Bangsa Gayo; Penduduk Asli Aceh

Oleh Sabela Gayo*

 

Gayo merupakan sekumpulan etnis yang mendiami daerah pedalaman di pengunungan pada suatu wilayah yang hari ini disebut dengan ACEH. Pola kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo berbeda dengan kelompok etnis lainnya yang mendiami wilayah pesisir Aceh. Berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Balai Penelitian Arkeologi (Balar) Medan, nenek moyang bangsa Gayo sudah mendiami wilayah yang hari ini disebut sebagai Takengon (red; Tanoh Gayo). Hasil penemuan Balar Medan tersebut semakin memperkuat klaim sejarah Gayo dan beberapa litaratur sejarah lisan yang sudah lama berkembang di Gayo yang menyebutkan bahwa Gayo adalah penduduk pertama (first settler) yang mendiami wilayah yang hari ini disebut sebagai ACEH.

Jika dilihat dari struktur mata pencaharian dan budaya yang berkembang di Gayo maka ada beberapa petunjuk yang dapat menguatkan keberadaan bangsa Gayo sebagai penduduk asli Aceh, petunjuk tersebut yaitu:

  1. Menurut teori Antropologi Emile Durkheim, sistem mata pencaharian tertua yang ada di dalam sejarah kehidupan manusia adalah system mata pencaharian bercocok tanam (bertani atau pertanian). Jika dilihat secara umum maka mata pencaharian orang Gayo adalah bercocok tanam/bertani (petani). Berbeda halnya dengan mata pencaharian masyarakat pesisir Aceh yaitu mencari ikan (profesi nelayan).
  2. Sistem hukum dan budaya masyarakat Gayo merupakan salah satu sistem hukum adat terbaik di Asia Tenggara (Isma Tantawi; 2006). Hal ini terlihat secara nyata dari pola kehidupan sosial masyarakat Gayo yang berpegang teguh kepada hukum adat SARAKOPAT (Hukum Yang Empat). Walaupun masyarakat Gayo sudah berpuluh-puluh generasi tinggal di dalam hutan belantara Aceh (red; pedalaman Aceh) tetapi masyarakat Gayo punya sistem hukum adat yang kuat. Sebagai contoh; pola hubungan antar anggota keluarga diatur secara ketat, seperti hubungan antara mertua dengan menantu, hubungan antara anak dengan orang tua, cara berpakaian, dan pola hubungan antar satu individu dengan individu yang lainnya dalam satu komunitas/klan. Hal ini berbeda dengan beberapa suku-suku lainnya yang hidup di dalam hutan tetapi hanya memakai “koteka”. Tetapi hal itu tidak terjadi pada masyarakat Gayo walaupun masyarakat Gayo tinggal dan hidup di dalam hutan belantara. Hal ini membuktikan bahwa peradaban Gayo pada saat itu sudah sedemikian tinggi.
  3. Menurut teori antropologi, Seni tari yang dimainkan dengan menggunakan peralatan tangan dan/atau anggota badan merupakan seni tari yang tertua. Hal ini disebabkan karena seni tari tersebut menggunakan anggota badan seperti tangan sebagai alat musik yang menghasilkan suatu seni. Hal ini terlihat melalui seni tari Saman yang sangat memukau dan selalu menuai decak kagum para penonton kala ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan seni-budaya.Tetapi sayang, hari ini banyak para seniman yang mengaku sebagai pendukung pandangan objektifitas melakukan upaya-upaya penjiplakan (plagiarism) terhadap seni Saman tersebut.

Masyarakat Gayo sangat membutuhkan pengakuan internasional baik lisan maupun tulisan yang menyatakan bahwa Gayo adalah penduduk asli (indigenous peoples) Aceh dalam rangka memberikan legitimasi (legitimacy) bagi rakyat Gayo untuk menentukan masa depan Aceh. Dengan adanya pengakuan internasional bahwa Gayo adalah penduduk asli Aceh maka secara otomatis rakyat Gayo merupakan kelompok etnis yang memiliki hak kedaulatan penuh dalam menentukan masa depan Aceh atau dengan kata lain hak kedaulatan Aceh berada ditangan rakyat Gayo. Tidak seperti hari ini, masa depan Aceh ditentukan dan “disetir” oleh masyakat “pendatang” dan bukan merupakan indigenous peoples di Aceh. Bahkan sebagian masyarakat Gayo berpendapat, tanpa adanya pengakuan pun Gayo merupakan penduduk Asli Aceh dan kebenaran itu merupakan suatu fakta yang nyata yang tidak dapat terbantahkan, apalagi dengan ditemukannya bukti ilmiah di daerah Mendale Takengon berupa artefak dan fosil pra-sejarah yang menunjukkan bahwa sudah ada kehidupan di Gayo sekitar 3500 SM yang lalu. Berbanggalah semua rakyat Gayo karena memiliki sejarah yang demikian gemilang dan megah. Dan satu hal yang unik dari masyarakat Gayo adalah, walaupun tinggal di dalam hutan belantara yang jauh dari akses kehidupan perkotaan, sampai hari belum ditemukan bukti bahwa masyarakat Gayo berkoteka seperti etnis lain yang tinggal di hutan. Bahkan sistem adat dan pakainnya sangat islami dan tidak bertentangan nilai-nilai islam. Hal ini merupakan bahan pemikiran baru yang dapat dijadikan bahan penelitian oleh para peneliti antropologi.

Pernyataan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh, beberapa waktu lalu dalam pertemuannya dengan Mahasiswa Poros Leuser yang menyatakan bahwa “ia sepakat bahwa Gayo adalah imigran pertama di Aceh” adalah sangat tidak relavan. Karena ia berusaha menyamakan status hukum masyarakat Gayo dengan kelompok etnis lainnya di Aceh melalui penggunaan kata “imigran”, kelompok masyarakat yang hari ini menyebut dirinya sebagai “Aceh” merupakan keturunan dari berbagai macam bangsa-bangsa pendatang yang datang kemudian/datang setelah puluhan tahun bangsa Gayo menetap di bumi yang hari ini mereka sebut sebagai ACEH. Status hukum bangsa Gayo tidak bisa disamakan dengan bangsa-bangsa lainnya yang datang kemudian ke Aceh, karena bangsa Gayo adalah pemilik sah negeri ACEH yang hari ini diperintah oleh Irwandi Yusuf.

Pemerintah Aceh harus mengakui secara formal keberadaan bangsa Gayo sebagai penduduk asli (indigenous peoples) di Aceh dan mengesahkannya dalam bentuk Qanun Aceh sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan secara suka rela dan penuh kelapangan dada dari bangsa-bangsa pendatang kepada bangsa Gayo sebagai indigenous peoples di Aceh. Kalaupun seandainya pemerintah Aceh sungkan dan tidak mau mengakui keberadaan bangsa Gayo sebagai indigenous peoples di Aceh secara resmi maka bangsa Gayo dipastikan akan berjuang dengan caranya sendiri untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Gayo adalah penduduk asli Aceh melalui cara-cara advokasi damai seperti diplomasi dan negosiasi.

Perlindungan hukum baik formal maupun informal harus diberikan kepada masyarakat Gayo sebagai indigenous peoples, hal ini yang juga dilakukan oleh Pemerintah Malaysia terhadap Orang Asli di Malaysia. Bukan berarti hal tersebut memberikan perbedaan dan berusaha memecah-belah rasa persatuan diantara sesama warga provinsi Aceh melainkan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap penduduk asli Aceh. Proses pencarian identitas orang Gayo sebagai sebuah komunitas masyarakat adat akan bermuara pada sejarah, keturunan dan asal-muasal masing-masing bangsa yang ada di Aceh. Dengan melihat pada sejarah maka akan terkuak sebuah misteri besar tentang keberadaan dan status hukum masing-masing bangsa yang hari ini mendiami suatu wilayah yang disebut Aceh. Kejelasaan status hukum dan posisi masing-masing bangsa di Aceh akan menentukan legitimasi tentang siapa yang paling berhak untuk mengambil tindakan-tindakan hukum dan politik bagi masa depan Aceh.

Infiltrasi dan penetrasi bahasa dan budaya Aceh ke dalam bahasa dan budaya Gayo secara tidak langsung maupun langsung memberikan dampak negatif bagi eksistensi bahasa dan budaya Gayo itu sendiri.bahkan banyak sistem nilai dan seni budaya Gayo yang kemudian diklaim dan dijadikan sebagai budaya Aceh dengan menanggalkan semua identitas Ke-Gayo-an yang ada baik bahasa maupun identitas lainnya seperti pakaian adat. Kalau hal ini terus-menerus terjadi dan dibiarkan terjadi tanpa adanya upaya penyelesaian maka dikhawatirkan akan memancing reaksi dari masyarakat Gayo tradisionalis untuk bertindak sesuai dengan kepentingan dan interpretasinya masing-masing.

Banyak hal yang harus dibenahi dan diselesaikan pasca penandatangan MoU Helsinki, salah satu diantaranya adalah isu indigenous peoples di Aceh. Aceh pasti memiliki indigenous peoples yang secara lisan masyarakat Aceh secara umum telah mengetahuinya tetapi sebagian besar masyarakat Gayo masih menunggu jiwa besar dan kerelaan pemerintah Aceh untuk mengakuinya secara resmi melalui berbagai peraturan hukum dan kebijakan-kebijakan pembangunannya. Isu indigenous peoples ini akan terus bergulir di Aceh seperti sebuah gumpalan salju yang pada suatu saat akan “meledak”  seiring dengan proses pencarian identitas Ke-Gayo-an tersebut.

 

*Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) & Wali World Gayonese Association (WGA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Terus kalau Gayo penduduk asli Provinsi Aceh, substansinya apa?. Kalau kita orang pertama di Aceh bahkan di dunia substansinya apa?

    Mau seperti Israel, menjadikan kepercayaan itu sebagai alasan mendirikan negara?

  2. Tidak ada yang ingin perpecahan tejadi, ini sebuah pencarian jati diri, jadi tanggapi proporsional aja gak perlu harus di tanggapi macam macam.

  3. Wah,,wah,,wah..
    Jika dalam masa konflik tidak mau di sebut aceh. Dan setelah damai mengatakan bahwa saya lah orang asli aceh. Apakah anda tidak pernah mendengar cerita dari nenek moyang anda tentang batak 27. Kenapa bahasa aceh dapat dipahami oleh penduduk gayo, tetapi bahasa gayo tidak dapat dipahami oleh penduduk yg anda katakan sbagai penduduk pesisir yg bukan penduduk asli.jd sekarang mana yg penduduk asli mana yg penduduk pendatang.