Linge Yang Dilupakan

Linge Yang Dilupakan

Linge begitu popular bagi masyarakat Gayo dimanapun berada.  Kawasan paling Barat Kabupaten Aceh Tengah yang berjarak  sekitar 90 kilometer dari Ibukota Takengon ini, masih tertinggal.

Betapa tidak, menurut Namtara, perwakilan mahasiswa asal Linge yang melayangkan surat ke bupati dan DPRK meminta agar jalan ke Linge diaspal, sejak 65 tahun merdeka, Linge belum menikmati aspal sepenuhnya.

Akibatnya, akses ke Linge terhambat, harga dan ongkos menjadi mahal . Bukan itu saja, warga kawasan bekas kerajaan Islam Linge yang berkontribusi besar bagi Kerajaan Islam  Aceh Darusssallam ini, belum bisa menikmati akses telepon, meski Indonesia sudah merdeka, 65 tahun silam, kata Namtara.

Parahnya lagi, saat melihat bekas kerajaan Linge, di Buntul Linge, Kampung Linge Kecamatan Linge, pada Minggu (7/11), makam reje-reje (raja) Linge, rusak dan terlantar. Tidak ada lagi kebangaan akan Linge.

Menurut Karimansyah, Kepala Kampung Linge, tidak baiknya akses jalan ke Linge sudah berlangsung lama, padahal Linge menyimpan potensi sejarah dan sumber daya alam yang melimpah seperti pinus mercusi, ternak sapi bali, kerbau dan tambang.

“Telepon yang dipasang pemda memakai perangkat penerima langsung telepon dirumah saya, sejak setahun lalu, hingga kini belum bisa digunakan. Ada lima telepon sejenis yang ditempatkan di lima kampong lainnya , juga tidak bisa
diakses padahal sudah dilapor berkali-kali”, kata Karimansyah kecewa.

Camat Linge, Nasrun L mengatakan, perbaikan atau pengerasan jalan ke Linge saat ini sedang dikerjakan. Demikian halnya dengan rencana pemasangan tower telepon seluler sedang diusahakan.

“Kalau jalan dan akses telepon sudah berjalan dengan baik. Barulah Linge merdeka”, kata Nasrun berharap semua proses pembangunan di Linge berjalan lebih cepat demi mengejar ketertinggalan pembangunan, terutama akses
jalan dan telepon.

Selain Linge, beberapa kampung lainnya seperti Umang, Jamat, Pertik , juga masih mengharapkan adanya akses jalan guna membuka isolasi dan kelancaran arus ekonomi.

Seperti diungkapkan, Bardi Yaman, kepala Kampung Umang. Menurut Bardi Yaman, sebelumnya, pejabat di Aceh Tengah yang datang ke Linge menjanjikan pada bulan Juni tahun ini, jalan ke Umang sudah diaspal. “Kenyataannya hingga saat ini, jalan ke Umang masih sulit dan melewati  belantara hutan pinus bekas areal HPH yang kini ditinggalkan”, kata Bardi Yaman.

Padahal, kata Bardi Yaman, potensi Umang sangat melimpah, seperti ternak kerbau dan kopi. Di Kampung Umang  Isaq, tidak jauh dari areal kampung yang dikelilingi tebing dan hutan pinus mercusi sepanjang mata memandang ini,
terdapat batu –batu besar yang bertulis.

Tulisan di batu – batu besar dekat sungai Umang ini, tampak seperti dipahat atau digores dengan benda keras sehingga membentuk beberapa karakter atau gambar yang tidak diketahui maknanya.

Menurut Bardi Yaman, sejak Kampung Umang ada, batu tersebut sudah ada dan bertulis, namun belum pernah dipublikasikan atau diteliti.

Sementara itu,  kawasan bekas kerajaan Islam Linge, kondisinya saat ini sangat tidak terurus dan ditelantarkan. Lokasinya berada disebuah bukit yang disebut Buntul Linge.

Replika rumah adat Gayo yang disebut Pitu Ruang tampak dipagar dan dikunci. Rumput tumbuh disekitar Umah Pitu Ruang.

Makam raja-raja Linge, berada sekitar 300 meter dari rumah adat melewati sawah dan berada dipematang lainnya.
Sayang, makam raja-raja Linge yang berada pada kawasan hutan terlihat berantakan dan kotoran hewan kerbau terlihat disekitar makam.

Ada usaha makam-makam yang berjejer dan berbatu nisan seperti layaknya makam seorang raja ini dikeramik. Namun belum siap sudah ditinggalkan. Tumpukan semen dan keramik warna hijau dibiarkan terbuang begitu saja dan mengotori makam.

Menurut Aman Jalil, penjaga rumah adat dan makam Reje Linge, tidak diketahui  makam reje linge yang keberapa dikebumikan disana. Namun Aman Jalil percaya, makam tersebut bagian dari makam reje Linge. Dikatakan Aman Jalil, dari daftar buku tamu yang ada dirumahnya sejak beberapa tahaun silam, hamper semua pejabat teras Aceh Tengah dan Bener Meriah, pernah berkunjung kesana.

“Yang mengunjungi makam reje linge, berasal dari pesisir Aceh, luar negeri bahkan dari cina”, kata Aman Jalil. Namun kondisi pemakaman reje Linge tetap saja tidak terurus.

“Biasanya setiap bulan saya mendapat gaji Rp. 750 ribu dari Pemda. Namun kini sudah lima bulan tidak pernah lagi ada”, kata Aman Jalil.

`Banyaknya wisatawan yang datang ke Linge, tambah Aman Jalil, tidak didukung oleh prasarana. Akibatnya, Aman Jalil terpaksa membuat balai-balai didekat rumah adat karena seringkali tamu yang datang menumpuk
dirumahnya.

“Balai-balai saya bangun dengan uang saya sendiri, tidak ada bantuan pemerintah. Namun saya masih kesulitan air bersih untuk pengunjung. Karena air mesti disedot dari sungai terdekat sementara saya belum punya biaya”, ungkap Aman Jalil.

Linge adalah kawasan paling banyak dan luas ditumbuhi pinus mercusi. Menurut camat Linge, luasnya ribuan hektar disepanjang pegunungan dan bukit di Kecamatan Linge hingga ke Gayo Lues.

“Belum dimanfaatkan . Dulunya milik HPH, kini HPHnya sudah tidak ada lagi”, kata Nasrun. Ditengah pinus ini, ribuan kerbau dilepaskan sebagai areal peternakan yang dalam bahasa Gayo disebut “Daerah Peruweren” atau kawasan
peternakan sejak jaman dahulu.

Tapi menurut Bardi Yaman, pinus di kawasan Umang, sudah diminta oleh pengusaha asing dari Gayo Lues untuk segera dideres guna diambil getahnya.

Berbeda dengan kawasan Linge, kawasan kecamatan tetangga Linge seperti Jagong Jeget dan Atu Lintang, jauh lebih maju dengan akses jalan aspal yang mulus, demikian juga jaringan telepon seluler.

Padahal kawasan Linge adalah kawasan yang dipercaya lokasi kerajaan Islam Linge dan merupakan perkampungan asal warga Gayo (winbathin.multiply.com)

Makam Reje Linge ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments