by

Belajarlah Berenang

Rosnida Sari*

 

Beberapa hari lalu seorang teman mengajak bermain tenis meja dan berenang di kolam renang. Saya memutuskan, yang paling penting untuk dicoba adalah berenang. Ini kali pertama bagi saya berenang dikolam renang dikota ini. Sebagai informasi, saat ini saya sedang menempuh kuliah di salah satu universitas di Adelaide, Australia Selatan

Pagi-pagi jam 8.25 kami berangkat ke Marion shoping center lalu berganti bus lagi untuk sampai di kolam renang tadi. Sebagai student, harga tiket kami lebih murah dari pengunjung biasa. Kami membayar $4.70 sedangkan orang dewasa harus membayar $5 lebih

Ada 2 kolam renang ditempat itu. Yang pertama satu kolam renang yang sangat dangkal. Belakangan saya lihat ada anak-anak berumur 3-4 tahun yang bermain air disitu bersama orang dewasa. Memang, di dekat kolam renang ditulis bahwa anak kecil dilarang bermain diair tanpa pengawasan orang dewasa.

Kolam renang kedua, lebih besar dan ada lajur yang dibuat. Ada 8 lajur disitu. Ditiap line tertulis slow lane, medium lane dan fast lane.

Saya memilih di slow lane, tapi sudah ada 2 orang yang berada di lajur itu. Saya tidak merasa nyaman harus berbagi dgn orang lain di line yang sempit itu. Lalu, saya dan teman saya beralih ke line yang lain. Kami memilih medium lane. Ada seorang ibu yang sudah ada di lajur itu. Tapi dia tidak berenang hanya berendam  lalu berjalan-jalan didalam air.

Sayapun mengeluarkan sisa-sisa keahlian berenang masa kanak-kanak dulu saat masih kecil, saya sering berenang di danau laut tawar, disungai Peusangan bahkan di kolam ikan kakek saya. Saat sekarang ini, ilmu yang jarang dipakai itu ternyata masih melekat, dan saya dengan nyaman berenang di kolam renang itu. Ditepi, tinggi air hanya setinggi pinggang, tapi semakin ketengah ternyata air semakin dalam.

Saya dan teman saya sengaja memilih berenang agak pagi, dengan asumsi belum panas dan tidak banyak orang. Saat 30 menit berenang, tiba-tiba banyak anak-anak yang datang. Ternyata mereka punya mata pelajaran berenang. Asyik sekali melihat bagaimana instruktur berenang yang memang ada dikolam renang tadi mengajarkan anak-anak tersebut berenang. Anak-anak tadi dibagi menjadi tiga kelompok dan diajar oleh sekitar 6 orang instruktur, laki-laki dan perempuan. Di kolam sebelah, anak-anak yang berusia 3-4 tahun juga diajar oleh instruktur renang. Mereka melakukan demo dengan berteriak “help..help..”,lalu teman-temannya yang ada dipinggir kolam melemparkan pelampung untuk mereka yang berada didalam kolam. Begitu juga saat ada yang sedang belajar snorkling berteriak “help..help..”, teman2 yang lain melemparkan semacam pelampung bertali ke si ‘korban’ lalu tali itu ditarik bersama-sama.

Si instruktur juga mengajarkan bagaimana berenang dengan benar dan mengambil nafas saat sedang berenang.

Anak-anak dikolam yang lebih besar berusia sekitar 8-10 tahun. Ada beberapa dari mereka yang datang bersama ibunya dan si ibu sibuk mengambil foto anak-anaknya yang belajar berenang.

Melihat mereka, saya lalu teringat pada kota saya Banda Aceh. sebagai kota yang berada di tepi laut, alangkah pentingnya jika anak-anak SD dikota saya juga mempunyai keahlian berenang. Setau saya ada kolam renang publik yang dimiliki oleh kotamadya Banda Aceh. Dulu saat saya masih di SMP saya pernah mendapat mata pelajaran berenang di kolam renang publik itu. Tapi saya tidak tau bagaimana keadaannya sekarang, apakah kolam renang tadi masih terbuka untuk umum atau sama sekali telah ditutup.

Setau saya ada dua hotel yang mempunyai kolam renang didalamnya. Tapi logikanya, yang boleh berenang di kolam renang itu pastilah para tamu yang menginap di hotel tersebut. Atau bukan tamu tapi harus membayar untuk menjadi member di kolam renang hotel itu. Saya yakin tentu tidak banyak orang yang bisa mendapatkan kesempatan menjadi member, apalagi anak-anak. Juga, didaerah Mata Ie, ada satu ‘water boom’ yang saya yakin biaya untuk bisa masuk kesitu tidak akan bisa dijangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Pengalaman berenang ini mengingatkan saya pada satu penelitian Oxfam yang menuliskan bahwa korban yang paling banyak saat tsunami (di Sri Lanka, Indonesia dan Thailand) yang lalu adalah perempuan. Riset itu mengatakan bahwa dalam masyarakat kita, anak perempuan tidak dibiasakan untuk belajar berenang (kecuali anak perempuan nelayan yang lingkungan hidupnya didekat laut), sehingga saat tsunami datang banyak dari mereka yang tewas karena tidak bisa berenang menyelamatkan diri.

Saat berkunjung ke Aceh Tengah dan menginap di salah satu saudara yang mempunyai 5 orang anak gadis, salah seorang anak gadis itu berkata bahwa tidak satupun dari mereka yang dirumah tersebut bisa berenang, padahal rumah mereka berada tidak jauh dari sungai Peusangan kota Takengon itu. Saya mengasumsikan, sebagai masyarakat yang tinggal di pusat kota dan termasuk keluarga berada, mereka merasa tidak perlu belajar berenang, karena berenang di sungai hanya kebiasaan masyarakat biasa yang tinggal di tepi sungai. (hmm…sepertinya saya juga harus mencari tau apakah masyarakat yang tinggal dipedalaman desa di Adelaide juga belajar berenang atau tidak).

Saya tidak tau apakah kurikulum berenang sudah masuk dalam muatan lokal anak-anak di sekolah dasar, atau bahkan TK. Padahal bagi saya, kota Banda Aceh (atau kota-kota lain yang ada dipesisir pantai Aceh) perlu mengajarkan pada anak-anak, laki-laki maupun perempuan- bagaimana berenang agar suatu ketika, jika air laut naik mereka tau bagaimana caranya menyelamatkan diri.

 

*Lahir di Takengon (Aceh Tengah). Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Flinders University,Adelaide Australia Selatan

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.