Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Masih banyak orang-orang tua kita yang berprofessi sebagai guru berungkap, guru kami dulu tamatan SR dan sudah bisa mengajar pada sekolah almamaternya, kami tamatan SGA (sekolah Guru Agama) atau juga mereka bilang si pulan tamatan PGSLP. Itulah jenjang pendidikan mereka yang tertinggi pada saat itu, kemudian pada tahun 70 sampai dengan 80-an guru-guru dan pegawai negeri banyak yang menyandang title sarjana muda (BA) dan jarang-jarang yang bertitel sarjana lengkap (Drs).
Perubahan system pendidikan dari sarjana muda (BA) dan sarjana lengkap (DRS) menjadi S1 dengan system Kredit Semester (SKS) terjadi sekitar tahun 1982 atau 1983, membuktikan jenjang pendidikan semakin singkat dan mudah dilalui. Pada saat semua perguruan tinggi melakukan system pembelajaran dengan system SKS, masih lebih banyak orang Gayo yang kuliah di Diploma 1, Diploma 2 dan Diploma 3, sekarang semua system Diploma hampir dihilangkan, guru-guru kita yang masih memegang Ijazah Diploma diwajibkan melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Jadi jenjang pendidikan terendah sekarang ini adalah jenjang S1.
Pola pemikiran dalam masyarakat Gayo tentang pendidikan, bahwa pendidikan itu mahal. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya terdengar dari mereka yang berekonomi lemah tetapi juga dari mereka yang mempunyai uang dan ekonomi lebih bagus dari standar umum masyarakat yang ada di sekitarnya. Cara berpikir seperti ini berakibat pada jenjang pendidikan orang Gayo yang selalu memilih jenjang yang terendah, seperti kalau orang tua menguliahkan anaknya kalau bisa memadai dengan Diploma (1, 2 atau 3), karena jenjang ini lebih cepat tamat dan biaya lebih murah.
Tidak sedikit kawan-kawan yang seangkatan dengan saya, pada tahun 1986 kuliah di perguruan tinggi dengan mengambil Diploma dalam berbagai jurusandi Banda Aceh baik di PT negeri ataupun swasta. Yang sekarang ini kembali lagi harus mengambil S1 sambil mengajar atau sambil bekerja di kantor-kantor.
Fenomena mahalnya pendidikan pada era 80-an banyaknya mereka yang tidak melanjutkan pendidikan setelah tamatan SMA/MA, tetapi mereka mengukti kursus mengetik atau kursus menjahit. Kendati sebenarnya orientasi professional dalam pendidikan di masyarakat Gayo telah lama tumbuh, namun semuanya dengan perhitungan untuk mendapatkan ijazah dan cepat mendapat pekerjaan
Sekarang semua pendidikan yang Diploma tidak ada lagi, system pendidikan kursus telah dilakukan sambil mengikuti pendidikan formal, pola pemikiran kebanyakan masyarakat Gayo tentang mahalnya pendidikan belum berubah. Mereka selalu mencari pendidikan yang murah, baik dari segi murahnya biaya harian ataupun biaya (uang kuliah) yang dikeluarkan. Akibatnya sekarang kebanyakan memilih lembaga pendidikan yang lebih dekat, dengan harapan sambil kuliah dapat membantu orang tua atau juga mencari biaya kuliah sendiri.
Kemajuan seluruh segi kehidupan menuntut kamajuan ilmu pengetahun, standar tingginya pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh kualitas tapi juga kuantitas. Demikian juga professionalisme, seseorang tidak lagi hanya cukup mengandalkan bahwa dia adalah orang yang ahli dan memahami dalam bidang tertentu, tetapi harus menunjukkan sertifikasi atau ijazah yang dimiliki.
Kita masih teringat bagaimana bangganya orang tua ketika anaknya dapat menyelesaikan kuliah dan mendapat gelar sarjana, tidak terasa habisnya harta, tidak malu berutang pada orang lain, karena kebanggaan anak sebagai sarjana bukan saja kebanggann orang tua tetapi juga kebanggaan semua orang yang ikut dalam proses perkuliahan. Orang tua bangga punya anak yang sarjana, pemberi hutang bangga sebagai orang yang berperan dalam membantu orang lain yang anaknya bersekolah, masyarakat bangga karena setiap waktu lebur dan lebih-lebih ramadhan anak yang sedang kuliah dapat memberikan ilmunya kepada mereka melalui ceramah setelah shalat tarawih.
Kebanggaan semua orang mulai pudar apabila mendengar kata-kata sarjana, kebanggaan yang pernah ada hampir tidak lagi terdengar, keadaan seperti ini lebih-lebih di kampong yang sebelumnya sudah pernah ada sarjana. Kita sudah mulai jarang mendengar ceramah-ceramah yang disampaikan oleh mahasiswa yang safari ramadhan, apakah ini disebabkan banyaknya tim ramadhan yang diturunkan permerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, atau memang tradisi berlatih mahasiswa untuk berceramah sudah mulai kurang.
Kebanggan mulai beralih kepada anak atau keluarga yang tamatan dari Program S2, lapangan kerja masih lebih banyak terbuka kepada mereka yang alumni master dari berbagai jurusan. Ini merupakan tantangan era baru bagi orang tua Gayo yang selama ini berpikir bahwa anaknya cukup kuliah pada jurusan dan jenjang kuliah yang singkat dengan biaya murah, tapi standar pengakuan Negara telah mulai berubah dari mereka yang memiliki ijazah S1 menjadi S2, yaitu menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi.
Atas dasar itu kesiapan orang tua mulai dituntut untuk memikul beban lebih berat lagi, yaitu menyekolahkan anaknya ke jenjang S2. Beban ini memang berat apabila masyarakat memikulnya sendiri, akan tetapi menjadi lebih ringan apabila pemerintah ikut serta berbagi peran.
Sebenarnya penambahan beban orang tua untuk meningkatkan jenjang pendidikan ke S2 bukanlah hal baru, karena pada dasarnya anak sudah mulai membayar uang sekolah anak sejak dari SD sampai selesai kuliah, tapi sekarang pendidikan anak telah gratis sampai pada jenjang SLTA. Hanya saja perubahan paradigma ini tentu saja merasa diri belum siap, namun gambaran ini telah dimulai. Seperti banyaknya pengangguran alumni dari jenjang S1, keahlian yang dimiliki oleh mereka tidak lagi banyak memberi perubahan kepada masyarakat yang ada.