Salah satu seni tradisional Gayo Lues yang perlu pembenahan adalah permainan Didong. Dikatakan demikian karena saat ini ahli-ahli didong sudah tidak terdapat lagi pada setiap kampung, sehingga jika seseorang akan mengadakan permainan didong untuk meriahkan perhelatan seperti pernikahan maupun sunat rasul, maka yang bersangkutan harus mendatangkan pemain-pemain didong dari kampung lain.
Pemain-pemain didong yang ahli disebut Pegawe Didong. Oleh karena itu pada umumnya mereka mengetahui dan menguasai seluk sbeluk adat maupun agama, sehingga kedudukan mereka setara dengan Si Opat, dalam sistem pemerintahan adat tempo doeloe.Peragaan permainan didong Gayo Lues sangat berbeda dengan permainana didong Aceh Tengah maupun Bener Meriah. Kalau didong Aceh Tengah maupun Bener Meriah dapat dimainkan kapan saja, tidak demikian halnya dengan didong Gayo Lues.Didong Gayo Lues hanya diperagakan pada saat-saat seseorang mengadakan perhelatan perkawinana atau sunat rasul, dan hampir tidak pernah dimainkan dalam acara memperingati hari-hari besar islam, maupun ulang tahun kemerdekaan RI.Didong Gayo Lues dimainkan oleh dua orang pria separo baya, diatas sembilah papan, untuk memperdebatkan masalah-masalah yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum-hukum agama.
Sesuai dengan kesepakatan diantara mereka pada awal dimulainya permainan, maka salah seorang diantaranya bertindak sebagai penanya dan seorang lagi sebagai penjawab.Sedangkan didong Aceh Tengah maupun Bener Meriah dimainkan sambil duduk melingkar melantunkan syair-syair yang diselingi tepukan tangan, sehingga didong ini dijuluki juga didong tepok, sedangkan Abd Recef (alm) mantan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan KabupatenAceh Tengah yang pernah bertugas di Gayo Lues, menyebutkan didong Aceh Tengah adalah Surakni didong.
Sepintas lalu memang permainan didong tampak terlalu monoton dan menjemukan, karena biasanya diperagakan mulai larut malam sampai pagi, lebih-lebih masalah yang diperdebatkan kurang menarik, dan ada unsur kecurangan bermain didalamnya (didong ilet).Akan tetapi bila masalah-masalah yang diperdebatkan cukup menarik dan serius dalam istilah gayo disebut Nge Mubatang, mampu memukau penonton apalagi adi-adi (syair-syair atau pantun) yang dibawakan sebagai selingan serta hentakan kaki berirama diatas papan (gerindik), yang dibantu koor artis pendukung, membuat penonton jadi larut dalam permainan ini. Kelihaian penjawab dalam mengotak ngatik pertanyaan si penanya yang dalam isitilah permainan ini disebut (Tali Sidik atau Tali Kune, secara tidak disadari bisa terjawab sendiri oleh si penanya, dan bila hal ini terjadi, maka si penjawab unggul dalam permainan ini sekaligus akhir dari permainan didong tersebut.
Kendatipun pada prinsipnya peragaan didong itu sama, tetapi didong Gayo Lues itu ada dua, yaitu Didong Niet dan Didong Biasa. Bedanya cuma pada materi bahasan, karena dalam didong niet perdebatan adalah masalah-masalah khusus, sedangkan disong biasa, perdebatannya tergantung dalam katagori didong yang kita sebutkan diatas.Pertanyaannya sekarang apakah generasi muda Gayo Lues berminat untuk mempelajarinya, ataukah akan kita biarkan kesenian dan budaya Gayo Lues, punah satu persatunya, jawabannya terpulang pada kita juga adanya.
Kiranya tulisan sesederhana ini mampu menggugah peminat-peminat seni untuk menterjemahkannya, dan selagi ahli-ahli atau pengawe didong seperti Abil dari kampung pasir kecamatan Tripe Jaya, Aman Lela dari Cane Toa Kecamatan Rikit Gaib, Kamar dari penampangan Kecamatan Blangkejeren, Alat Aman Tina Kampung Kuta Bukit Kecamatan Blang Pegayon dan beberapa pakar didong lainnya yang jumlahnya masih hayat tinggal sedikit untuk tempat kita berguru pada mereka. Harapan selanjutnya tentu terpulang pada Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues untuk mengalokasikan dana yang agak memadai bagi pengembangan Seni Budaya Gayo Lues.Mudah-mudahan sumbangan pemikiran ini mendapat sambutan adanya. Semoga ! (foto : alaabaspost_
*Penulis adalah pengamat masalah sosial budaya Aceh