Legenda Putri Pukes berkembang luas dalam masyarakat Aceh terutama dalam budaya tutur masyarakat Gayo. Putri Pukes dituturkan dari generasi ke generasi dan menjadi semacam petuah bijak orang tua terhadap anaknya yang akan menikah. Konon menurut legenda, putri Pukes berubah menjadi batu karena melanggar perintah orang tuanya agar tidak menoleh ke belakang ketika ia hendak menuju rumah suaminya. Karena tidak tega meninggalkan orang tuanya, dalam perjalanannya menuju ke tempat suaminya ia menoleh ke belakang melihat orang tuanya untuk terakhir kali. Namun karena pelanggaran yang dilakukannya ia berubah menjadi batu. Konon menurut cerita masyarakat, dari mata putri Pukes sering keluar air yang diyakini sebagai air mata putri Pukes. Walau pun hanya legenda, namun cerita yang berkembang luas dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai dasar mendidik anak- anak agar patuh kepada orang tua, dan menurut masyarakat Gayo, legenda putri Pukes dianggap efektif untuk mendidik anak- anak agar patuh terhadap orang tuanya. Legenda Putri Pukes yang menjadi cerita rakyat Gayo pada akhirnya melahirkan satu tanda tanya besar; adakah kaitan legenda Putri Pukes dengan ilmu arkeologi?
Tradisi Megalitik Masyarakat Gayo
Legenda Putri Pukes memiliki kaitan erat dengan arkeologi prasejarah. Patung Putri Pukes merupakan wujud dari tradisi megalitik yang berkembang dalam kelompok masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam. Ciri khas dari kelompok masyarakat bercocok tanam adalah berkembangnya angapan bahwa tanah merupakan salah satu unsur dari kunci kehidupan. Hal ini membangkitkan keinginan untuk lebih memanfaatkan kegunaannya disamping pemanfaatan mereka terhadap binatang-binatang yang telah dijinakkan. Nilai-nilai hidup makin berkembang dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada alam namun sudah aktif mengadakan perubahan-perubahan. Salah satu segi yang menonjol dalam masyarakat yang mengembangkan tradisi megalitik adalah berkembangnya konsep kehidupan setelah mati.[i]
Tradisi pendirian bangunan megalitik (mega=besar, lithos=batu) selalu berdasarkan pada kepercayaan adanya hubungan antara yang hidup dan mati terutama kepercayaan kuat terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari kerabat yang telah mati dipusatkan pada bangunan-bangunan besar yang menjadi sarana penghormatan sekaligus lambang si mati.[1]
Pemujaan terhadap roh nenek moyang pada akhirnya melahirkan sikap dan tata cara dalam menjaga tingkah laku masyarakat yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan dunia. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna dalam kehidupan. Pemilihan benih tanaman dan pengembangbiakkan hewan ternak. Pembuatan alat-alat batu untuk kebutuhan hidup sehari-hari juga mengalami perkembangan.
Dari aspek arkeologi, legenda Putri Pukes dapat diasumsikan dengan sistem kepercayaan yang berkembang pada masa megalithikum dimana dalam masyarakat megalithikum mulai berkembang kepercayaan untuk menyembah sesuatu yang “besar”. Masa megalithikum yang disebut juga dengan zaman batu besar yang merupakan masa awal berkembangnya kepercayaan dalam masyarakat. Ciri masyarakat megalithikum yang sudah mulai menetap dan bercocok tanam untuk sementara waktu sebelum mereka berpindah mencari lahan yang lebih subur, sudah berkembang konsep-konsep pemujaan terutama terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kesuburan. Pada masa megalithikum masyarakat sudah mulai membangun sarana pemujaan seperti dolmen, menhir, punden berundak, dan sarkofagus.
Dolmen merupakan sarana pemujaan yang berbentuk lingkaran tersusun dari batu-batu bulat. Menhir adalah sarana pemujaan yang berbentuk batu tegak dan berukuran besar. Punden berundak adalah sarana pemujaan yang berbentuk teras bertingkat- tingkat dan biasanya pada bagian yang paling puncak diletakkan sesajen seperti hasil pertanian dan hewan, namun ada juga yang hanya diletakkan bunga-bunga saja. Sedangkan sarkofagus adalah peti kubur batu, biasanya diperuntukkan bagi orang yang dihormati dan si mati dianggap sebagai perwujudan roh nenek moyang. Dari semua sarana pemujaan tersebut, yang mengalami perkembangan bentuk yang paling signifikan adalah menhir. Pada awalnya, menhir benar- benar berupa batu tegak yang berukuran besar. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada masa megalithikum akhir menjelang neolithikum, bentuk menhir mulai mengalami perubahan. Mulai berkembang upaya-upaya untuk memberi bentuk pada menhir yang dikenal dengan istilah antrophomorfik, dimana dalam masyarakat pendukungnya berkembang satu konsep tentang “pencipta” dan untuk mencapai sang “pencipta” harus dilakukan dengan benda-benda pemujaan yang merupakan perwujudan dari “pencipta”.
Dalam konsep masayarakat agraris, konsep pemujaan sangat erat kaitannya dengan masalah kesuburan, dan bumi dianggap sebagai ibu yang mampu memberikan kesuburan dan sil bagi masyarakatnya. Sehingga dalam konsep masyarakat purba tradisional yang paling dipuja adalah bumi. Bumi diwujudkan sebagai seorang “ibu” yang menyusui dan memberikan kehidupan bagi anak-anaknya (masyarakat). Sehingga konsep tentang kesuburan diwujudkan sebagai seorang wanita dengan bentuk tubuh yang besar. Bentuk tubuh dan dada yang besar dianggap sebagai lambang kesuburan.
Menhir yang diberi bentuk seperti manusia dijumpai di beberapa kawasan di Indonesia seperti di Gunung Kidul, Yogyakarta, Sulawesi, dan Gayo Aceh Tengah. Berkembangnya konsep untuk memberikan wujud pada menhir merupakan perkembangan dari pola mikir masyarakat tradisional agraris dimana dalam masyarakat berkembang konsep bahwa ibu dianggap sebagai yang melahirkan dan menumbuhkan. Bumi dianggap sebagai “ibu” karena segala sesuatu yang ditanam akan tumbuh dan menghasilkan. Dan konsep bumi sebagai “ibu” (mother land) bukan hanya berkembang di Indonesia saja, namun hampir semua masyarakat tradisional agraris mengembangkan konsep tentnag bumi dan kaitannya dengan kesuburan.
Jelas bahwa, legenda Putri Pukes dilihat dari kaca mata arkeologi adalah menhir yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Perkembangan menhir pada akhirnya menghasilan satu konsep baru untuk memberikan “wujud” atau konsep antrophomorfik sebagai bentuk perkembangan pemikiran masyarakat itu terhadap pemujaan terhadap sesuatu yang gaib dan besar. Dan dalam masyarakat tradisional agraris, kesuburan selalu identik dengan perempuan sehingga benda-benda pemujaan diwujudkan dalam bentuk menhir yang menyerupai wanita dengan tubuh yang besar. Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan hasil penelitian Balar Arkeologi Medaan yang mengadakan penggalian di sekitar gua di daerah Aceh Tengah dengan temuan berupa kerangka manusia, gerabah, manik- manik, dan kaca, menunjukkan bahwa ada kaitannya legenda Putri Pukes dengan hasil temuan tersebut yang menunjukkan perkembangan masyarakat terhadap konsep pemujaan.
*Laila Abdul Jalil, S.S adalah Staf Koleksi Edukasi Museum Aceh dan arkeolog alumni UGM,tinggal di Banda Aceh