Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Beberapa hari yang lalu, para pelajar dari daerah ini sudah menghadapi Ujian Nasional (UN). Mereka tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Diharapkan, hasil UN Gayo Lues tahun ini bisa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Walaupun, secara umum (di Indonesia), masih ditengarai adanya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN. Katakanlah, adanya kebocoran soal dan diberikannya kunci jawaban saat ujian berlangsung. Penulis tidak tahu persis, apakah hal yang sama terjadi juga di Belang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues?
Biasanya, persentase kelulusan UN dari tanoh Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) cukup tinggi. Dengan kata lain, lulus dengan hasil memuaskan dan membanggakan. Sebagian dari pelajar SMA (sederajat) tersebut, pastinya ada yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (PT). Harusnya, kelulusan UN yang tinggi, diikuti pula dengan kelulusan SMNPTN yang tinggi. Akan tetapi, fakta di lapangan berkata lain. Pencapaian kelulusan tersebut berbanding terbalik dengan hasil Seleksi Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SMNPTN). Dari sekian banyak pelajar dari daerah ini [umumnya tanoh Gayo], yang lulus SMNPTN masih bisa dihitung dengan jari, kecuali melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP—sebelumnya namanya PMDK [Pemanduan Minat dan Bakat]). Itu pun masih sebelah tangan.
Bertalian dengan mahasiswa PMP di atas, dalam proses seleksinya pun kerap diwarnai dengan ketidak-selektifan, dimana kualitas dan kemampuan harusnya dinomorsatukan. Namun, malah sebaliknya. Biasanya, siswa yang dikirim adalah anak guru, kepala sekolah, pejabat di lingkungan dinas pendidikan dan Pemkab, serta anggota DPRK. Dengan pengertian lain, meski tidak keseluruhan, biasanya kedekatan dan “faktor X” lainnnya jadi faktor penentu. Karena tidak mampu bersaing dan berkualitas rendah saat kuliah, akhirnya berakibat pindah jurusan atau drop out (DO). Alhasil, walau dirasa berat, pihak sekolah harus mendapat hukuman berupa pengurangan jumlah mahasiswa yang dikirim tahun berikutnya. Atau, tidak mendapat undangan PMP lagi untuk beberapa tahun.
Kelulusan SMNPTN untuk tahun lalu misalnya, penulis mendapatkan informasi bahwa yang lulus ke Universitas Syiahkuala asal Gayo melalui jalur ini hanya 3-4 orang. Bisa dibayangkan, betapa rendahnya kualitas lulusan dan pendidikan Gayo. Di lain pihak, itulah gambaran potret buram dunia pendidikan di Gayo. Padahal, dari sisi peringkat, Unsyiah—yang jadi PT kebanggaan masyarakat Aceh—berperingkat di atas 57 berdasar Webometrics dari seluruh PT yang ada di Indonesia. Bahkan, Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang menjadi target yang memungkinkan bagi mahasiswa Gayo saja berada di peringkat 51. Terkait pemeringkatan ini, lebih lanjut, lihat http://alformer259.wordpress.com/2010/04/16/daftar-peringkat-universitas-di-indonesia/
Di perguruan tinggi lainnya—masih di pulau Sumatera—tahun 2002 di Universitas Sumatera Utara (USU), dari Gayo (Takengon dan Bener Meriah) hanya ada 5 orang yang masuk melalui jalur ini. Pada saat itu, namanya masih Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dalam sejarah kelulusan mahasiswa Gayo, kemungkinan besar, di tahun 2002 inilah yang paling banyak berhasil masuk ke USU. Selain jalur SPMB—ada 5 orang—melalui jalur PMP masuk lebih dari 35 orang, tambah ekstensi [dari D-3 ke S-1] ada 3 orang. Secara keseluruhan, ada 40-an mahasiswa asal tanoh Gayo (ditambah dari Aceh Tenggara dan Gayo Lues) di USU . Selanjutnya, SPMB (sekarang SMNPTN) tahun 2003 ada 3 orang, 2004: 2 orang, 2005: 1 orang, 2006: tidak ada sama sekali (0), dan 2007: hanya 1 orang. USU sendiri (saat itu) berperingkat 6-7 Indonesia. Sebagai tambahan, di luar pulau Jawa, USU masih merupakan perguruan tinggi terbaik.
Dari beberapa mahasiswa yang lulus melalui jalur SPBM (SMNPTN) ke USU yang sempat penulis wawancarai (2002-2007), dapat disimpulkan bahwa kelemahan mahasiswa dari tanoh Gayo: pertama, terkait mentalitas yang lebih berorientasi lulus UN. Selain itu, persaingan yang diarahkan bersifat lokal dan bertarget rendah, yaitu antarsekolah di tingkat kabupaten [bukan lulus SPBM (SMNPTN)]. Kedua, rendahnya penguasaan soal. Ketiga, penyelesaian jawaban yang panjang dan makan waktu. Bukan sebaliknya, cepat, praktis, dan taktis.
Keempat, kurangnya strategi, khususnya dalam pemilihan PT dan penetapan jurusan. Pada umumnya, mahasiswa dari Gayo memilih PT dan jurusan yang ber-grade tinggi. Sayangnya, keputusan tersebut tidak didukung dengan kemampuan dan persiapan yang lebih baik. Salah satu penyebabnya adalah kurang berjalannya counseling di sekolah. Akibatnya, siswa yang ada, bahkan yang sudah kuliah pun ada yang pindah jurusan dan drop out (DO). Dalam memilih PT dan jurusan, salah satu ciri pelajar/mahasiswa Gayo yang mencuat ke permukaan adalah adanya sifat unung-unung (ikut-ikutan). Sebagai contoh, bila salah satu temannya (kebanyakan) ke guru, maka yang lain pun akan mengikuti pilihan yang sama. Kemudian, bila ada yang ke AKBID, maka yang lain pun ke AKBID (walaupun tidak semua), dan lain-lain.
Kalau untuk Unsyiah (berakreditasi C: Serambi Indonesia, 27/01/2010) dan Universitas Sumatera Utara (USU) yang kelulusan melalui jalur SMNPTN masih bisa dihitung dengan jari, lantas; berapa banyak siswa dari Gayo yang masuk PT 10 besar Indonesia, khususnya di pulau Jawa? Sudah barang tentu, lebih kecil lagi. Bahkan, kemungkinan besar “tidak ada.” Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan yang terencana, terukur, dan berkesinambungan dari semua pihak: pemerintah kabupaten/dinas pendidikan, sekolah/guru, orang tua, dan siswa yang bersangkutan. Di sisi lain, perlu perhatian khusus dan reward dari pemerintah kabupaten bagi siswa yang berhasil menembus PTN. Misalnya, berupa beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan lain-lain. Termasuk, dalam penjurusan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan jangka panjang daerah. Dengan demikian, siswa yang (berencana) kuliah akan lebih termotivasi. Pada akhirnya, siswa yang masuk PTN pun akan lebih banyak lagi pada masa-masa mendatang.
*Pemerhati Pendidikan/Pengurus Bidang Pendidikan Musara Gayo Jabodetabek 2010-2013
Sumber: Majalah Lentayon (2011)