Aceh Menginjak Gayo atau Gayo Minta Diinjak?

Oleh: Win  Wan Nur*
Billboard yang menyedihkan
putri wisata kerawang gayo
Spanduk Pemilihan Putri Pariwisata (Sumber Facebook)

Sekedar mengingatkan, mari kita baca baik-baik Link berita ini, di dalam karya jurnalistik ini, kita bisa membaca dengan jelas dan terang benderang bahwa Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf yang oleh orang-orang dekatnya dipanggil Mualem mengatakan “ORANG ACEH ITU TAK MEMILIKI MARGA DI BELAKANG NAMANYA” (sementara sebagian orang Gayo, Alas dan Keluwat memiliki marga dibelakang namanya) http://beta.atjehpost.com/meukat_read/2013/04/22/48912/163/5/Mualem-bilang-soal-ALA-ABAS-jangan-mimpi-di-siang-bolong

Lebih jauh ke belakang, kita masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Abdullah Saleh, S.H, seorang wakil rakyat dari partai berkuasa yang didukung oleh hampir seluruh penduduk Aceh yang berjumlah hampir 5 Juta orang mengatakan “Mengaku orang Aceh, tapi tak bisa berbahasa Aceh. Orang tidak jelas”. Ketika sang anggota dewan dari partai berkuasa ini menghadapi sekumpulan pendemo dari suku-suku di provinsi ini yang bahasa aslinya bukan bahasa Aceh.

Kemudian masih segar pula dalam ingatan kita bagaimana tim perumus Undang-undang Wali Nanggroe membuat satu point penting dari syarat menjadi Wali Nanggroe adalah FASIH BERBAHASA ACEH.

Orang di luar provinsi ini tidak banyak yang tahu kalau Aceh adalah nama suku yang dijadikan nama provinsi di Ujung Utara pulau Sumatera ini. Meskipun penduduk asli yang mendiami provinsi ini bukan hanya suku Aceh sendiri. Tapi setidaknya ada 9 suku lain, yang juga merupakan penduduk asli daerah ini. Bahkan menurut banyak penelitian antropologi dan arkeologi, beberapa suku asli ini malah sudah lebih dahulu menghuni daerah ini dibanding suku Aceh. Tapi karena jumlahnhya sangat sedikit, suku-suku Non Aceh ini hanya berstatus pelengkap penderita.

Sebagai gambaran komposisinya, Gayo suku nomer dua terbesar dari segi jumlah penduduk. Jumlahnya hanya sekitar 10% penduduk provinsi ini. Suku lain seperti Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Keluwat, Devayan, Sigulai dan lain-lain. Jumlahnya jauh lebih kecil lagi.

Ucapan dan tindakan para petinggi provinsi ini sebagaimana yang ditampilkan di atas adalah gambaran nyata, betapa tidak pentingnya posisi suku-suku Non Aceh di daerah ini.

Mungkin ada yang berkata “Tapi ucapan seperti itu kan rasis, tidak seharusnya seorang pejabat publik mengucapkan kalimat seperti itu”, “apa tidak ada orang Aceh yang mengerti tentang penghormatan pada hak asasi manusia dan menghargai perbedaan?”

Ho ho…jangan salah, sebagai efek dari masa konflik dengan Jakarta dan kemudian tsunami. Banyak intelektual suku Aceh yang mendalami studi tentang kemanusiaan di negara-negara maju di luar negeri.  Studi ini membuat mereka sangat fasih bicara tentang penghormatan pada Hak Asasi Manusia, Pluralisme, kesetaraan dan berbagai isu humaniora lainnya.  Kapasitas mereka yang mumpuni di bidang ini, membuat mereka sering diundang menjadi pembicara tentang tema-tema ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebab mereka memang fasih sekali kalau bicara mengenai hal ini. Apalagi kalau yang menjadi korban dari pelanggaran itu adalah suku mereka sendiri. Bahkan Ketua KOMNAS HAM di Negeri ini pun pernah dijabat oleh orang Aceh.

Tapi,ketika itu berkaitan dengan suku mereka sendiri cara orang Aceh dalam memahami apa yang dimaksud dengan rasis dan tidak menghargai perbedaan agak sedikit unik.

Bagi mayoritas orang Aceh, Ucapan seseorang disebut Rasis hanya ketika suku mereka yang menjadi korban pelecehan. Tapi ketika suku mereka yang melakukan pelecehan, maka orang yang mempermasalahkan pelecehan yang mereka lakukan itulah yang disebut RASIS.

Dengan pemahaman seperti itu, tidaklah mengherankan kalau sampai hari ini sang Wakil Gubernur tak pernah mencabut kata-katanya bahkan meminta maaf pun tidak. Dan sang anggota Dewan sampai hari ini masih bisa jumawa berkoar-koar. Sebab Orang Aceh mayoritas yang memilih mereka,menganggap ucapan rasis seperti yang mereka keluarkan itu sebagai hal yang wajar. Tak pernah ada kelompok mahasiswa, kelompok masyarakat atau organisasi suku Aceh yang melakukan demonstrasi untuki juga tak pernah menuntutnya meminta maaf dan mencabut kata-katanya.

Sebagai seorang manusia yang kebetulan (tanpa bisa saya pilih) terlahir sebagai suku Gayo. Saya merasa sikap rasis yang ditampilkan secara telanjang oleh Aceh ini adalah sebuah pelecehan terbuka yang menginjak-injak harkat martabat saya sebagai manusia. Tak ada bedanya, kalau tidak bisa dikatakan lebih parah daripada yang dilakukan oleh Belanda selama mereka menjajah Nusantara.

Saya sempat heran, kenapa Aceh begitu berani dan tanpa ragu sedikitpun untuk terus menerus melakukan pelecehan dan penghinaan yang menginjak-injak harkat dan martabat Gayo seperti ini?.

Kejadian berikut ini akhirnya bisa menjawab pertanyaan saya.

Seorang perempuan “BERMARGA PANDIANGAN” yang jelas menurut definisi sang Wagub bukanlah orang Aceh, mengikuti sebuah ajang PEMILIHAN DAGING TERINDAH yang menggunakan eufimisme “Putri Pariwisata”, mewakili Gayo. Ternyata perempuan ini mendapat pengakuan sebagai pemilik daging terindah di tingkat provinsi dan mewakili Aceh untuk Ajang adu indah daging tingkat nasional.

Sampai di sini tidak ada masalah. Keinginan pribadi untuk diakui sebagai pemilik Daging Terindah adalah hak asasi.

Yang menjadi masalah, kemudian untuk mencari simpati demi mendapat pengakuan ini, si perempuan bermarga Pandiangan ini memasang billboard berisi fotonya dengan menggunakan simbol-simbol Gayo menggunakan bahasa Aceh untuk menarik simpati dari anggota suku yang selama ini terang-terangan melecehkan dan menginjak harkat dan martabat Gayo ini.

Kalau perempuan berdaging indah ini memang dasarnya tak punya harga diri dan merasa tidak bermasalah menjilat suku Aceh yang pemimpinnya terang-terangan tidak mengakui dirinya yang bermarga sebagai orang Aceh, dalam kapasitasnya sebagai pribadi ya silahkan saja. (secara pribadi sayapun fasih berbahasa Aceh).

Ini kok cuma karena ingin diakui sebagai pemilik Daging Terindah, kemudian orang satu suku digadaikan harga dirinya.

Ketika ini saya sampaikan kepadanya. Dengan lugas pemilik daging indah ini mengatakan.

win wAn : ya sudalahlah.. kalau gayo tidak mau dipromosikan tp jiwa saya memanggil, ini yg terbaik.. dan ini ajang provinsi bung, bukan ajang suku.. anda tidak pernah tau apa yg telah terjadi slama ini. mohon pelajari kembali ya.. berbicara tanpan memahami itu adalah nol besar.

Lah kalau ini bukan ajang suku, kenapa bawa simbol-simbol suku Gayo dan Aceh?

Saya berpikir, dengan memakai busana dan simbol-simbol Gayo, seharusnya perempuan berdaging indah ini memahami karakter dari suku Gayo, pemilik simbol yang dia representasikan. Seharusnya dia paham, bagaimana orang Gayo memposisikan yang namanya harga diri dan kehormatan. Mengemis dan menggadaikan harga diri, demi sebuah kemasyhuran sepengetahuan saya bukanlah ciri Gayo. Saya terus terang tidak paham, bagaimana cara dia menarik kesimpulan sehingga bisa menyimpulkan bahwa menggadaikan harga diri dan kehormatan dengan mengemis simpati pada suku yang telah melecehkan Gayo adalah sebuah panggilan jiwa.

Ketika si pemilik daging indah ini mengatasnamakan Gayo, saya pikir seharusnya dia memahami ketersinggungan orang Gayo lain yang MEMILIKI MARGA DI BELAKANG NAMANYA yang masih sakit hati pada PELECEHAN RASIAL yang dilakukan Wagub Aceh. Sebab, Gayo memang bukan milik bapak moyangnya sendiri.

Tapi pertanyaannya, kenapa si perempuan yang mengikuti Lomba adu indah daging ini berani menggunakan simbol-simbol Gayo untuk menjilat Aceh?…bahkan seorang pendukungnya bisa menyarankannya untuk menjadi KODOK TULI, jangan mempedulikan semua suara keberatan dari Orang Gayo atas apa yang dia lakukan?

Jawabannya karena dia dan keluarganya tahu persis, bahwa tidak akan ada sanksi sosial apapun dari masyarakat Gayo atas apa dia lakukan.

Artinya apa?….Aceh bisa bebas menginjak harkat dan martabat Gayo, karena memang Gayo sendirilah yang memintanya!. Wassalam

*Urang Gayo Berdomisili Di Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. yang namanya event bersifat nasional ya sudah seharusnya lah membawa nama pripinsi, namun ada seikit kekeliruan dalam hal promosi dukungan dalam bentuk spanduk yang dibuat dimana seharusnya si gadis yang akan mengikuti kontes ini membuat spanduk dukungan di dataran tinggi gayo di buatkan dalam bahasa gayo sehingga nilai2 suku gayonya tidak hilang dan di daerah pesisir aceh di buatkan dalam bahasa aceh sehingga semua tidak ada dirugikan dan semua suku mendapatkan apresisi untuk di bawa ke ajang bertingkat nasional. alangkah indahnya bila kita semua kalangan masyarakat bisa menjalin komunikasi yang baik. jangan sampai di katakan kalau kita orang di provinsi aceh MENGATUR TIDAK BISA DI ATUR JUGA TIDAK BISA. peace for aceh tercinta