Oleh : Win Wan Nur
Pada tahun 2000, seorang teman asal Amerika Serikat yang memiliki warung kopi di Bangkok meminta saya untuk mengirimkan 250 gram Kopi Gayo sebagai sampel untuk diperkenalkan kepada pelanggannya. Saya langsung memenuhi permintaan tersebut, dan dalam waktu kurang dari seminggu, barang itupun sampai ke Bangkok.
Tapi meskipun kiriman tersebut sudah sampai, teman ini tidak dapat mengambilnya dari kantor pos. Alasannya, pemerintah Thailand tidak mengizinkan masuknya biji kopi impor ke Thailand karena, Thailand sendiri punya komoditas kopi. Jadi kalau memang mau membuka warung Kopi di Thailand, teman saya ini diharuskan menggunakan biji kopi dari Thailand sendiri. Alhasil, Kopi yang saya kirimkan dengan biaya sangat mahal itu, gagal sampai ke tujuan.
Teman saya pemilik warung kopi ini juga mangkel bukan kepalang, karena alasannya memesan biji kopi dari saya adalah karena dia tidak puas dengan kualitas biji kopi Thailand dari varietas Catimor yang pertumbuhannya bergantung pada pupuk kimia. Sementara dia ingin menyajikan sensasi rasa kopi yang berbeda pada pelanggannya, kopi organik dari Gayo yang kaya rasa.
Cuma apa boleh dikata, sudah begitulah aturan yang dibuat di Thailand. Suka silahkan tinggal, tidak suka silahkan buat warung kopi di luar sana, jangan di negara saya. Kasarnya begitulah kira-kira jawaban dari pejabat di Thailand yang tidak mengizinkannya mengambil sampel Kopi yang saya kirim.
Beberapa hari yang lalu, saya minum Kopi di Black Canyon, jaringan Franchise Warung Kopi asal Thailand yang sekarang sangat ekspansif mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia.
Sebagai perusahaan multi nasional, Black Canyon bisa dikatakan terbilang baru. Perusahaan ini didirikan oleh Dr. Tanong Bidaya dan Pravit Chitnarapong pada tahun 1993 di Bangkok.
Di Indonesia, Black Canyon Coffee memulai jaringan bisnisnya di Bali hampir bertepatan dengan dibukanya Mall baru Discovery Shopping Mall di pantai kuta, sekitar tahun 2005, hampir berdekatan dengan kelahiran anak pertama saya. Mereka mengambil tempat di Ruko A32 – A33.
Ternyata Black Canyon masuk ke Indonesia pada saat yang tepat. Mereka masuk berbarengan dengan pertumbuah ekonomi Indonesia yang sedang melesat. Pertumbuhan ekonomi ini melahirkan banyaknya kelompok kelas menengah dengan gaya hidup yang khas, yang salah satunya adalah minum kopi.
Tak heran kalau kemudian, Black Canyon sangat berhasil dengan outletnya di Discovery Mall dan segera mengembangkan sayapnya ke tempat lain di Bali dan kemudian melebar ke berbagai kota di Indonesia.
Sekarang, 8 tahun sejak Outlet pertama mereka dibuka di Discovery Mall. Sekarang Black Canyon Coffee sudah hadir di 15 Kota di Indonesia dengan jumlah outlet sebanyak 31 buah.
Kalau dibandingkan dengan KFC dan Mc Donald, jelas jumlah outlet Black Canyon belum ada apa-apanya. Tapi apa yang menarik dari jaringan Black Canyon ini adalah kebijakan mereka. Bahwa mereka hanya mengggunakan biji kopi dari Thailand untuk setiap produk yang mereka pasarkan di outlet mereka
lihat http://www.blackcanyoncoffee.co.id/index.php. Bahkan bukan hanya kopi, beras dan bumbu-bumbu untuk restoran mereka pun secara khusus didatangkan dari Thailand.
Kenyataan ini, langsung mengingatkan saya pada kejadian tahun 2000, ketika kopi saya ditolak masuk ke Thailand karena kebijakan pemerintah Thailand untuk melindungi komoditas nasional mereka. Meskipun jelas-jelas kualitasnya jauh di bawah produk kita.
Kebijakan ini berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah kita, yang membiarkan produk Thailand yang sama dengan produk kita masuk ke sini dengan bebasnya.
Di ujung Sumatera sana, dua kabupaten di Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah penghasil kopi arabica terbesar di Asia. Lebih dari 50% warganya menggangtungkan hidup dari bertani kopi. Tapi mereka sepenuhnya menggantungkan pemasaran produk mereka pada ekspor. 99,99% produksi Kopi Gayo diekspor dalam bentuk komoditas mentah.
Masalahnya dengan ketergantungan pada ekspor ini adalah, harga kopi jadi sangat fluktuatif karena harga jualanya mengikuti harga pasar dunia. Ketika kopi melimpah di pasaran karena Brazil sedang panen besar, harga pun terjun bebas. Sekarang satu kilo kopi basah harganya hampir sama dengan sekilo beras. Ini adalah bencana. Petani di Gayo pun cuma bisa menangis meratapi nasibnya.
Situasi seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi kalau produksi Kopi Gayo bisa terserap di pasar lokal sebagai produk, bukan lagi komoditas. Karena sebagai produk tentu saja harganya lebih stabil dan hampir tak bisa turun. Tapi meskipun Indonesia memiliki konsumsi Kopi yang tinggi, selama ini konsumsi kopi Indonesia adalah kopi Robusta. Bukan Arabica bermutu tinggi sebagaimana yang diproduksi di Gayo. Baru belakangan ini saja dengan membaiknya ekonomi trend minum kopi berkualitas mulai mewabah.
Sayangnya, ketika peluang ini ada. Ketika petani Kopi Gayo sebenarnya sudah mendapatkan titik terang dalam keluar dari situasi kesulitan klasik yang mereka hadapi turun-temurun. Ketika pasar lokal terbuka, pemerintah ternyata tidak berpihak pada rakyatnya. Pemerintah malah lebih memilih mensejahterakan petani Kopi Thailand daripada petani kopi Gayo secara khusus dan Indonesia secara umum.
Kita dapat memaklumi kalau kebijakan itu dibuat ketika produksi kopi kita sudah tidak mampu lagi memenuhi pasar lokal, sebagaimana yang terjadi pada daging sapi atau beras. Atau kualitas kopi kita kalah jauh dengan kualitas Kopi Thailand sehingga tidak mampu memenuhi selera pasar. Tapi ini yang terjadi kan tidak. Kopi organik berkualitas tinggi milik kita diekspor ke luar dengan harga murah, lalu kita mengimpor kopi berkualitas buruk dari Thailand dan dijual di sini dengan harga mahal.
Kalau saja pemerintah Indonesia, tidak usah membuat larangan impor. Tapi buat saja regulasi bahwa hanya Kopi Organik yang boleh masuk ke Indonesia, selamat sudah petani Kopi Gayo. Sebab kalau 10% saja Kopi Gayo bisa terserap oleh pasar lokal. Posisi tawar petani kopi Gayo terhadap importir langsung akan naik tajam.
Seharusnya ini menjadi pokok perhatian pemerintah dan anggota Dewan yang mewakili Gayo di Senayan sana, seharusnya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi seperti itu.
Tapi kenyataannya tak ada yang peduli pada Gayo, karena wakil Gayo di DPR memang sama sekali tak paham masalah Gayo dan sisanya, malah rata-rata tidak tahu kalau Gayo itu eksis.
*Penikmat Kopi Gayo, tinggal di Bali
Moga yg neliti juga unik..biar seru kita baca hasil penelitiannya..
Orang gunung itu unik unik gan.. Gw lagi neliti tingkah laku orang gunung neh
Unik dilihat dari kacamata siapa?
Jangan hanya menyalahkan Pemerintah, nanti klau dibuat regulasinya. siapa yang mau minum kopi Arabika Gayo. sedangkan ranyanya sendiri (masyarakat gayo) 90% tidak minum kopi Arabika Gayo. Tapi Robusta..
Toh selama ini juga Kopi Gayo diekspor kan, kalau dibuat regulasi siapa yang mau minum kopi Gayo?….ya peminum kopi arabica yang sudah mulai muncul sekarang ini. Sisanya ya diekspor seperti biasa.
Kalau kata Sujiwo Tedjo…IQ?
Itu dulu bro, zaman Belande. Lupa ya. Sekarang orang gayo sdh pintar2. sudah tau mana yang enak dan mana yang tidak. Tipe kolonial ente masa dibawa sampai sekarang. Coba rasakan sendiri barang tu. Baru ngomong