Terjebak Dalam Budaya Hedonisme

Oleh: Muhammad Syukri *)

 

Benarkah doa rakyat Aceh telah terkabul ? Mungkin kita akan terkejut membaca kalimat pembuka dari tulisan ini. Boleh jadi, akan diikuti dengan berbagai pertanyaan, seperti: doa yang mana? Kapan kita berdoa? Kapan pula dikabulkan? Apa wujud konkritnya? Kemudian, melalui tulisan singkat ini, kita coba untuk menelusuri kisi-kisi pertanyaan tersebut.

Langkah awal tentu saja harus dimulai dari sejarah berdirinya bangsa dan negara ini. Kita buka kembali sejarah dan detik-detik penetapan dasar negara. Disana, kita akan menemukan  Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI. Mereka terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agussalim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Jamin.

Para founding father yang tergabung dalam panitia sembilan  ini telah  melahirkan sebuah dokumen yang merupakan naskah otentik UUD 1945. Naskah itu dikenal dengan nama “Piagam Djakarta.” Isinya sangat vital bagi eksistensi ummat Islam, yaitu “…kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Menurut Achmad Soemargono yang ditulis dalam situs Galery Swara Muslim “Pada tanggal 9 Juli 1945, Soekarno  menyebut Piagam Djakarta sebagai gentlemens agreement antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Tapi pada 18 Agustus 1945, tujuh kata vital tadi akhirnya didrop.”

Manakala tujuh kata vital tadi terhapus dari naskah UUD 1945, mungkinkah doa ummat Islam pada saat itu belum dikabulkan oleh Sang Khalik? Wallahualam bissawab. Dan, perjuangan untuk mengembalikan pencantuman tujuh kata vital tadi tidak pernah berhenti. Diantaranya melalui sidang Majelis Konstituante 1959, meskipun pada akhirnya upaya mengembalikan tujuh kata itu gagal, setelah Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Walaupun doa ummat Islam nusantara, mungkin belum terkabul,  alhamdulillah  doa itu telah dikabulkan untuk rakyat Aceh. Terhitung sejak tahun 1999,  di wilayah Aceh  berlaku syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Lafal apa gerangan yang dimohonkan, khususnya oleh rakyat Aceh, sampai doanya dikabulkan? Kita memang mengenal rakyat Aceh sebagai orang-orang yang taat beragama. Bahkan, dari Samudra Pasai, para ulama dan aulia menyebarkan Islam ke seluruh  nusantara. Wujud ketaatan beragama rakyat Aceh, antara lain  bisa dilihat sepanjang jalan mulai dari perdesaan sampai ke ibukota propinsi tersedia fasilitas ibadah, khususnya untuk shalat berjamaah.

Disetiap fasilitas ibadah itu berlangsung shalat berjamaah lima waktu yang dipimpin oleh imam masjid setempat. Saat berlangsung shalat berjamaah, dan sebagai makmum yang tertib, kita menyimak kata demi kata surat Al Fatihah (salah satu rukun shalat) yang dibacakan imam. Lalu, setelah surat Al Fatihah selesai dibaca, kita serempak mengucapkan “Amiin.”

Tahukah pembaca, permohonan yang kita minta kepada-Nya saat mengaminkah surat Al Fatihah tadi?  Salah satunya adalah sebuah harapan yang terdapat pada ayat 6 “ihdinash-shirathal-mustaqim.” Kita memohon kepada-Nya “tunjukilah kami jalan yang lurus.” Dan, permohonan untuk dikabulkan (amiin) kita ucapkan setelah surat Al Fatihah selesai dibaca imam.

Sekarang mari dihitung, berapa kali harapan itu dimohonkan kepada Allah Al Wahhaab (Allah Yang Maha Penganugerah)? Mereka yang sempurna menjalankan shalat lima waktu, tidak kurang telah memohon supaya ditunjukkan ke jalan yang lurus sebanyak 17 kali sehari semalam. Dalam waktu setahun, kita telah memohon sebanyak 6.205 kali.  Sebegitu banyakkah munajat untuk memohon supaya ditunjukkan ke jalan yang lurus, yang sudah kita sampaikan kepada-Nya?

Insya Allah, pada akhirnya, Tuhan Yang Maha Penganugerah mengabulkan harapan tersebut  pada tanggal 4 Oktober 1999. Bentuk konkrit munajat rakyat Aceh diwujudkan melalui sebuah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Perangkat hukum ini diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 172 pada tanggal 4 Oktober 1999. Substansi pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 1999. Bunyinya: penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.

Setelah itu, berduyun-duyun masyarakat di Propinsi Aceh mendatangi rumah ibadah untuk  melakukan sujud syukur. Memuji Tuhan Yang Maha Penganugerah. Bersyukur atas doa mereka yang telah dikabulkan.  Mereka berkeyakinan, Aceh akan menjadi wilayah religius yang baldatun thaybatun wa rabbun ghafur. Satu-satunya daerah di nusantara yang pelaksanaan syariat Islam diatur dengan undang-undang. Bukankah ini sebuah anugerah?

Ikhlaskah kita mengimplementasikannya? Pembaca yang budiman, mari kita resapi sedalam-dalamnya. Kita uji dengan suara hati, lalu kita evaluasi prilaku diri kita dan orang-orang disekitar kita.  Misalnya, saat kita sedang makan di Rex Peunayong, tiba-tiba seorang anak usia empat tahun berpakaian lusuh berdiri di depan meja kita. Dia menatap makanan yang sedang kita santap dengan penuh rasa lapar. Suara hati apa yang muncul dari hati kita? Benarkah “ingin memberi makanan yang sedang kita makan?” Kemudian, benarkah kita mengikuti dorongan suara hati itu dengan memesan sepiring makanan lagi untuk anak itu? Kalau benar, mari kita ucapkan alhamdulillah. Kita juga bisa melanjutkan pengujian suara hati yang lain, seperti: saya ingin menjadi seorang yang penyayang; saya ingin menguasai diri; saya ingin suci dalam berfikir dan bertindak; saya ingin hidup damai; saya ingin selalu dipercaya; saya ingin selalu memelihara dan merawat; saya ingin selalu menjadi pemaaf, saya ingin selalu memberi; dan sejumlah suara hati lainnya.

Memberi makan anak tadi adalah implementasi suara hati “ingin selalu memberi” yang merupakan percikan Ar Razzaq. Menurut Ari Ginanjar (2006) “suara hati manusia adalah kunci spiritual, karena ia adalah pancaran sifat-sifat Ilahi (QS Al Hasyr ayat 22-24). Contoh, ingin diperlakukan adil, keinginan hidup sejahtera, keinginan untuk mengasihi dan dikasihi, semuanya adalah sifat-sifat Allah.”

Suara hati dapat dianalogikan sebagai sebuah instrumen keselamatan selama “mengemudi” di jalan yang lurus yang bernama “ihdinash-shirathal-mustaqim.” Mendengar suara hati sama dengan menghindari terjadinya “tabrakan”  antar sesama manusia saat melaju di jalan itu, yaitu jalan yang diridhai-Nya.  Terkait dengan hal tersebut, sisakan sedikit waktu untuk merenungkannya. Lalu tanyakan pada diri masing-masing, sudahkah kita mendengarkan suara hati? Adakah suara hati ini didengar oleh teman-teman kita yang lain.  Sudahkah suara hati itu diimplementasikan?

Apabila jawabannya sudah, proses menuju ke jalan yang lurus menjadi lebih mudah karena benturan antar manusia dapat diminimalisir. Dan, suara hati sudah digunakan untuk menjaga hubungan antar makhluk. Sebaliknya, apabila jawabannya belum, berarti masih banyak manusia yang hatinya masih sekeras batu.

Selanjutnya, mari kita renungkan analogi ini:  seorang sahabat karib memohon diberikan handphone  kesayangan kita. Setiap bertemu, dia mesti meminta handphone itu, bahkan sampai mengeluarkan air mata. Karena permohonannya sudah terus menerus, maka handphone kesayangan itupun diserahkan kepadanya.

Suatu hari, kita bertamu ke rumahnya. Disana terlihat handphone kesayangan itu diletakkan dalam lemari, tidak digunakan. Alasannya, setelah keluar produk Black Berry, dia  tidak suka lagi dengan handphone Nokia E61 itu. Dia malah memohon agar handphone Black Berry yang sedang kita pakai diberikan kepadanya. Bagaimana perasaan kita sewaktu mengalami pelecehan seperti itu?

Analogi handphone itu sepertinya persis dengan prilaku yang sedang kita perankan saat ini. Kita, terlanjur terjebak dalam budaya orang-orang bermental materialistis dan kapitalis serta terbuai dengan tujuan-tujuan yang bersifat hedonisme (kesenangan semata). Dalam konteks ini,  semua diukur dari kesenangan yang akan diperoleh. Bahkan kita sering mendengar ucapan, “untuk saya dapat berapa?” atau “kami dapat apa?”  dan “bagian kami mana?”

Tanpa disadari, ternyata kita makin jauh masuk dalam pusaran hedonisme. Adakalanya terpikir juga, seolah-olah jalan yang lurus   bukan  doa yang diharapkan. Kita malah sering terhanyut dalam doa-doa yang cenderung kepada hedonisme dan materialistis, seperti memohon agar ditambahkan rezeki, diberi kekayaan, diberi jabatan dan diberi umur panjang. Disisi lain, hampir setiap jam kita memohon agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Gejala apa ini, adakah rasa malu telah sirna?

Kita tidak malu lagi kepada Allah Al Wahhaab yang selalu mengamati hamba-Nya. Kita tidak merasa malu meski telah terbukti menipu diri sendiri? Tidakkah kita khawatir menjadi orang-orang yang kufur nikmat? QS Al Ankabut ayat 66 menegaskan: biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan silakan mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).

Khawatirkah kita terhadap kalimat terakhir dari ayat tersebut? Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang kufur nikmat, karena tanpa disadari sesungguhnya kita telah mengingkari munajat yang  kita mohonkan? Kita rasionalisasikan legalitas pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat sesuai selera masing-masing. Kita elakkan  jalan menuju baldatun thaybatun wa rabbun gahfur  dari jiwa dan raga, dari hati dan pikiran,  dan dari kehidupan masyarakat.

Tanpa disadari dan disengaja, cita-cita mulia ini telah digiring sebagai sebuah slogan   yang sangat artifisial. Seharusnya, legalitas pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat akan mendorong implementasi suara hati. Begitu pula qanun-qanun tentang pelaksanaan syariat Islam, jangan dilihat sebagai sebuah ancaman fisik, lihatlah sebagai sebuah  instrumen untuk menjernihkan bisikan suara hati.

Sayang memang, setelah lima tahun terjadinya gempa dahsyat dengan kekuatan 8,9 skala richter yang diikuti dengan gelombang tsunami di daerah kita, intensitas pancaran suara hati makin melemah seiring makin terlupakannya kejadian 26 Desember 2004 itu. Kitapun terlanjur masuk dan terjebak didalam pusaran prilaku materialistis, demi mempertahankan budaya  hedonisme yang melekat pada iklim kapitalis.  Mungkinkah peristiwa gempa yang berkekuatan 7,6 skala richter di Padang Sumatera Barat, 30 September 2009 pukul 17.16 WIB, sebagai sebuah bentuk komunikasi dari Sang Khalik kepada hamba-hambaNya? Seperti segaris sinyal yang mengingatkan kita agar melakukan evaluasi diri atas peristiwa lima tahun yang lalu. Wallahualam bissawab.

 


* ) Peminat masalah sosial budaya, tinggal di Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.