Takengen | Lintas Gayo : Simone adalah warga Negara Italia. Aku tidak berhubungan langsung dengannya. Dia adalah teman Ria, kru ILG yang tamatan Planologi dari Bandung. Ria dan Simone berteman dijejaring social bagi mereka yang hobi menjelajah dunia alias berwisata keliling dunia.
Simone menghubungi Ria akan ke Takengon lewat situs internet jejaring social tersebut. Setelah oke, biasanya akan saling bertukar nomor telepon agar bisa dihubungi saat tiba. Ria tidak bisa meng “host” atau menyediakan tempat bagi Simone saat di Takengon karena Ria masih tinggal dengan keluarganya.
Ria meminta ijin memberikan nomor teleponku kepada Simone. Aku mengiyakannya. Tapi aku menyatakan pada Ria, untuk menjadi host bagi Simone, tentu aku harus bertanya dulu pada istriku Muharnida Wahab, karena dialah “ratu” dirumahku.
Seperti gayung bersambut, istriku mengijinkan Simone tinggal bersama kami . Istriku tentu saja tidak asing dengan tamu mancanegara yang berkunjung ke Takengon karena sesungguhnya dia sudah pernah menjamu beberapa turis sebelumnya, seperti Aghmad dari Afrika, yang Muslim dan coba menjual beberap produk kopi Gayo ke Afrika Selatan.
Joel Hilmer dari Luxemburg, Duncan dari Australia, Sofiesan dan Hilda dari Belgia. Alexey dari Ukraina dan seorang pria yang aku lupa namanya yang mengelilingi dunia dengan sepeda. Kami menjamu para turis yang menginap dan makan bersama kami seadanya.
Apa yang kami miliki saat makan tiba, itulah yang kami berikan pada para tamu. Begitu saja, sangat simple. Untuk tempat mereka tidur, kami punya ruang yang biasa di gayo disebut dapur yang terbuat dari kayu atau papan.
Biasanya disana tempat makan duduk bersila bagi keluarga. Istriku menutup dapur dengan tikar plastic dan menempatkan kasur tua yang kami miliki dengan ditutupi seprei atau menggelar kasur bekas Porda dulu yang tipis jika tamunya hanya seorang. Sederhana saja.
Sebelum bertemu aku di Kantin Batas Kota, tempatku menjadi pelayan bagi peminum kopi yang disebut Barista, Simone bertemu Ria dulu dan bercerita. Kemudian Ria memberikan sedikit arah ke tempatku bekerja diluar Kota Takengon.
Selasa Malam (5/7) , sekitar pukul 20.00Wib, Simone tiba. Dia mengenakan helem dan melepasnya saat masuk kantin. Aku sudah tahu Simone karena dia sudah memberitahuku lewat sms sejak dari Gayo Lues hingga menjelang tiba ke Takengon.
Yang aku tidak duga adalah Simone datang dengan kenderaan roda dua jenis Yamaha RX King. Saat melepas helemnya, aku menduga Simone diantar seseorang ke Batas Kota. Ternyata tidak. Simone memang menaiki kenderaan roda dari Medan-Kutacane-Gayo Lues-Takengon.
Aku tentu saja kaget. Karena tak biasanya bule berkenderaan sendiri berwisata di Aceh. Simone mengenderai motor jenis RX King keluaran tahun 2002 yang dibelinya di Medan seharga Rp.9 juta. Harga yang mahal karena idealnya keluaran tahun tersebut hanya Rp. 5 juta. Ini menurut seorang tukang bengkel di Takengon.
Aku bertanya pada Simone, menggunakan kenderaan roda dua, apakah dia memiliki ijin mengemudi?. Simone mengaku memiliki ijin mengemudi kenderaan roda dua Internasional sehingga berani menaiki roda dua di Sumatera.
Saat Simone tiba di Gayo Espresso Kupi, di Kantin sudah ada Ikhwanussufa, ketua KNPI Aceh Tengah, Fitra Gunawan, ketua terpilih KNPI Bener Meriah yang juga asisten III Pemkab setempat. Keduanya adalah pelangganku sejak beberap waktu lalu. Disana juga ada Mahyadi dari wartawan harian terbesar di Aceh, Irham, wartawan harian Medan. Mereka biasa mangkal disini.
Sekitar satu jam kami bercerita tentang pengalaman Simone berjalan darat dari Medan ke Takengon dan selanjutnya akan ke Banda Aceh dan Sabang mengenderai roda duanya. Simone mengaku sebelum melakukan perjalanan, dia terlebih dahulu menyiapkan peta yang dibelinya di negaranya di Italia sana.
Selain menggunakan peta sebagai panduan perjalanan, Simone juga menyiapkan diri dengan melihat lokasi-lokasi wisata disepanjang Sumatera melalui buku petunjuk wisata Lonely Planet. Karena alas an itulah, salah satu target kunjungan Simone di Takengon adalah Cave Loyang Koro .
Malam Selasa, selepas makan malam sekitar jam 21.00 Wib, kami berbagai pengalaman. Simone berasal dari sebuah Kota di Itali. Untuk menghidupi dirinya, Simone bekerja di pabrik. “Saya hidup sendiri dengan menyewa sebuah flat di Itali. Flat ini juga saya gunakan menerima kawan-kawan yang tergabung dalam komunitas untuk tinggal”, kata Simone.
Simone memiliki ayah dan Ibu serta saudara yang tinggal tidak jauh dari rumahnya (Flat). “Gaji saya sebulan sekitar Rp.12 juta. Tapi gaji seperti itu hanya bisa dipakai untuk menyewa ruangan (flat) , bayar listrik, konsumsi dan kebutuhan lainnya”, sebut Simone.
Dikatakan Simone, jika dibandingkan dengan nilai rupiah. Gaji sebesar Rp.12 juta di Itali tentu sangat mahal. Tapi di Itali gaji sebesar itu masih ukuran normal. Habis dipakai menutupi kehidupan sehari-hari. Bagi Simone pengalaman melihat daerah lain di Asia Tenggara, sangat berarti baginya.
“Saya tumbuh menjadi lebih besar dengan melihat banyak kebudayaan dan warna kulit serta paham yang beragam”, papar Simone. Saat akan melintasi Medan lewat Kutacane-Blang Kejeren-Takengon, seorang temannya mengatakan daerah ini masih rawan dan meminta Simone melewati daerah Pesisir Aceh untuk sampai ke Takengon.
Namun Simone menolak dan berkata, “ saya percaya semua orang adalah baik”, kata Simone. Dan hingga perjalanan ke Takengon, Simone melihat penduduk Aceh sangat bersahabat dan murah senyum.
Saat aku bertanya mengapa Simone harus menggunakan kenderaan roda dua berwisata di Sumatera karena lebih beresiko?. Menurut Simone didasari pada beberapa alasan, antara lain, lebih bebas, bisa melihat banyak pemandangan serta sebuah alas an yang sangat penting adalah salah satu kaki Simone pernah cidera saat bekerja.
“Saya tidak bisa duduk berlama-lama dalam bus. Karena hal itu akan membuat kaki saya sakit”, ucap Simone. Di Brussel Italy, Simone tinggal disebuah kota Kecil yang dipenuhi pabrik. “Senjata Baretta dibuat di Kota saya. Baretta adalah salah satu merek jenis senjata. Masih banyak jenis dan merek lainnya disana. Pabrik senjata ini memperkerjakan banyak orang di Brussel”, ungkap Simone.
Menurut Simone, kotanya dipenuhi asap pabrik sehingga dinilai kurang baik. “Senjata-senjata ini dijual di super market di Brussel”, paparnya lagi. Tapi , lanjutnya tidak mudah memiliki senjata api disana. Karena harus melewati berbagai tes kesehatan termasuk tes psikologi. Termasuk alas an mengapa harus memiliki senjata.
Dari sekian banyak tamuku lewat jejaring social ini, Simone menurutku adalah salah satu tamu terbaik. Sekecil apapun yang diterima Simone dari keluarga dan teman – teman yang berkomunikasi dengan Simone, dia tidak pernah lupa mengucapkan ,”terima kasih”. Terima kasih dan terima kasih.
Senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia tampak sangat bersahabat. Rabu pagi, saat makan pagi tiba yang disiapkan istriku, aku mengajaknya makan bersama. “Silahkan makan saya tidak”, kata Simone dengan suara perlahan.
Aku tentu saja bertanya, mengapa. Dikatakan Simone, aku sudah dan keluargaku sudah terlalu banyak merepotkannya. Makan pagi yang kutawarkan akan menambah bebanku katanya. Aku sempat terharu dengan sikapnya. Tapi tetap bersikeras mengajaknya makan pagi karena sudah merupakan kewajibanku selama dia tinggal bersamaku untuk menanggung makannya.
Akhirnya dia mau dan mengucap terima kasih pada istriku dan menyatakan makanan istriku enak. Walau kami hanya menyediakan nasi, sedikit ikan dan sayur. Pagi Rabu itu, aku membawa keretanya ke bengkel langgananku untuk diservis. Karena menurutnya saat berada di Gayo Lues, keretanya batuk-batuk sehingga menganggangu kelancaran kenderaannya.
Aku kemudian meninggalkannya disana karena aku harus bekerja sebagai pelayan kedai kopi. Barista. Simone membuka internet di sebuah café internet di Jalan Lintang. Eva, WNI keturunan China yang merupakan pemilik internet tersebut menghidangkan dua gelas kopi untuk kami.
Simone mengaku merngambil kelas kursus belajar bahasa Mandarin di Brussel. Sehingga sedikit berbicara dengan Eva berbahasa China Mandarin. Namun Eva, mengatakan, dialek Mandarin berbeda dengan Hokkiannya. Eva lahir dan besar di Takengon dan mengatakan tidak tahu tentang China.
Setelah satu jam berpisah, Simone datang ke Kantin. “Danaunya begitu indah. Disana saya bertemu dengan turis asal China “, kata Simone senang. Simone memintaku mengajarkan dia menggunakan mesin espresso BFC Junior Plus.
Saat melihat mesin tersebut, Simone mengatakan bahwa mesin tersebut dibuat di Italia karena petunjuk penggunaannya memakai bahasa Italy. Sepertinya dia bangga karena mesin espresso tersebut kini berada di Takengon.
Setelah mengajarkannya secara singkat, Simone mempersilahkan aku duduk dan menghidangkan segelas Black Coffee. Kami kemudian makan bersama.Simone juga mencoba kue gutel, makanan khas gayo yang kin mulai dikembangkan kembali. Simone menyatakan menyukainya dan makan beberapa buah gutel.
Saat makan, menggunakan tangan, Simone tampak belum begitu mahir. Mulutnya mengeluarkan bunyi saat memakan nasi. Tampak lucu. Berbeda dengan menu makanan di Italy yang namanya asing seperti spageti dan lain-lain.
Simone harus melanjutkan perjalanan. Dia mengikat tas ransel besarnya dibelakang RX King berplat BK 2349 BC. Aku selalu benci perpisahan. Demikian juga Simone. “Saya tidak ingin mengucapkan kata perpisahan”, kataku pada Simone.
Simone mengeluarkan sebuah catatan kecil yang ditulisnya dari kantong depannya. Seperti membaca saja, dia berucap, “Selamat tinggal, semoga kita bertemu lagi”, katanya dan memasukkan kembali catatan kecil itu seolah tak ingin hilang.
Kami berpelukan dan saling mengucap kata perpisahan. Aku tak tahu, aku selalu benci perpisahan. Sehari semalam bersama Simone, banyak sedikitnya telah membuat kami akrab. Tapi harus berpisah. “Begitulah hidup”, kata Simone.
Simone melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh kemudian ke Iboh Sabang. Selamat jalan kawan, semoga selama berada di Tanoh Gayo telah mencatatkan sedikit kenangan tentang Gayo dan penduduknya Aku banyak mengambil pelajaran dari cerita Simone yang berkulit putih, berhidung mancung, berkepala botak , tentang bagaimana cara bule seperti Simone hidup di negaranya.
Demikian juga Simone mengambil kisah bagaimana masyarakat Gayo hidup dengan kebun kopinya, menikah, memiliki anak demi meneruskan hidup dengan cara kita sendiri. Karena bagi orang seperti Simone, menikah merupakan perkara yang tidak mudah.
Aku bersyukur pada Allah, Tuhanku karena mempertemukan aku dengan Simone dan mengambil pelajaran darinya. Aku percaya Allah ingin aku menambah rasa Syukur ku pada-Nya atas Ciptaan-Nya. Mudah bagi Allah menciptakan suku dan bangsa yang berbeda.
Dan aku bersyukur karena Allah memberiku Jalan Islam. Sehingga semua yang terjadi tidak ada yang tanpa sepengetahuan Allah. Tak ada yang sia-sia. Termasuk pertemuan dan perpisahanku dengan Simone.
Dan Simone sempat berbalik dan mengangguk padaku karena kedua tangannya memegang stang sepeda motornya. Tanda kepergiannya. Aku tersenyum dan mengangguk. Dan tancapan gas keretanya memisahkan kami dibatas Kota. Selamat Jalan Simone. Take care and keep smile … (Win Ruhdi Bathin)