Catatan : Win Wan Nur
Banyak orang Gayo yang bertanya-tanya, kenapa saat ini orang Gayo seperti tidak lagi mengenal adat dan budayanya. Mengapa sekarang orang Gayo seperti tidak lagi menghargai norma-norma warisan muyang datu?
Kebiasaan masyarakat Gayo yang jauh dari tradisi tulis menulis, membuat persoalan ini tetap menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Menanyakan kepada orang tua-tua juga sudah sulit karena hampir semua pelaku sejarah yang sudah meninggal dunia.
Tapi untungnya pada tahun 1979, Gayo didatangi oleh seorang kandidat doktor dari Universitas Chicago yang melakukan penelitian tentang Gayo dan mendokumentasikan sejarah Gayo yang tidak diperhatikan oleh orang Gayo sendiri. Catatan Bowen mengungkap banyak pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Salah satunya tentang hilangnya norma-norma ëdët.
Di bawah ini adalah catatan Bowen tentang peristiwa tersebut : Untuk sebagian besar orang Gayo yang hidup pada tahun 80-an (sebagaimana banyak orang Indonesia lainnya), pilihan yang dibuat pada tahun-tahun pertama kemerdekaanlah yang membentuk wajah sejarah kontemporer mereka.
Peran dari kejadian-kejadian di tahun-tahun awal kemerdekaan ini dalam penulisan sejarah Indonesia dalam beberapa hal terlihat mirip dengan peran Revolusi Perancis untuk rakyat Perancis dalam membentuk seluruh pendapat tentang politik :
Sebagai sebuah pembentukan ulang tatanan masyarakat yang diinginkan yang bentuknya masih terus diperdebatkan tanpa henti. Pada tahun 1980 debat-debat tentang itu (di Gayo) masih terbatas pada diskusi informal; hanya sedikit yang berani mempertanyakannya dalam bentuk tulisan yang berisi pandangan resmi bahwa Gayo (dan yang lain) telah melakukan tindakan tepat ketika mereka dengan cepat menolak tatanan feodal baik nilai-nilai maupun institusinya karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai republik dan Islam.
Tapi secara informal orang-orang Gayo yang memiliki peran utama pada masa itu berbeda pandangan secara tajam dalam mengevaluasi peristiwa-peristiwa pada masa itu. Dengan melihat gambaran dari dua orang di bawah ini kita bisa melihat bagaimana jauhnya bentang perbedaan pandangan tentang peristiwa awal kemerdekaan tersebut.
Tengku Daud Arifin dan Tengku Asaluddin keduanya berasal dari Isak, keduanya kuat di bidang agama dan paham soal masalah-masalah keislaman dan keduanya sudah berstatus haji. Keduanya pernah menjadi pemegang otoritas agama di Isak tidak lama setelah kemerdekaan; bahkan Tengku Daud lah yang menggantikan Tengku Asaluddin sebagai pejabat keagamaan untuk masyarakat Isak.
Pada Bab 4 kita telah melihat bagaimana kontrasnya pandangan mereka berdua dalam memandang sejarah kolonial. Pada tahun 1989 saya mengajukan pertanyaan kepada mereka berdua tentang karaktristik dari perubahan arah yang menyeluruh di Isak sejak zaman Belanda.
Mereka berdua berpendapat bahwa aksi-aksi yang dilakukan tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan lah yang sangat menentukan dalam pembentukan arah perubahan. Tengku Daud lahir di Kutë Kramil, menikah dengan anak dari orang pertama yang ditunjuk menjadi Rëjë Ciq Dah dan telah menjadi kepala kampung atau pejabat keagamaan pada sebagian besar masa setelah kemerdekaan.
Dia pensiun sebagai pegawai negeri pada tahun 1986. Bagi Tengku Daud, perubahan paling penting dalam kehidupan masyarakat Isak adalah berkurangnya konflik. Pada masa kolonial, dia mengeluhkan “orang akan berkelahi akibat satu tindakan remeh yang dianggap tidak menunjukkan rasa hormat. Kalau kamu melintasi satu kampung, kopiah yang kamu pakai tidak dalam posisi yang benar. Pemuda kampung yang kamu lewati akan memukulmu karena dianggap menantang”.
Relasi antar sanak saudara juga penuh ketegangan. “Kalau kamu tidak berbicara dengan (sikap dan cara yang) benar kepada saudara ibumu (pun), dia akan menolak apapun yang menyangkut kamu sampai kamu membuat satu permintaan maaf yang panjang”.
Para pemimpin Isak pasca perang mengubah itu semua, dia melanjutkan, dengan menghancurkan penghalang antar kampung dan meyakinkan masyarakat bahwa Islam melarang konflik antara sanak keluarga. Adalah Tengku Daud yang menikahkan dua orang yang sama-sama berasal dari Kutë Rayang sebagai cara untuk menunjukkan bahwa Islam berada dalam posisi lebih tinggi dibandingkan ëdët dalam pengambilan kebijakan sosial masyarakat.
Bagi Tengku Asaluddin aksi tersebut terjadi karena dasar kesalahan pandang terhadap ëdët. “Kalau kamu akan mengorbankan seekor kerbau”, katanya, mengambil contoh ibadah pemotongan kurban dalam Islam, “Kamu membutuhkan tali untuk mengikat kaki-kakinya; tali itu adalah ëdët yang melindungi dan men-support Islam.
“Ironisnya, adalah Tengku Asaluddin, bukan Tengku Daud, yang merupakan seorang modernis (kaum mude) dan orang yang paling keras menentang Rëjë kecil pro Belanda, tapi Tengku Asaluddin pula yang yang menolak pandangan bahwa Agama bisa menggantikan ëdët. Tengku Jalil keliru ketika pada tahun 1946 mengusulkan agar kita mengabaikan ëdët, katanya. Pemikiran seperti itu membuat kampung-kampung tidak lagi memiliki otoritas catatnya, itu membuat orang-orang mulai menuntut hak atas warisan atas tanah di kampung kelahiran, tanah yang telah diberikan kepada saudaranya yang tinggal di kampung untuk mengurusi orang tua.
Dia mengatakan adalah sebuah kesalahan besar mengizinkan dua orang yang sama-sama berasal dari Kutë Rayang untuk menikah, itu akan menggiring masyarakat untuk mengabaikan norma-norma yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. “Sebagaimana Muyang Datu berkata : Hidup berkalang ëdët, mati berkalang tanah”
http://www.kompasiana.com/winwannur/john-bowen-tentang-awal-kehancuran-edet-gayo_5749583e5a7b618206f2c37f