Degradasi Nilai Budaya Gayo Dibahas di Redelong

Redelong | Lintas Gayo : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh bekerja sama dengan Wonderful Indonesia dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bener Meriah menyelenggarakan Dialog Budaya Aceh 2011  dengan tema “Revitalisasi Budaya Gayo sebagai Upaya Penyelamatan Tradisi Masa Lalu”, bertempat di Operational Room Sekretariat Daerah (Oprom Setdakab), Sabtu, 28 Mei 2011.

Bahwa berdasarkan pengamatan BPSNT, budaya Gayo telah mulai terkikis, adanya degradasi tradisi karena berbagai faktor, internalisasi, asimilasi maupun heteregonitas masyarakat (perkotaan). Pengamatan atas penurunan nilai-nilai budaya Gayo tersebut adalah dibidang agama, kesenian, pertanian dan sebagainya. Oleh sebab itu acara dialog tersebut dilaksanakan dengan tujuan melestarikan budaya dan seni Gayo dimasa yang akan datang. Demikian dikatakan Djanuat, S.Sos Ketua BPSNT Banda Aceh.

Menurut T. Islah Berdan, M.Si, Sekretaris Daerah (Sekda) Bener Meriah menyampaikan saat membuka acara tersebut, bahwa perlu adanya filter dari budaya asing terhadap budaya Gayo, dan budaya Gayo wajib dipertahankan dari kemajuan tekhnologi  dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Prof. M. Dien Madjid, MA, mengatakan orang Gayo harus bisa memahami basa Gayo (bahasa Gayo), urang Gayo (orang Gayo)  dan tanoh (tanah kelahiran) Gayo, karena Gayo bukan hanya disebut ekstrim cara berpikir namun dari segi bahasa sebagai identitas.

Orang Gayo secara berpikir tidak kalah dengan diluar Gayo, dibuktikan dengan orang Gayo yang merantau, “sangat disayangkan ketika tersebar orang Gayo ke luar Gayo, mereka engan menyebut dirinya sebagai orang Gayo, maka oleh sebab itu perlu ada penelitian apa penyebab dari keengganan itu?”, pungkas M. Dien.

M. Hatta tokoh adat di Bener Meriah, senada dengan Prof. M. Dien, menyatakan sudah kurangnya orang Gayo mengerti akan makna filosofis Gayo tidak bangga dengan bahasa sendiri dicontohkan “jikalau orang Gayo berada di banda Aceh dan bertemu dengan orang Aceh, mereka lebih suka bahasa Aceh daripada bahasa Gayo, dan ini kanapa?”, ujar Hatta yang juga anggota Majlis Adat Aceh (MAA) di Banda Aceh.

Mulai terkikisnya budaya Gayo, sangat disayangkan oleh beberapa tokoh dan perlu solusi agar budaya Gayo tidak punah. “Apabila kita Gayo telah kehilangan identitas (lost identity) maka akan menjadi masalah besar”, kata Ridwan, PD I Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry. Ditambahkanya bahwa orang Gayo harus  bisa hidup ditengah keberagaman.

Menurut M. Dien, perlu mempertahankan tradisi lisan seperti mempetahankan keseniaon Didong, memperkuat perdokumentasian, internalisasi (melalui) lembaga pendidikan, menyelamatkan bahasa Gayo, membangun museum Gayo sebagai upaya menjaga budaya Gayo.

Perlu juga menentukan arah dan solusi, yaitu seperti disampaikan Dr. Ridwan Nurdin Dosen IAIN Ar-Raniry, yaitu melalui kebijakan Pemda dengan menerbitkan qanun yang mengatur budaya. Dengan Pendidikan, bacaan Kebudayaan diperbanyak, penguatan Peran (Ortu, Guru, Mukim, aparat kampung, dsb) dan mendirikan Umah Kul.

Diakhir acara, Djanuat mengatakan selama dalam perjalanan belum menemukan masakan khas Gayo dan pakaian tradisional Gayo yang dipakai orang Gayo, “Mungkin benar apa makna Gayo yaitu khayo (takut), sehingga selama berada di Takengen ke Bener Meriah tidak ada masakan khas Gayo dan pakaian Gayo,”mungkin orang Gayo takut memperlihatkan identitasnya”, tanya Djanuat, saat menutup acara dialog.

Ini yang bisa kami lakukan (acara dialog), kami mencoba membangunkan orang Gayo bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan lebih intensif terhadap budaya Gayo selanjutnya terserah kepada Orang Gayo, apa yang harus dilakukan untuk mempertahankannya. Jelas Djanuar mengakhiri acara. (Wen Rahman/foto Lizar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.