim, sehingga rasa ketertarikan para Pemuda Gayo untuk mempelajari atau membuatnya sangat rendah bahkan hampir tidak ada.

Teganing adalah alat musik pukul tradisional Gayo yang terbuat dari seruas bambu berukuran besar dengan lubang yang memanjang di tengahnya, di bagian depan terdapat 3 buah senar yang berbeda-beda bunyi setiap senarnya. Memainkan Teganing menggunakan pegeul (stick) yang juga terbuat dari bambu dan dipukulkan ke senar-senar teganing tersebut.

M. Din Aw.(Lintas Gayo | Ria-Devitariska)
M. Din Aw.(Lintas Gayo | Ria-Devitariska)

Adalah M. Din Aw, salah seorang pengrajin Teganing dari Kampung Weh Lah, Kecamatan Pegasing. Menemukan rumahnya tidaklah sulit, sekitar 300 m dari Simpang Kampung weh Lah. Rumahnya berada di antara hamparan sawah, khas suasana pedesaan yang mulai sulit ditemukan di Kota Takengon. Saat mendekati rumahnya, kita akan disapa oleh nyiur lambaian gerakan padi-padi yang hampir menguning dibelai angin, kompak. Menambah keasrian suasana, kendati terik menerpa kulit.

Seperti para pembuat Teganing kebanyakan, Din Aw mengaku belajar secara otodidak. Selain membuat Teganing, ia juga sering membuat tempahan tempat tidur, lemari, seruling, loudspeaker bahkan rumah kayu milik tetangga. Kesemuanya ia lakukan seorang diri, dengan alat seadanya seperti parang, pisau, martil, dan gergaji. Untuk membuat tempahan-tempahan tersebut, Din Aw tidak pernah menetapkan tarif sama sekali, ia selalu ikhlas menerima berapapun bayaran yang diterimanya. “Hanya saja saya kesulitan mencari bambu, sehingga bagi yang ingin menempah Teganing harus membawa bambunya sendiri,” tutur pria berumur 50an ini.

Seni, bukanlah hal yang baru bagi Din Aw. Sejak kecil ia telah berkecimpung di dunia seni, ayahnya yang pertama kali mengenalkan padanya. Kemudian ia mengikuti grup didong di kampungnya. Namun saat ini karena pikirannya yang mulai bercabang, antara memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan lainnya perlahan ia mulai meninggalkan dunia seni yang selama ini ia geluti.

Ia mengaku sedih melihat perkembangan seni di Gayo saat ini, bahkan tetangganya sendiri masih banyak yang tidak mengetahui apa itu Teganing. “Saat ini saya sudah tidak bermain didong lagi, lebih fokus pada kegiatan berkebun dan bersawah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Padal dulu, saya yang duluan punya gitar di kampung ini,” ujar pengkoleksi Album Rhoma Irama ini sambil tersenyum.

“Sesekali jika ada permintaan membuat Teganing, Seruling atau yang lainnya saya penuhi jika saya mampu,” kata Bapak empat orang anak ini. Kemampuannya dalam mengolah tempahan kayu dan bambu patut diancungi jempol, namun ia masih kurang percaya diri dalam mengekspresikan karyanya, karena tidak ingin mengecewakan para penempah.(Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.