Aku bertemu Wiratma. Tadi siang sebelum Zuhur (Sabtu/25/6) di Kantin Batas Kota. Aku biasa memanggil Wiratma dengan sapaan Ujang. Nama sapaannya sejak kecil di MIN 1 Boom Takengon. Dia teman seangkatanku di Madrasah Ibtidaiyah di tepi kali Pesangan.
Meski puluhan tahun tak bersua, tapi aku mengenalnya dengan baik. Kuikuti sepak terjangnya di berbagai organisasi non pemerintah. Apalagi dengan tehnologi, dunia menjadi sempit. Walau kadang Wiratma sedang di Amerika, aku tetap bisa sharing dengannya lewat jejaring social. Small World.
Berpakaian kemeja lengan panjang, diatas dada kiri tertulis logo Nasdem. Bercelana warna coklat muda berbahan katun. Sepatu coklat dipadu kaos kaki warna gelap. Kami berpelukan. Rindu teman lama.
Ujang tak banyak berubah. Aku ingat saat sekolah di MIN Boom Takengon, Ujang dan keluarganya mengelola Hotel Buntul Kubu. Dari sanalah aku tahu tehnologi telepon kala itu yang masih pakai engkol.
Ujang adalah anak yang sangat aktip. Bahasa orang tua kala itu nakal. Tamat dari madrasah, Ujang masuk sekolah umum, sementara aku terus di sekolah agama di Banda Aceh hingga menyelesaikan Madrasah Aliyah. Ujang sempat pindah SMA saat SMA di Takengon.
Sejak saat itu, praktis kami terpisah. Wira, konon sempat menjadi penyiar radio di Banda Aceh saat kuliah hingga jadi wartawan. Kemudian mulai berkecimpung di dunia non government alias LSM. Wira sudah mengunjungi banyak kawasan di dunia dengan aktipitasnya.
Kedatangan bapak dua anak ini ke Tanah Lahirnya dalam rangka deklarasi Ormas Nasdem untuk wilayah Tengah , yakni Aceh Tengah, Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah. Dia hadir bersama sang penggagas Nasdem Surya Paloh yang brewokan itu.
Ujang sudah tiba sehari sebelumnya. Sementara Surya Paloh tiba di Takengon agak siang. “Tadinya Surya Paloh akan mendarat di Bandara Rembele. Tapi karena dia menaiki jet pribadi, Bandara Rembele tak bisa didarati. Jet pribadi Surya Paloh akhirnya mendarat di Lhokseumawe”, kata Ujang.
Surya Paloh kemudian menggunakan jalur darat hingga tiba di Takengon. Pengurus Ormas Aceh Tengah diketuai pemain lama yang kenyang di politik. Bahkan kerap gonta ganti Parpol.Sementara di Bener Meriah, jauh lebih menarik karena dipegang oleh generasi muda yang masih energik dan militant. Termasuk Gayo Lues dan Aceh Tenggara.
Gaya bicara Ujang ceplas–ceplos. Layaknya LSM yang suka berbicara terbuka dan cenderung oposan. Yang oleh penguasa bisa dikenai subversive bila melawan pemerintah. Pengalamannya bersinggungan dengan para bule membuat Ujang selalu berbicara menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang terukur dan terarah.
Namun satu hal yang harus kutanyakan langsung padanya. Kenapa memilih jalur politik yang sering diistilahkan sebagai sarat kepentingan untuk sebuah tujuan. Tidak ada pertemanan yang abadi kecuali kepentingan.
Dan selama ini Ujang bergerak diluar politik. “Jika ingin membuat perubahan, harus masuk kedalam politik”, kata Ujang berargumen. Pekerjaan yang digeluti selama ini dibidang non pemerintah diakui Wira beresiko subversive secara hukumnya. Ternyata hanya sebatas rekomendasi yang ujungnya adalah eksekusi yang dilakukan pemerintah atas rekomendasi NGO tersebut.
Selanjutnya selalu terserah kepada pemerintah. Apakah menjalankan atau mengikuti rekomendasi yang dihasilkan LSM yang biasanya bekerja sangat terukur dan terarah dengan para meter yang jelas. Berbeda dengan Pemda.
Bosan, gerah atau mencoba tantangan baru, Wira akhirnya membulatkan nawaitunya terjun ke kancah Ormas Surya Paloh dengan ikonnya Restorasi Nasional. Ujang bin Wira sesaat setelah tiba di Kantin Batas Kota kemudian mengganti baju kemejanya yang berlogo Nasdem.
Ujang memakai baju dengan warna hamper sama, biru muda lengan panjang dan melipat dua lipatan diujung kemejanya. Segelas Black Coffee diseruputnya. Satu batang rokok kretek tanpa saring dibakarnya.
Pembicaraan berlanjut. Wira kini bekerja sebagai konsultan dari proyek Amerika di Aceh lewat LSM. Sementara sang istri juga bekerja. Wacana ikut pemilihan walikota Banda Aceh menurut Ujang bukan kehendak dirinya. Tapi keinginan sejumlah warga perantauan Gayo di Banda Aceh. Ujang mengamini keinginan kawan-kawan di Banda Aceh. Bagian dari demokrasi.
Tampaknya aka nada perubahan Aceh kedepan. Dimana kalangan generasi muda yang berumur 40 tahunan mulai masuk ke kancah politik dan mencoba sesuatu yang baru dengan masuk kedalam sistim.
Tidak lagi berbicara diluar sistim yang dinilai tidak menggigit dan menghasilkan apapun. Kecuali masuk kedalam dan coba mewarnai kebijakan. Kebijakan yang lebih baik demi kemajuan masyarakat. Itu teorinya. Entah prakteknya nanti.
Tapi selalu ada harapan dari keinginan-keinginan yang diwujudkan dengan masuk kedalam sistim. Meski terkadang perubahan tidak terlihat saat ini. Tapi prosesnya sudah dimulai dan konsisten menggiring perubahan.
Apalagi kancah politik di Aceh masih dikuasai para orang tua yang seharusnya sudah pensiun namun masih ogah berhenti karena darisana mereka berharap mengasapi dapur keluarganya hingga puluhan tahun karena tidak mampu berusaha dibidang lain kecuali politik. Berkerak dan berakar.
Orang-orang tua yang masih doyan politik ini sudah merasakan nikmatnya bergaji di politik dengan pekerjaan ringan, kahlian berbicara dan mendapat salary diatas rata-rata rakyat Aceh yang masih megap-megap paska konplik dan tsunami. Belum kemudahan pinjaman bank, dan fasilitas lainnya. Menjadi masyarakat Exlusive secara elegan melalui parpol. Digaji APBD.
Barangkali, sandiwara ini yang coba diubah Ujang dengan berpolitik. Paling tidak sedikit merubah scenario yang akan dilakoni bersama. Bukan lagi menjadi pemeran pembantu. Tapi sedikit mencoreng scenario yang tidak update dengan kondisi terkini.
Apalagi saat ini, dengan kemajuan tehnologi , masyarakat sesungguhnya tiga langkah lebih maju dari birokrat Aceh karena dengan mudah melihat dan membandingkan kinerja dengan daerah lain melalui media TV dan internet. Sementara banyak pejabat dan wakil rakyat yang masih Gaptek atau ogah dikritik jika gabung di jejaring social.
Semoga Ujang bisa menjadi bagian perubahan dengan terjun ke politik. Bukan menjadi bagian dari dalang-dalang politik yang menguntungkan diri dan kelompok mereka saat menjadi penentu kebijakan. Semoga. (Win Ruhdi Bathin)