Kamis, 30/07/11, saya bongkar dekumen yang telah lama tidak disentuh, di dalamnya saya temukan satu buah paspor dihalaman 6 (enam) terpampang stempel berwarna hitam bertuliskan Malaysia Immigration bertanggalkan 17 April 2004 dan terhimpit dengan cap stempel berwarna merah dengan tulisan yang sama, bedanya stempel pertama berbentuk segi empat dan stempel kedua berbentuk segi tiga dengan tanggal 6 Mai 2004. Itu artinya saya masuk ke Negara Malaysia tanggal 17 April dan saya keluar pada tanggal 6 Mai. Ketika memandang paspor itu saya teringat kembali pada apa yang pernah sayakerjakan, yang saya lihatdan yang saya tahu dari informasi seorang mahasiswa asal Aceh yang sudah menetap di Malaysia.
Saya berangkat ke Malaysia pada saat itu ditugaskan Rektor IAIN untuk mengajar di sebuah lembaga pendidikan Ar-Razi, lembaga ini bekerjasama dengan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Untuk proses pendidikan biasanya mahasiswa Malaysia belajar sampai semester VI di Malaysia dan melanjutkan dua semester lagi di Banda Aceh, tapi untuk tahun itu sistemnya dirubah dengan alasan supaya dosen juga punya kesempatan untuk berkunjung dan melihat Malaysia.
Tiga minggu waktu mengajar di Malaysia bukanlah waktu yang singkat, karena pola pembelajaran yang dianut di Malaysia masih sama dengan pengajaran yang berlaku di Timur Tengah. Artinya seorang dosen membawa kitab ke dalam local selanjutnya mahasiswa mendengar apa yang disampaikan dosen, pola ini berbeda dengan yang kita lakukan, dimana mahasiswa harus aktif dalam berdiskusi dan secara bebas dapat menyampaikan pendapatnya sepanjang dalam norma-norma kesopanan.
Mau tidak mau untuk menghilangkan kekakuan di dalam local terlanggarlah kaedah “dimana bumi dipijak di situ langit di junjung”, ke egoan sebagai dosen muncul dengan merubah tradisi mereka, yaitu harus mengikuti pola seperti yang biasa dilakukan di Negara kita. Walaupun perubahan itu dilakukan tidaklah secara serta merta mendapatkan hasil yang diharapkan, namun mereka mengakui bahwa metode yang kita lakukan banyak bermanfaat untuk pengembangan wawasan mahasiswa, dan mereka berharap hendaknya metode ini diajarkan oleh pensyarah yang ada di negera mereka.
IAIN Ar-Raniry dengan Ar-Razi menyepakati waktu kuliah pagi sampai sore selama tiga minggu untuk tiga mata kuliah : Ushul fiqh, Hukum Perbankan dalam Islam dan Praktek Peradilan. Tapi saya membuat aturan lain dengan kesepakatan bersama mahasiswa yaitu menambah waktu kuliah pada malam hari, sehingga kuliah dapat diselesaikan dalam dua minggu dengan tujuan seminggu terakhir dapat melihat-lihat ibu kota Malaysia Kuala Lumpur.
Lokasi kampus Ar-Razi terletak di Penang, ketika mahasiswa diwajibkan membuat tugas mata kuliah Hukum Perbankan dalam Islam, mereka menjawab sangat sulit mendapatkan bahan rujukan. Satu hari kami bersama mahasiswa berangkat ke Pustaka yang terbesar di Penang, di pustaka itu saya melihat buku-buku yang ada di pustaka mereka kebanyakan buku yang berhubungan dengan tekhnologi, banyak juga buku-buku yang ditulis dengan bahasa cina, yang sama sekali tidak bisa saya baca. Mahasiswa itu bertutur kepada saya, bahwa buku-buku agama di Malaysia sangat sulit dicari.
Dua minggu, sesuai dengan kesepakatan bersama mahasiswa kelas untuk belajar selesai, saya di ajak oleh salah seorang mahasiswa asal Aceh berkunjung ke rumahnya di Kuala Lumpur. Perjalanan dari Penang ke Kuala Lumpur seharusnya ditempuh 4 (empat) jam karena ada eksiden menjadi 6 (enam) jam. Sepanjang jalan saya perhatikan ada arang yang membersihkan jalan, membersihkan taman-taman, menjaga pom bensin, dan setiap warung ada orang pelayan yang selalu siap mengambil piring-piring dan mencucinya setelah para tamu siap makan. Mahasiswa itu katakan kepada saya “pak itu semua orang Indonesia (orang di sini menyebutnya Indon)”.
Kekaguman melihat Negara Malaysia bertambah, ketika melihat bangunan mereka sangat tinggi dan megah yang belum pernah saya lihat di Banda Aceh apalagi di Takengon dan Bener Meriah, mahasiswa itu bertutur lagi : Pernah para pekerja yang berasal dari Indonesia jatuh dari ketinggian seperti itu. Karena itu pak, kalau ada saudara tidak usah diizinkan jadi TKI/TKW. Disamping juga pergaulan mereka tidak ada yang kontrol dan menjaga sehingga banyak sekali terjadi pergaulan yang tidak baik antara sesame mereka.
Rumah yang di huni sebagai tempat tinggal mahasiswa yang mengantar saya berkeliling berbentuk rumah susun yang tingginya sekitar dua puluh (20) tingkat, dia tinggal bersama isteri dan seorang anaknya. Dia jelaskan kepada saya bahwa yang membersihkan halaman rumah ini setiap harinya orang yang berasal dari Indonesia, yang membersihkan paretnya orang India. Kami setiap keluarganya mengeluarkan uang sebulan lebih kurang Rp. 200.000,-(dua ratus ribu rupiah) uang Indonesia, saya langsung berpikir. Tidak mungkin mereka yang tinggal di atas turun kebawah untuk menyapu halaman dan membersihkan paret, dan kalau memang harus dibersihkan sendiri, sangat menderitalah mereka yang tinggal di lantai paling bawah.
Hari terakhir kami berjalan ke Bandar Jaya, kota itu dipersiapkan sebagai kota perkantoran, saat itu rumah atau kantor belum ada tapi jalan sudah terbangun rapi, pipa air PAM, aliran listrik, telpon dan semua pasilitas telah lengkap. Bangunan satu-satunya yang ada hanya masjid Bandar Jaya, yang letaknya berdekatan dengan rumah pejabat Negara. Di situ saya tahu bahwa masjid tersebut dijadikan sebagai tempat wisata, orang cina yang non muslim boleh masuk untuk melihat keindahan masjid dengan syarat harus memakai baju yang menutup aurat (telah disediakan oleh pengurus masjid).
Pada hari itu ada pameran, kebanyakan yang dijual adalah barang produk Malaysia,seperti :mobil, computer dan tekhnologi yang lain. Ketika saya bertanya tentang harga, mereka tanya kepada saya “apa bapak punya KTP atau tanda pengenal Malaysia, saya jawab tidak. Sehingga saya tidak bisa membeli kendati pada waktu itu memeng tidak ada rencana membeli karena tidak punya uang dan juga tidak butuh.
Rasa ingin tahu, membuat saya bertanya kepada mahasiswa yang mengantar saya, kenapa mereka yang menjual menanyakan KTP atau tanda pengenal. Dia menjawab, bahwa membeli barang dengan harga mulai 2000,- ringgit Malaysia (kira-kira Rp. 5.600.000,-)ke atas harus dengan system kredit, kalau membeli dengan kontan maka police Malaysia akan datang dan menyelidiki sumber uang untuk membeli barang tersebut. Sebagai contoh bisa saya sebutkan : Saya sebagai dosen, puanya penghasilan kira-kira Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), sanggup membeli mobil dengan harga Rp. 90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah). Petugas akan tanya uang itu dari mana sumbernya, kalau dari gaji berapa tahun baru dapat uang sebanyak Rp. 90 juta, dan secara logika saya tidak mungkn dapat membeli mobil dengan penghasilan yang Rp. 3 juta rupiah, dengan menyekolahkan 5 (lima) orang anak. Jadi indikasi korupsi akan ditemukan, sehingga mereka di Malaysia membuat aturan setiap barang yang di beli dengan harga lebih kurang 5 juta 600 ribu rupiah harus dengan system kredit. Mungkin itulah antisipasi yang dilakukan pemerintah sehingga mereka tidak terkenal dengan Negara korupsi.
Setelah saya pulang dari Malaysia saya beranalog : Saya berprofesi sebagai dosen, setiap hari pergi pagi pulang sore, kapan saya harus membersihkan pekarangan rumah, paret yang ada disekitar rumah. Tidakkah sebaiknya ada orang yang mau membersihkannya dengan upah yang saya keluarkan Rp. 100,000,- (seratus ribu rupiah) perbulan, mungkin terlalu sedikit penghasilan mereka yang mau bekerja 100 ribu rupiah perbulan. Bagaimana kalau ada kesepakatan sekitar 15 rumah, berarti ia berpenghasilan 1 juta 500 ribu rupiah perbulan, saya pikir itu cukup untuk gaji orang yang hanya bekerja satu hari barang 2 (dua) jam.
Itulah kira-kira sebagian kecil dari lapangan pekerjaan orang di Negara yang bukan negaranya sendiri, sebagiannya sudah kita lihat lapangan kerja seperti ini di daerah kita Gayo dengan mempekerjakan orang Gayo untuk membersihkan kota dan taman kota Takengon.